Khilafah.id – Pada perang dunia pertama, di Sarikamish Provinsi Kars Anatolia Timur, Angkatan Perang Ketiga Khilafah Utsmaniyah babak belur, dirajang kekuatan tentara Rusia. Perang di front Timur, pada musim dingin, tentara Khilafah yang dipimpin oleh Enver Pasha kehilangan lebih dari 60.000 prajurit dari 100.000 yang dikirim ke medan perang sepanjang Desember 1914 sampai Januari 1915.
Namun kehebatan pasukan dan alat perang Rusia belum benar-benar melumat habis kekuatan Pasukan Khilafah di front tersebut. Setelah kekalahan itu tentara dan warga sipil Utsmaniyah justru sedang diintai sesuatu yang jauh lebih mengerikan; wabah yang mematikan.
Para prajurit Khilafah yang selamat dari medan perang di front Timur; setelah berminggu-minggu kelaparan dan mengkonsumsi makanan serta minuman kotor, mereka terserang tipus dan desentri. Para prajurit itu dipenuhi kutu yang membawa tipus. Mereka melewati desa-desa di Anatolia Timur dan menulari warga sipil sepanjang jalan yang mereka lewati. Wabah tipus dan kolera segera menyebar tak terkendali pada awal 1915.
Petugas kesehatan Utsmaniyah kerepotan menghadapi pandemi yang dibawa para prajurit mereka. Rumah Sakit Erzurum hanya menyediakan 900 tempat tidur; terpaksa sekolah, termasuk sekolah misionaris Amerika di kota itu, masjid, dan kantor pemerintah diubah menjadi tempat perawatan. Setiap hari tempat perawatan itu menerima 1000 pasien, pada puncak krisis mereka menerima 15.000 orang setiap hari. Pada puncak pandemi, kematian mencapai 80% dari pasien yang dirawat.
Faktor yang membuat begitu banyak kematian di Anatolia Timur antara lain: makanan dan obat-obatan habis dengan cepat; para pasien kadang tidak makan selama dua atau tiga minggu. Pemerintah Utsmaniyah bahkan tidak punya kayu bakar memadahi untuk memanaskan fasilitas medis. Pusat perawatan pun berubah menjadi pusat penyebaran penyakit karena para pasien dijejalkan dalam satu ruangan, tak ada ruang isolasi, juga tidak tersedia disinfektan.
Semakin hari semakin banyak petugas medis yang terserang penyakit dan meninggal, semakin sedikit petugas medis yang bersedia mengobati dan merawat orang sakit; akibatnya kematian meningkat pesat. Dr. Edward Case, petugas medis dari misioneris Amerika mencatat peristiwa yang mengerikan itu:
“Orang yang mati sangat banyak, sehingga mereka melarang penguburan siang hari, pada malam hari mayat-mayat ditelanjangi lalu dibawa dengan gerobak ke parit. Mayat-mayat dilemparkan di dalam parit seperti sampah; kepala, lengan, kaki, bahkan bagian tubuh tidak jelas, lalu parit itu ditimbun dengan tanah.”
Edward Case juga mencatat banyak orang sekarat yang menghebuskan nafas saat berada ditumpukan orang mati; orang-orang itu mati di tempat mereka akan dimakamkan.
Sepanjang Oktober 1914 sampai Mei 1915 sebanyak 150.000 tentara dan warga sipil meninggal akibat wabah tipus dan kolera, lebih banyak dari korban tentara yang tewas pertempuran Sarikamish.
“Sejak perang dunia pertama, hingga akhir perang dunia kedua, lebih banyak korban mati akibat mikroba dibandingkan terluka di medan perang,” kata Diamond. Sejarah militer yang mengagungkan panglima perang dan serdadu dalam perang tak selalu benar; kuman sering kali lebih mematikan dari pada kekuatan senjata para serdadu. Jaga kesehatanmu! (Sumber: “The Fall of The Khilafah” karya Eugene Rogan dan “Guns, Germs, and Steel” karya Jared Diamond.
Makinuddin Samin, Sastrawan. Novelnya yang sudah terbit antara lain, Ranggalawe dan Ahangkara. Aktivis Lesbumi Cirebon.