Khilafah.id – Sebagian umat Muslim percaya bahwa Islam merupakan agama yang memiliki panduan komprehensif kehidupan dari mulai tata cara ibadah, tata cara bergaul, hingga tatanan sistem politik. Keyakinan ini merupakan produk dari tradisi pemikiran yang cukup panjang dengan beragam konsep yang ada seperti: Al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah (Islam adalah Agama dan Negara), al-Hakimiyyah al-Ilahiyyah (Kedaulatan Tuhan), dan lain sebagainya.
Pertanyaannya kemudian, “benarkah Islam mengidealkan suatu sistem politik yang khas, sebut saja khilafah?” atau “ataukah konsep-konsep seperti yang disebutkan hanyalah produk dari pemikiran yang dapat terus berubah?” Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita simak penjelasan Khaled Abou El-Fadl tentang Islam dan Negara yang penulis sadur dari bukunya Islam and the Challenging of Democracy dan artikelnya berjudul “Islam and the State: A Short History.”
El-Fadl mengemukakan bahwa hubungan antara Islam dan Negara amatlah kompleks dan beragam, baik dari segi teori maupun praktik. Ketika Nabi Muhammad Saw hidup, sistem politik yang dihadirkan adalah semacam Negara-Kota (city state) yang berpusat di Madinah dengan sebuah konsensus yang disebut Piagam Madinah. Akan tetapi pasca wafatnya Nabi Saw, tidak ada yang dapat menggantikan Nabi sebagai otoritas tunggal yang merepresentasikan Kehendak Tuhan (Divine Will).
Pada 30 tahun awal yakni di masa Khulafaur Rasyidun, sistem pemerintahan bisa dikatakan sangat dekat dengan demokrasi yang berorientasi pada musyawarah dan mufakat. Akan tetapi setelah Dinasti Umayyah berdiri, kekhalifahan yang dianggap sebagai sistem pemerintahan Islam, menurut El-Fadl sejatinya adalah pemerintahan yang despotik dan otoriter yang hanya mengadopsi sistem Kerajaan layaknya Kekaisaran Romawi dan Persia saat itu.
Bahkan Dinasti Utsmani yang dianggap kekhalifahan terakhir juga menganut sistem monarki, tidak bisa dikatakan merepresentasikan sistem pada masa Khulafaur Rasyidun.
Lalu bagaimana dengan Kedaulatan Tuhan sebagai bagian dari tugas kepemimpinan Nabi Saw? El-Fadl tidak menafikan konsep ini bahkan cenderung melihat Kedaulatan Tuhan sebagai sesuatu yang taken for granted dalam ajaran Islam. Kedaulatan Tuhan merupakan ajaran iman yang sama pentingnya dengan rukun iman. Sebagai agama monoteistik, Kedaulatan Tuhan menjadi sesuatu yang amat penting.
Berbeda dengan arus gerakan Islam politik yang menganggap Kedaulatan Tuhan harus diperjuangkan, El-Fadl meyakini bahwa Kedaulatan Tuhan adalah perangkat teologis yang tidak perlu dibawa ke ranah politik praktis. Bila konsep ini dibawa ke ranah politik praktis, maka dapat memunculkan sebuah imaji bahwa ketetapan manusia mengatasnamakan Tuhan.
Kelompok yang mengusung konsep ini, menurut El-Fadl, hanya mengulang kesalahan dari kalangan Khawarij pada masa lalu. El-Fadl beranggapan bahwa siapa pun yang mengatasnamakan Tuhan di jalur politik maka ia telah menganggap dirinya sebagai satu-satunya wakil Tuhan, dan otomatis akan bertindak otoriter.
Khaled Abou El-Fadl berpandangan bahwa Kedaulatan Tuhan perlu dipahami bukan dalam konteks Negara atau sistem politik, akan tetapi lebih pada prinsip dan nilai kemanusiaan. El-Fadl meyakini bahwa yang dimaksud Kedaulatan Tuhan adalah terciptanya keindahan dan keadilan.
El-Fadl menulis, “when human beings search for ways to approximate God’s beauty and justice, then, they do not deny God’s sovereignty; they honor it. It is honored as well in the attempt to safeguard the moral values that reflect the attributes of the divine.”
Di lain pihak, bagi El-Fadl, dalam tradisi Islam sendiri terdapat sejumlah nilai yang lebih baik dibandingkan dengan klaim Kedaulatan Tuhan, yaitu al-maslahah al-mursalah dan sadd al-dzari’ah. Kedua konsep ini secara substansial lebih relevan untuk menerjemahkan Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Syariat secara lebih populis dengan mengutamakan kepentingan publik dan menghindari keburukan.
Wildan Imaduddin, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menekuni studi tafsir, dan peraih beasiswa LPDP.