Khilafah.id – Ketika membaca literatur tentang analisis Karl Marx mengenai mode produksi ekonomi di Eropa, kita akan sampai pada satu analisis yang cukup mengejutkan. Melalui pembacaan terhadap fase-fase perubahan sistem ekonomi yang berlangsung di dunia Barat dari zaman Yunani sampai era lahirnya Kapitalisme, Marx sampai pada kesimpulan bahwa paling tidak ada lima fase mode produksi yang menjadi dasar pergerakan ekonomi: pertama, fase primitif, kedua, fase perbudakan, ketiga, fase feodalisme, keempat, fase kapitalisme dan yang terakhir, kelima, fase sosialisme. Masing-masing fase ini memiliki alat-alat produksi dan kekuatan-kekuatan produksi yang berbeda-beda tergantung dengan masanya.
Dan sayangnya, pembacaan Karl Marx untuk fase yang terakhir ini, yakni fase sosialisme, malah meleset. Yang ada justru kita sekarang masih mengalami fase kapitalisme global yang makin menjamur di berbagai negara, termasuk di negara komunis sendiri seperti Cina.
Dalam masyarakat Barat yang dianalisis oleh Marx, infrastruktur yang meliputi kondisi produksi (iklim, sumberdaya alam), alat-alat produksi (alat, mesin), hubungan produksi (kelas social, dominasi, keterasingan, upah) sangat menentukan suprastruktur, yakni semua produksi yang bersifat non-materi yang berasal dari ide masyarakat seperti lembaga-lembaga politik, hukum, agama, filsafat dan lain-lain.
Singkatnya, mode produksi ekonomi di dunia Barat dalam analisis Marx sangat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di Barat sendri. Sampai di sini, ada kata-kata terkenal dari Karl Marx dalam bukunya A Contribution to The Critique of Political Economy, yakni it is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social beings that determines their consciousness (Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan sosial mereka, akan tetapi, sebaliknya, kondisi social lah yang menentukan kesadaran mereka).
Teori yang dikemukakan Marx ini kelak dinamakan oleh Friedrich Engels dalam Socialism: Utopian and Scientific sebagai materialisme historis. Baiklah kita tidak akan menenggelamkan diri dalam pembacaan mode produksi ekonomi Eropa sebagai penggerak semua aspek kehidupan yang ada di Barat. Yang telah kita petakan di atas sekedar sebagai pengantar untuk memahami mode produksi apa yang menentukan human beings dalam sejarah kekhilafahan Islam.
Dalam artikel ini ialah menganalisis mode produksi yang ada di negara-negara berkembang, yang oleh George Lukacs dalam Histoire et Conscience de Classe disebut sebagai negara asia pra-kapitalisme.
Dengan melihat mode produksi Eropa seperti yang telah dikemukakan di atas, kita mungkin akan bertanya-tanya, mode produksi ekonomi seperti apa yang digunakan di negara Islam dari sejak Khilafah Rasyidah sampai dengan masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah dan seterusnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita sejenak akan melirik teori yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Teori-teori yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah sebenarnya terpusat kepada analisis dua tipologi masyarakat yang berbeda: pertama, masyarakat primitif yang diwakili oleh kabilah-kabilah Badui nomaden yang jauh dari peradaban dan hidup bebas di padang pasir tanpa terikat oleh otoritas negara (al-Badiyah atau Badui dalam kamus bahasa Arab klasik ialah orang-orang yang tinggal di gurun pasir) dan kedua, masyarakat kota yang diwakili oleh kabilah-kabilah bekas Badui yang karena satu dan lain hal lama tinggal di kota sehingga menjadi masyarakat urban dan lupa akan kehidupan baduinya.
Dengan ashabiyyah yang kuat, kabilah-kabilah Badui nomaden ini dapat menggulingkan rezim pemerintahan yang ada, lalu menjadi penguasa serta menikmati berbagai fasilitas hidup mewah di dalamnya. Ini yang kemudian mengubah kehidupan mereka dari hidup yang sederhana di padang pasir menjadi hidup mewah di kota melalui penguasaan terhadap aset-aset negara di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Ketika menjelaskan jatuh bangunnya suatu negara, Ibnu Khaldun menjangkarkan analisisnya kepada dua tipologi masyarakat ini: kehidupan badui yang nomaden di padang pasir dan kehidupan urban yang menetap di kota. Atas dasar pembedaan ini, gerak sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan gerakan peralihan yang terjadi secara terus menerus dari kehidupan primitive-nomaden menuju ke kehidupan urban atau hadarah atau kemewahan.
Peralihan dari sistem kehidupan yang nomaden di padang pasir (badui) menjadi sistem kehidupan yang menetap di kota (hadhari) ini terjadi melalui penggulingan terhadap rezim kabilah yang sedang berkuasa. Jadi ketika suatu kelompok Badui ingin hidup dalam kemewahan, yang harus dilakukan ialah pertama harus memiliki ashabiyyah yang kuat untuk melawan pemerintah yang hidup di kehidupan ibu kota dan kedua, agar orang-orang Badui yang hidup di padang pasir ini bisa menggulingkan pemerintahan yang ada, disyaratkan pemerintahan yang sedang berkuasa tersebut berada dalam ujung tanduk kehancuran.
Ketika sudah mengalahkan pemerintahan sebelumnya, orang-orang Badui dengan ashabiyyah yang kuat ini beralih kehidupannya dari yang semula primitif menjadi kaya bergelimang harta. Pemenuhan kebutuhan mereka pun meningkat dari yang hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan primer menjadi dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Pada tahap ini, mereka hidup dalam hadharah.
Hadharah dalam pandangan Ibnu Khaldun bukan peradaban seperti yang kita pahami saat ini. Hadharah ialah budaya konsumtif kaum elit pemerintahan di kota (at-tafannun fi at-taraf) yang pada saat hidup nomaden di padang pasir, mereka sebenarnya hidup secara sangat sederhana, dan berada dalam taraf hidup yang hanya dapat memenuhi kebutuhan primer (ad-daruri). Jabatan mereka (al-imarah) dalam pemerintahan membuat mereka menjadi kaya raya dan hidup mewah bergelimang harta.
Kehidupan foya-foya kaum elit pemerintahan yang dulunya Badui Nomaden inilah yang pada tahap selanjutnya menghancurkan ashabiyyah. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa al-hadharah mufsidatun lil-umran (kehidupan foya-foya itu dapat menghancurkan kebudayaan). Karena hidup mewah ini di tubuh pemerintahan ini syarat akan konflik kepentingan, akhirnya individu-individu yang di masa fase Badui bersatu dan memiliki kohesi social yang tinggi, mengalami perpecahan dan kehilangan ashabiyyah. Pada fase ini, muncul gerakan Badui baru dengan ashabiyyah yang kuat yang menghancurkan dan menggantikan posisi mereka untuk kemudian mengalami nasib yang sama: kehancuran.
Inilah yang kemudian disimpulkan oleh Ibnu Khaldun, yakni bahwa sejarah Khilafah Islamiyyah ini hanya dapat dipahami sebagai proses yang bersifat siklistik: peralihan dari badui ke hadari yang terjadi secara terus menerus melalui perebutan kekuasaan, perebutan negara dari tangan kabilah-kabilah yang berkuasa sebelumnya. Jadi bisa dikatakan bahwa, bangun dan runtuhnya negara dalam sejarah pemerintahan Islam dibangun di atas peperangan, dan peperangan ini didorong oleh logika ekonomi yang bersifat perang pula.
Karena itu, dalam sistem ekonomi Khilafah di masa silam, pemasukan besarnya ialah dari harta rampasan perang ini. Dan ketika negara tidak menghasilkan pemasukan melalui penaklukan-penaklukan, yang ada ialah krisis ekonomi, dan berujung pada krisis politik dan sosial. Inilah yang terjadi pada masa tujuh tahun terakhir Utsman bin Affan dan masa Ali bin Abi Thalib dan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Fatimiyyah, Bani-Bani lainnya dalam pembacaan Ibnu Khaldun.
Pertanyaan lanjutan bisa kita kemukakan di sini, lalu apa sistem ekonomi berbasis perang yang dimaksudkan di sini? Apakah itu sejenis kekuatan produksi dan relasi produksi (meminjam istilah Karl Marx) dalam sistem negara Islam?
Dalam materialisme historis yang dikenalkan oleh Friedrich Engels dari hasil pembacaannya terhadap Karl Marx, kita mengenal dua istilah penting; pertama infrastruktur dan kedua, superstruktur. Infrastruktur yang meliputi di dalamnya sumber daya alam dan mode produksi ekonomi sangat menentukan superstructure yang meliputi di dalamnya ide-ide mengenai institusi politik, agama, budaya, social, filsafat dan seni.
Marx dalam hal ini menganut paham determinisme ekonomi ketika membaca mode-mode produksi yang berlaku di masyarakat Barat. Yang dimaksud dengan determinisme ekonomi di sini ialah paham yang menyatakan bahwa sistem ekonomi sangat menentukan sistem politik, budaya dan seterusnya.
Kalau kita turunkan istilah infrastruktur dan superstruktur dalam konteks sejarah Khilafah Islamiyyah, akan terlihat bahwa infrastrukturnya ialah mode produksi ekonomi berbasis perang sedangkan superstrukturnya ialah institusi politik, agama, budaya, pengetahuan dan seterusnya.
Hanya saja penggunaan dua istilah ini dalam mengamati proses kesejarahan Khilafah Islamiyyah ini mengundang pertanyaan lanjutan, yakni apakah relasi infrastruktur dan superstrukturnya bersifat sebab akibat ataukah tidak? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu apa itu mode produksi ekonomi perang.
Berdasarkan tulisan sebelumnya, kita telah melihat bahwa sejarah Islam dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan sejarah yang siklistik; siklus proses kesejarahan dari kehidupan nomaden yang kemudian beralih menuju kehidupan urban melalui peperangan. Atas dasar ini, mode produksi ekonomi masyarakat Badui-Hadari yang peralihannya dilakukan dengan perang ini sangat berbeda tentunya dengan mode produksi yang dianalisis oleh Karl Marx dan para pemikir Eropa lainnya. Perbedaannya dapat kita lihat pada beberapa poin berikut;
Pertama, kekuatan-kekuatan produksi berbasis perang ini bukanlah kekuatan produksi ekonomi murni, tapi lebih kepada “kekuatan perang”. Yang dituntut di sini ialah ciri-ciri fisik dan mental yang dengannya seseorang di masa silam itu dianggap sebagai penyerang tangguh. Ciri fisik terejawantahkan dalam kekekaran otot, lengan, bahu, keahlian dan pengalaman perang dan ciri mental termanifestasikan dalam adanya sifat seperti berani, cerdik, lihai. Ini semua dibutuhkan dalam perang.
Kedua, atas dasar ciri-ciri fisik dan ciri-ciri mental yang dituntut dalam perang ini, relasi-relasi social yang berlaku pada masyarakat ini bukanlah relasi produksi seperti yang diistilahkan Kar Marx, tapi lebih kepada relasi tertentu yang disebut al-Jabiri dalam Fikr Ibnu Khaldun sebagai relasi ashabiyyah. Relasi Ashabiyyah/relasi komunal ialah suatu relasi yang memisahkan dua pihak dalam perang dimana individu-individu pada satu pihak memiliki kohesi dan solidaritas social sehingga saling menguatkan satu sama lain dalam melawan pihak lain selama perang masih terjadi.
Adapun ketika perang selesai dan dimenangkan oleh kubunya, yang terjadi ialah sikap kewaspadaan dan permusuhan yang muncul di kalangan individu-individu dalam satu ashabiyyah yang berkuasa tersebut. Munculnya sikap saling curiga dan saling memusuhi dalam pihak yang menang disebabkan oleh adanya konfilik kepentingan. Konflik kepentingan ini meruncing di antara individu-individu yang menang perang, semacam kepentingan menguasai aset-aset negara seperti harta rampasan perang serta pembagian wilayah yang telah ditaklukan.
Mereka dulunya bersatu saat berjuang memerangi pemerintah, dan saat menang dan menduduki pemerintahan, mereka malah saling berebut kepentingan yang pada ujungnya, kekuasaan yang telah mereka peroleh jatuh dan direbut oleh kabilah-kabilah Badui lainnya yang memiliki ashabiyyah kuat.
Atas dasar ini, konflik kepentingan antar individu dalam satu ashabiyyah yang berkuasa ini malah menghambat kemajuan. Sebab, konflik ini tidak lahir dari proses produksi ekonomi yang alami. Konflik kepentingan ini lahir dari jabatan dan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan.
Ketiga, income dalam mode produksi perang seperti ini bukan berasal dari proses kegiatan ekonomi yang wajar dan alami, bukan berasal dari berjuang menaklukkan alam, bukan pula berasal dari hasil eksploitasi terhadap kelompok social tertentu oleh suatu kelompok sosial yang lain (misalnya Borjuis dan Proletar kalau dalam bahasa Marx).
Income dalam mode produksi seperti ini biasanya didapat dari penguasaan terhadap asset-aset alam yang sudah tersedia (seperti binatang ternak dan susu yang diperas dari hewan) di masa kerasnya kehidupan Badui (khusyunatul badawah) dan aset-aset social (seperti pajak, bea cukai, perampasan harta rakyat) di masa ketika orang-orang Badui berubah menjadi pejabat dalam pemerintahan di ibu kota (riqqat al-hadharah).
Keempat, superstruktur pada negara Khilafah Islamiyyah ini tidak memiliki kaitan erat dengan infrastrukturnya. Hal demikian tentunya, tidak seperti dalam masyarakat kapitalis yang dianalisis Karl Marx dimana infrastruktur menentukan superstruktur ( perubahan pada mode produksi akan berpengaruh terhadap sistem politik, budaya, social dan seterusnya), dalam sistem Khilafah Islamiyyah, infrastruktur tidak selamanya menentukan superstruktur. Dua-duanya bisa menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Artinya di sini, factor ekonomi bukanlah satu-satunya yang menggerakan sejarah seperti halnya analisis Karl Marx tentang mode produksi kapitalisme di Eropa. Dalam analisis Ibnu Khaldun, paling tidak, ada dua factor lain selain kekuatan ekonomi yang turut berpengaruh terhadap laju sejarah, yaitu pertama, ashabiyyah, yakni, kohesi social/solidaritas sosial dalam suatu kabilah sehingga membentuk kekuatan politik untuk berkonfrontasi; dan kedua, agama, yaitu berupa madzhab fikih, akidah atau doktrin amar ma’ruf nahi munkar atau slogan tertentu yang kemudian dijadikan ideologi politik suatu kelompok sosial.
Otoritas politik dalam sistem Khilafah Islamiyyah ini bukan dihasilkan dari penguasaan terhadap kekuatan-kekuatan produksi tapi lebih didorong oleh solidaritas ashabiyyah yang tinggi sehingga dengan ashabiyyah ini kabilah-kabilah Badui terdorong untuk berusaha menggulingkan pemerintah atau kerajaaan yang sedang berkuasa, dan sebagai dampaknya, mereka mendapatkan kemewahan-kemewahan hidup hasil dari jerih payah kekuasaan ini, yang di antaranya ialah income yang banyak. Jadi simpulnya, kekuasaan politik dalam sistem pemerintahan seperti ini didapat bukan dari pemilikan terhadap mode produksi ekonomi, malah sebaliknya, kekuasaan politik dapat menghasilkan kekuatan ekonomi (jabatan dapat menghasilkan uang).
Meski pengaruhnya sama besarnya dengan ashabiyyah dan agama, tetap saja mode produksi ekonomi berbasis perang ini menurut pandangan Ibnu Khaldun ialah yang paling bertanggung jawab bagi adanya instabilitas pada tataran politik, social dan budaya dalam sejarah peradaban Arab-Islam.
Pertanyaan yang bisa kita ajukan lagi terkait mode produksi ekonomi berbasis perang ini ialah, kenapa Khilafah Islamiyyah menganut sistem ekonomi yang tidak produktif, malah konsumtif ini? Kenapa dalam kitab-kitab fikih, kita temukan banyak pembahasan bagaimana harta rampasan perang dibagikan, bukan bagaimana dikembangkan?
Semua itu tentunya karena watak kebaduian yang masih terbawa saat mereka memangku negara. Kabilah-kabilah Badui tidak kenal apa yang kita sebut sekarang investasi, menabung untuk masa depan dan seterusnya. Harta yang mereka dapatkan langsung dikonsumsi dan habis. Mereka tak pernah terpikir untuk menyimpannya dan menginvestasikannya. Yang ada sekarang ya dihabiskan sekarang. Watak seperti ini terbawa saat mereka menduduki posisi pemerintahan.
Abdul Aziz, Dosen UNPAM, Lulusan S-2 Linguistik UGM yang pernah nyantri di Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences.