Khilafah.id – Suatu waktu, saya memiliki teman, ukhti-ukhti yang kelihatannya tengah proses hijrah. Ia alumni sekolah negeri dan, mohon maaf, dulu, merupakan pribadi yang banyak bergaul, hingga lupa waktu, juga sering gonta-ganti pacar. Sekarang, di stori WhatsApp dan semua sosial medianya punya satu kutipan yang sangat religius khilafah: “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.” Salehah sekali, bukan?
Tentu, memperbaiki diri merupakan suatu keniscayaan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka, akhi-ukhti hijrah, tidak benar-benar taat. Kesalehan bisa menjadi kiat yang gradual. Juga tidak bermaksud menggeneralisasi sebagai pengikut HTI, karena kesalehan bisa jadi datang dari nurani sendiri. Hanya saja, biasanya, ustaz panutan mereka adalah ustaz prematur: bodoh.
Ciri ustaz prematur ialah suka mencaci, eksklusif, tekstualis, dan geal-geol ketika membaca al-Qur’an—apalagi teks keagamaan yang tidak berharkat. Evie Effendi yang membuat heboh publik karena tidak bisa baca al-Qur’an secara benar, setali tiga uang dengan Sugik Nur yang suka misuh. Belum lagi Felix Siauw yang jelas-jelas agen HTI?
Lalu, saya khawatir, bagaimana misalkan yang dicekoki kepada jemaahnya, tentang hijrah misalnya, adalah kepalsuan belaka. Bagaimana misal prinsip “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus” itu ternyata tidak lain adalah indoktrinasi ideologis para ustaz-ustaz itu. Allah menjadi representasi Islam, dan mereka harus berpegang teguh kepada agama. Bagaimana misal, salah satu bentuknya adalah menegakkan sesuatu yang mereka fitnah berasal dari agama, yaitu khilafah?
“Khilafah dulu, lagi, terus” menjadi agenda terselubung di balik narasi hiper-religiusitas. Apapun masalahnya, khilafah dulu. Terus, lagi. Pokoknya khilafah terus. Indoktrinasi ala Hizbut Tahrir itu sangat masif sekali. Apalagi hanya ulama, manusia biasa, bahkan Tuhan pun, dieksploitasi untuk melancarkan agenda politik kekuasaannya.
Sungguhpun demikian, kita juga harus melihat kasus terbaru. Para aktivis khilafah banting setir pasca polemik RUU HIP. Mereka mendadak Pancasilais. Apakah itu sungguhan? Mustahil, jelas sandiwara belaka. Sampul keagamaan dan sampul kenegaraan mereka palsu mutlak, apalagi berlagak cinta NKRI. Mereka bak siluman.
HTI Siluman Khilafah
HTI yang saya maksud bukanlah HTI yang dulu, saat masih punya badan hukum. HTI sekarang adalah komunitas ilegal yang berpencar di mana-mana. Tidak punya basecamp, tetapi menyelinap kemana saja, menampakkan diri sebagai apa saja, dak beraksi kapan saja. Mereka bisa masuk ke barisan FPI, juga bisa masuk ke barisan ormas lainnya—berubah menjadi apa saja yang mereka mau.
Yang tetap, meski ini hanya contoh kecil, adalah benderanya. Kemanapun mereka beraksi, bendera putih-hitamnya dibawa. Tokoh HTI di masa lalu, kini punya panggung personal yang dakwahnya disebarkan oleh antek-anteknya. Sekarang mudah sekali seseorang menjadi pengikut mereka secara suka rela, tanpa menjadi bagian HTI. Yang terpenting agendanya satu: khilafah.
‘Khilafah dulu’ bisa kita tarik pemahaman sebagai ‘khilafah di masa lalu’. Fakta sejarahnya, masyarakat Muslim awal menerapkan sistem pemerintahan yang tidak tetap, dan selalu mencari penyesuaian. Nabi adalah pemimpin teokrasi. Abu Bakar dipilih melalui kesepakatan Muhajirin dan Anshar. Umar dipilih oleh Abu Bakar. Usman dipilih melalui tim formatur, sementara Ali ditunjuk khalifah sebelumnya. Ketidaktetapan ini, oleh Arif Maftuhin, diistilahkan sebagai ‘trial-and-error’.
Jadi, dulu, umat Islam memilih mana sistem pemerintahan yang tepat, dan setiap sistem selalu mengalami error—tak ada yang sempurna. Di masa Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani, sistem pemerintahannya sama, yaitu monarki. Sekali lagi monarki. Sistem tersebut pernah dikritik oleh Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Umar. Apakah para agen HTI menerangkan hal ini? Pasti mereka melawatkannya.
Agenda aktivis khilafah hari ini adalah ‘khilafah lagi, dan, terus’. Mereka berjalan bak orang buta, tidak peduli fakta sejarah yang benar. Apapun masalah yang menimpa Indonesia, mereka tuduh itu gara-gara sistem thaghut-nya: demokrasi. Apapun masalahnya, mereka tuduh itu karena presiden Jokowi adalah komunis.
Caranya bagaimana? Terapkan khilafah. Kata mereka, di bawah khilafah ala HTI, kemakmuran menunggu. Bonus: konon, non-Muslim akan aman di bawahnya. Tetapi, apakah kita yang waras akan percaya tipu muslihat siluman seperti mereka?
Bagaimana Menangkalnya?
Ketidakjujuran terhadap sejarah Islam di satu sisi, dan masifnya mereka melakukan konfrontasi, sembari sok membela Pancasila, adalah bukti ‘kesilumanan’ para aktivis khilafah. Mereka tidak pernah berhenti mengelabui umat, bahkan non-Muslim, bahwa ia adalah satu-satunya solusi. Ini bukan lagi tentang organisasi terlarang, melainkan ideologi perebut kekuasaan.
Denny Siregar, penulis yang katanya adalah pendengung (buzzer), pernah membuat tulisan provokatif berjudul “Adek2ku Calon Teoris Yg Abang Sayang”, di laman Facebook miliknya. Sekalipun keluar dari seorang buzzer, tetapi di situ ada benang merah yang, saya pikir, kita akan membenarkannya: bahwa indoktrinasi khilafah itu tidak hanya masif berkelanjutan, melainkan juga sejak dini.
Cara menangkal mereka sudah diulas dalam banyak tulisan maupun di forum-forum diskusi. Tetapi, yang harus dicatat, mereka tidak akan berhasil menjalankan agenda khilafahisasi masyarakat, selagi para tokoh agama kita kuat membela negara. Yang mesti dikhawatirkan adalah generasi mendatang.
Ketika para cendekiawan kalah oleh ustaz baru jadi yang bodoh dalam beragama, dan anak-anak kita dibentuk menjadi pemimpi khilafah, apakah itu artinya kehancuran negeri menjadi keniscayaan paling mengerikan?
Khilafah lagi, khilafah terus, adalah narasi politik yang tidak saja menyalahi konsensus para founding fathers Indonesia, melainkan juga bertentangan dengan yang diajarkan Nabi dan keempat sahabat. Di zaman dulu, justru ia lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan para keluarga raja seperti Dinasti Umayyah hingga Turki Utsmani.
Keaslian sejarah mesti diajarkan, dan penyelewengan sejarah harus dilawan sekeras mungkin. Tidak sedikit kita muak dengan para aktivisnya yang, semakin hari, persekongkolan mereka dengan rekan seideologinya semakin besar. Setidaknya jika mereka ditentang terus-menerus, kita sudah menghapus ruang kosong yang akan mereka duduki sebagai penguasa politik.
Pancasila dulu, lagi, dan terus-menerus harus diperjuangkan. Ia sudah final sebagai falsafah bangsa, sefinal khilafah bagi para dedengkotnya. Tugas kita adalah, bagaimanapun caranya, menyelamatkan negeri dari rongrongan bajingan berbaju agama seperti mereka. Apakah judul di atas menunjukkan bahwa khilafah sudah menjadi sebuah ‘isme’? Menarik diulas.
Ahmad Khoiri, penulis seputar keislaman.