Khilafah.id – Beberapa waktu terakhir ini, pembahasan seputar khilafah kembali menarik perhatian banyak kalangan, terlebih setelah pemutaran film “Jejak Khilafah di Nusantara”, meskipun kemudian film tersebut diblokir oleh pemerintah. Sadar atau tidak, para penggagas khilafah versi HTI di negeri ini tidak pernah berhenti melakukan upaya indoktrinasi untuk menegakkan kembali khilafah melalui pelbagai ruang publik. Walaupun mereka sering bersilat lidah, mengenai adanya upaya propaganda paham khilafah. Keadaan ini tentu berbahaya bagi keutuhan NKRI, mengingat masyarakat cenderung mudah terbawa arus propaganda yang berlabel agama.
Term khilafah sebenarnya bukan istilah yang asing di telinga umat Islam. Sepeninggal Rasulullah SAW, kita mengenal Abu Bakar yang diangkat sebagai khalifah (pengganti) Nabi Muhammad SAW untuk mengatur urusan agama dan kemasyarakatan. Selanjutnya, secara berturut-turut, pengganti Rasulullah SAW ini adalah Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Melalui pembacaan sejarah, khilafah sebagai suatu institusi atau bentuk pemerintahan memang pernah ada, yakni pada periode al-Khulafa’ al-Rasyidun sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. Kekhilafahan pada masa inilah yang dikenal sebagai Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah, yang mana pemerintahan yang dijalankan oleh para sahabat tersebut adalah aktualisasi ajaran Islam yang mengacu pada teladan pemerintahan era Rasulullah SAW.
Adanya kekhilafahan pasca Nabi Muhammad SAW disinggung dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan Basyir bin Sa’d, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya di antara kalian telah ada masa kenabian, kemudian setelah itu khilafah yang sesuai dengan jalan kenabian, lalu selanjutnya periode kerajaan dan keotoriteran. (HR. Al-Thabrani). Dapat dipahami secara tersurat, bahwa hadis ini menyatakan adanya masa kekhilafahan yang sejalan dengan manhaj Rasulullah SAW setelah periode Nabi Muhammad SAW rampung.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Safinah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, Khilafah pada umatku selama 30 tahun, setelah itu diperintah oleh kerajaan. (HR. Al-Tirmidzi). Di lain riwayat, masih dari sahabat yang sama, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Khilafah kenabian berlangsung selama 30 tahun, kemudian Allah SWT memberikan kerajaan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya. (HR. Al-Baihaqi). Hadis dari Safinah ini diriwayatkan oleh para perawi yang kredibel, sehingga riwayatnya dapat diterima dan dijadikan hujjah.
Selanjutnya, hadis tersebut memberikan elaborasi tentang seberapa lama periode khilafah yang diakui sesuai manhaj kenabian berlangsung. Melalui penafsiran para ulama, masa 30 tahun tersebut merupakan jumlah dari periode pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Lebih jelasnya, disebutkan bahwa periode Abu Bakar berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 10 hari, Umar bin al-Khattab selama 10 tahun 6 bulan 8 hari, Usman bin al-Affan selama 11 tahun 11 bulan 9 hari, dan periode Ali bin Abi Thalib berjalan selama 4 tahun 9 bulan 7 hari.
Secara matematis, jika dijumlahkan periode-periode tersebut hasilnya 29 tahun 6 bulan 4 hari. Sehingga ada ulama yang menggenapkannya dengan masa kepemimpinan Hasan bin Ali yang berlangsung kurang lebih 6 bulan. Meskipun ia tidak termasuk dalam jajaran al-Khulafa’ al-Rasyidun, tetapi ia tetap dianggap sebagai khalifah yang sah dan bersesuaian dengan jalan kenabian. Keberhasilan dan unggulnya kepemimpinan Hasan bin Ali dinilai dari kemuliaan akhlaknya yang kala itu rela mundur dari posisi khalifah, demi menghentikan pertikaian di antara umat Islam.
Riwayat tersebut memberikan gambaran, bahwa predikat khilafah yang mendapat basis legitimasi syariat dan sesuai dengan manhaj Nabi Muhammad SAW, terbatas hanya 30 tahun setelah beliau wafat. Sedangkan, masa pemerintahan setelah itu bukanlah khilafah yang sejalan dengan tipikal pemerintahan selama periode nubuwwah. Term khalifah yang diadopsi, hanya merujuk pada status raja sebagai seorang pemimpin. Adapun secara substansi, sistem pemerintahan yang berlaku sejak masa Daulah Umayyah adalah monarki. Suksesi yang terlihat adalah dengan pewarisan tongkat estafet kepemimpinan dari seorang ‘khalifah’ kepada anaknya.
Sebelum jauh-jauh mewacanakan tegaknya lagi khilafah, hadis dari Safinah tadi telah memberikan rambu-rambu, bahwa khilafah ‘ala minhan al-nubuwwah terbatas hanya 30 tahun saja. Jika ada upaya oknum yang menggaungkan kembali berdirinya khilafah dan mengklaim bahwa satu-satunya solusi atas problematika kehidupan saat ini adalah khilafah, sesungguhnya hal itu tak lebih dari nafsu politis belaka.
Term khilafah, yang berarti pimpinan tertinggi dari suatu kekhilafahan, selalu diidentikkan dengan “para pengganti Nabi” dalam maknanya sebagai pengawal misi-misi agama dan pemerintahan. Sifat-sifat yang melekat pada Nabi turut bersemayam seiring dengan penyematan gelar khalifah kepada penguasa. Padahal, predikat ma’shum hanya milik Rasulullah SAW seorang, sehingga menjadi wajar jika kepemimpinan Rasulullah SAW adalah role model utama.
Adapun al-Khulafa’ al-Rasyidun adalah sahabat-sahabat mulia yang dijanjikan masuk surga sekaligus mendapat legitimasi syariat bahwa pemerintahan mereka sesuai dengan jalan kenabian. Sedangkan, jaminan apa yang bisa dihadirkan para pengusung khilafah versi HTI, sehingga berani mengklaim bahwa khilafah produk mereka akan mendatangkan kesejahteraan dan solusi bagi permasalahan umat? Jawabannya, tidak ada. Jangan terkecoh. Kekhilafahan yang bersesuaian dengan era kenabian hanyalah 30 tahun dan telah berakhir di tangan al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Khalilatul Azizah, Muslimah reformis yang konsen dalam kajian Islam transnasional.