Khilafah.id – Seberapa sentral ide tentang khilafah dalam doktrin politik Islam? Apakah institusi khilafah merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang kewajibannya berlaku permanen? Atau keberadaannya tak lebih bersifat instrumental saja, yang bisa diganti dengan institusi politik lain?
Ada baiknya kita menyimak Al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Abu Hasan Ali Al-Mawardi ( w. 450/1058), karya klasik perihal khilafah dalam khazanah politik Sunni. Di situ Al-Mawardi menyebutkan khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi Muhammad dalam memelihara agama dan mengatur dunia (khilafah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya).
Baginya, khilafah merupakan sistem politik yang dirancang demi tegaknya fundasi agama (qawa’id al-millah) dan kemaslatan umat (mashalih al-umma). Mawardi secara khusus menekankan kenisacayaan keberadaan khilafah demi kelangsungan umat dan tegaknya syariah.
Dalam konsepsi Al-Mawardi tentang imamah (kepemimpinan politik), keabsahan seorang khalifah ditentukan melalui pemilihan yang dilakukan oleh komite penyeleksi, disebut ahlul halli wal ’aqdi, terhadap sejumlah kandidat yang dianggap memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, untuk kemudian mendapatkan persetujuan umat melalui bai’at.
Di sini posisi Mawardi berseberangan dengan pandangan Syiah mengenai imamah yang seleksinya tidak berdasar pemilihan (ikhtiyar), melainkan sudah ditentukan oleh nash. Masyhur diketahui bahwa dalam perspektif Syiah, imamah merupakan hak eksklusif Ali bin Abu Thalib dan keturunannya atas dasar penunjukan oleh Nabi sendiri untuk mewarisi perannya sebagai pemegang otoritas politik dan keagamaan sepeninggal beliau.
Karena itu, dalam pandangan Syiah, seorang imam juga mempunyai karakter yang sama dengan Nabi, yakni ma’shum (tak bisa salah). Khalifah dalam konsepsi Mawardi bukanlah sosok yang ma’shum.
Namun di sisi lain, dengan menempatkan institusi khilafah sebagai khilafah al-nubuwwah, pengganti kenabian, Mawardi, disadari atau tidak, memposisikan khilafah sebagai penguasa yang otoritas dan legitimasi politiknya bersumber langsung dari Tuhan. Seorang khalifah dalam konsepsi Mawardi adalah sosok yang bisa mengklaim kedaulatan dirinya sebagai manifestasi dari kedaulatan Tuhan. Dengan kata lain, khalifah dipandang sebagai wakil atau agen Tuhan di bumi.
Gambaran Mawardi tentang khilafah tersebut tampaknya berbeda dengan apa yang berkembang pada masa Khulafa’ur Rasyidin. Pada saat Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama setelah Nabi wafat, beliau dengan tegas menyatakan diri sebagai khalifatu Rasulillah (pengganti Rasulullah).
Dalam pidatonya, ia antara lain mengatakan: “Jika aku berlaku adil dalam urusanku, sokonglah. Akan tetapi jika aku menyimpang, luruskanlah aku… Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi kalau aku melanggar perintah-Nya, jangan kalian ikuti aku.”
Demikian juga Umar bin Khattab. Ketika seseorang berkata kepada Umar, “Engkaulah khalifah Rasulullah,” Umar menjawab: “atau lebih tepatnya khalifah (pengganti) Abu Bakar, dan Abu Bakar adalah pengganti Rasulullah.”
Kesan yang muncul dari sebutan khalifatu Rasulillah yang dipakai Abu Bakar: seorang khalifah dianggap semata-mata sebagai pengganti Nabi, di luar kapasitasnya sebagai Nabi. Perannya lebih sebagai ra’iy (gembala) bagi umat. Khalifah lebih merepresentasikan diri sebagai sosok yang bertindak atas nama umat ketimbang sebagai pemegang kedaulatan absolut Tuhan. Apabila ia menyimpang, umat berhak mengingatkan dan meluruskannya kembali.
Pandangan tentang khalifah sebagai ra’iy (gembala) ini bisa kita temukan pada karya sejumlah ulama sebelum Mawardi. Abu Yusuf, misalnya, dalam Kitab al-Kharaj, menampilkan citra khalifah ebagai ra’iy (shepherd). Tulisnya: ”Pagi dan malam paduka bekerja membangun untuk rakyat. Tuhan telah menjadikanmu sebagai ra’iy (gembala), memasrahkan agar urusan rakyat menjadi urusan paduka. Janganlah paduka menyalahgunakan wewenang yang telah Tuhan anugerahkan ke paduka.”
Di mata Abu Yusuf, khalifah berkewajiban menegakkan keadilan dan mewujudkan terciptanya kebahagiaan bagi gembalaannya. ”Penggembala yang paling bahagia di hadapan Allah di hari kiamat adalah mereka yang membikin rakyat gembalaannya bahagia.”
Namun, sebutan khalifatu Rasulillah perlahan-lahan bergeser digantikan oleh gelar lain, yakni khalifatullah. Ini terjadi terutama pada periode pasca Khulafa’ur Rasyidin. Naiknya Dinasti Umayyah mengubah watak dan struktur institusi khilafah itu sendiri. Khilafah tampil dalam bentuk kerajaan/monarki, di mana takhta diwariskan secara turun temurun.
Para khalifah dari Bani Umayyah dan Abbasiyah lebih condong untuk menyebut diri sebagai khalifatullah. Tujuannya untuk memantapkan legitimasi politiknya di hadapan umat. Begitulah, pendiri dinasti Umayyah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pun menggunakan titel khalifatullah, ketimbang khalifatu Rasulillah. Ini, misalnya, terekam dalam surat Abu Bakrah ke Mu’awiyah yang menyebutnya sebagai halifatullah fi khalqih (deputi Allah atas makhlukNYA). Penyair Marwan bin Abul Janub menyebut Khalifah Mu’tashim sebagai khalifatullah.
Seiring dengan perjalanan waktu, gambaran tentang khalifah sebagai wakil Tuhan menjadi semakin kokoh manakala kekuasaan Islam meluas ke wilayah non- Arab, khususnya Persia. Satu hal yang perlu dicatat, penguasa dalam perspektif Sasanid (Persia Kuno) dilihat sebagai perwujudan bayang-bayang Tuhan di bumi. Seorang raja berkuasa berdasar mandat dari Tuhan, dan bertanggung jawab langsung kepada Tuhan.
Kepatuhan rakyat terhadapnya tidak hanya dianggap sebagai keharusan, tapi juga merupakan sesuatu yang sudah semestinya. Citra khalifah sebagai ”bayang-bayang Tuhan” ini lalu merasuk dalam nomenklatur politik kekhalifahan Abbasiyah, di antaranya melalui karya-karya yang berisi nasihat dan saran untuk penguasa yang lazim dinamakan sebagai ”cermin-untuk-raja” atau ”nasihat-untuk-raja.” Dari sinilah berkembang visi tentag khalifah sebagai dzillullah fil ardl (bayang-bayang Tuhan di bumi).
Berbeda dengan gelar khalifatu Rasulillah yang menempatkan khalifah lebih sebagai gembala (ra’iy) bagi umat, sebutan khalifatullah memunculkan kesan bahwa sang khalifah adalah sosok yang mewakili Tuhan sekaligus memanifestasikan keabsolutan kedaulatan Tuhan.
Gambaran tentang khalifah sebagai agen Tuhan dengan kekuasaan absolut inilah saya kira yang secara kuat terpancar dari pandangan Mawardi tentang khilafah. Perlu diketahui, sejatinya Mawardi dalam kitabnya mengakui bahwa ia lebih condong dengan sebutan khalifatu Rasulillah ketimbang khalifatullah. Namun kalau dilihat bagaimana ia melukiskan betapa absolutnya kekuasaan khalifah, Mawardi tampaknya tak beranjak jauh dari konsepsi Umayyah dan Abbasiyah tentang khalifah sebagai wakil Tuhan.
Apakah pandangan Mawardi tentang khilafah ini merepresentasikan konsepsi Islam klasik tentang tatanan politik Islam? Bagaimana konsepsi tentang khalifah dengan kekuasaan absolut ini ketika berhadapan dengan realitas politik zamannya? (Bersambung)
Akhmad Sahal, Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.