Khilafah.id – Khilafahisme berbeda dengan khilafah. Yang pertama adalah ideologi politik yang didasarkan pada konsep khilafah Islam yang sudah banyak mengalami distorsi, modifikasi dan dan merupakan hasil penafsiran, yang kemudian dijadikan semacam landasan dan keyakinan gerakan politik untuk meraih kekuasaan politik. Jelas, Hizbut Tahrir menganut ideologi ini. Karena menjadi ideologi, tentu Khilafahisme kemudian menjadi konsep yang kaku, tertutup, memercayai sistem kepemimpinan Islam yang saklek, yaitu sistem khilafah.
Berbeda dengan Khilafahisme, khilafah adalah konsep moral universal kepemimpinan dalam Islam. Konsep kepemimpinan yang mengandung nilai-nilai ilahiah dan profetik dalam Islam ini tentu bersifat generik sehingga bisa sublim dalam sistem politik dan kemasyarakatan yang bermacam-macam, kontekstual, rasional, dan realistik. Karena itu, khilafah bisa eksis dalam sistem politik monarkhi, demokrasi, disnasti, teokrasi, dan lain sebagainya.
Khilafah menjadi konsep yang selalu dibahas dalam kitab-kitab fiqh karena memang disinggung dalam Alquran: khilafah (pemimpin) dan khilafah (kepemimpinan) dalam Islam. Khilafah yang memuat prinsip-prinsip kepemimpinan yang didasarkan pada nilai-nilai luhur ketuhanan dan kenabian yang masuk pada domain syariah bersifat tetap (tsubut) dan tidak bisa diotak-atik (qath’i). Sedangkan bentuk dan sistem kepemimpinan politik adalah wilayah ijtihad atau interpretasi, sehingga pendapat para ulama atau pakar politik Islam bisa berbeda-beda.
Khilafahisme Ala HTI
Khilafah yang dikonsepsikan dan diperjuangkan Hizbut Tahrir selama ini merupakan salah satu hasil ijtihad atau interpretasi sekelompok ulama, yakni pendiri dan elite HT. Sebagai fiqh atau hasil pemahaman terhadap konsep khilafah Islamiyah, sebenarnya tidak ada masalah dengan khilafah ala HT. Persoalannya, khilafah ala HT ini kemudian dijadikan ideologi politik yang melandasi gerakan sekelompok Islam politik yang bersifat totaliter.
Di sinilah kemudian terjadi banyak sekali distorsi, delusi, insinuasi, serta ketidakwarasan ilmiah. Pertama, entah disengaja atau tidak, para penyeru khilafahisme ala HT ini mengaburkan atau menyamakan konsep khilafahisme dalam Alquran yang merupakan syariah dan oleh karena itu dianggap sebagai kebenaran mutlak dalam Islam, dengan khilafah ala HT yang merupakan hasil ijtihad yang kebenarannya nisbi. Di sini, antara syariah dan fiqh di-gebyah uyah secara serampangan.
Mereka kemudian mamutlakkan hasil penafsirannya tersebut dan memaksakan kepada umat Islam yang lain. Mereka mengatakan khilafah versi mereka adalah ajaran Islam. Kemudian mengembangkan logika, siapapun yang menolak ajaran Islam ini ialah kafir. Padahal yang dimaksudkan khilafah di situ ialah yang mereka pahami. Faham absolutisme akut ditambah nafsu politik yang menggebu membuat mereka merasa wajib menyebarkan dan bahkan memaksakan penegakan khilafah tafsir mereka dengan berbagai macam cara, termasuk dengan cara di luar etika Islam serta memerkosa kaidah dan tradisi ilmiah.
Sakit Jiwa Ilmiah
Contoh yang paling nyata adalah ketika mereka membuat film propaganda politik dengan judul “Jejak Khilafah di Nusantara”. Dalam pembesutan film ini, mereka berani mencatut nama besar sejarawan Diponegoro dan Jawa Peter Carey. Dalam wawancara dalam acara Blak-Blakan detik.com, Peter Carey menyatakan bahwa pencatutan itu merupakan tindakan yang tidak beretika, tidak bermoral, dan merupakan kejahatan karena telah menyeret namanya sebagai profesional dalam sebuah film yang Peter sebut sebagai film propaganda, dan mengada-ada.
Sejak awal, JKDN diklaim sebagai film dokumenter yang berbasis data riset. Peter sebenarnya mempersilakan siapapun untuk membuat film, dengan catatan harus jujur. Menurutnya, film JKDN tidak ada persoalan ketika disebut sebagai film fiksi saja, dan tidak diklaim sebagai film dokumenter, apalagi sejarah. Insinuasi dan delusi simpatisan HTI mengenai bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan bagian dari kekhilafahan Turki Utsmani, terlihat jelas dan telanjang dalam film JKDN itu. Di situ terlihat bahwa mereka sedang mengelabui publik, menyajikan realitas yang sebenarnya fiktif (sebagaimana yang disampaikan Peter Carey) yang mereka klaim sebagai fakta sejarah.
Ini sangat membahayakan karena itu merupakan tindakan kamuflase ilmiah. Mereka mengklaim telah meneliti menggunakan metode ilmiah, tetapi tidak mengikuti standar kerja-kerja ilmiah yang jujur dan beretika. Mereka mencoba untuk membentur dan membongkar akumulasi pengetahuan ilmiah mengenai sejarah Islamisasi di Nusantara yang sudah diupayakan oleh para peneliti dedikatif selama ini, namun mereka tidak melakukan proses akademisnya secara memadai.
Dalam kerja ilmiah mereka yang sangat singkat, yaitu sejak 2017 hingga 2020, prematur, dan tidak memadai, mereka kemudian dengan terburu-buru membuat kesimpulan yang mendukung agenda politik khilafahismenya. Sehingga tak heran, Peter menyebutnya sebagai film propaganda politik. Dari situ dapat dilihat, bahwa kerja pseudo-ilmiah mereka itu bukan mencari kebenaran ilmiah, melainkan mencari pembenaran akan ideologi yang sedang dipaksakannya.
Tidak hanya sampai di situ, kepongahan mereka juga terlihat jelas ketika mereka melecehkan otoritas para ilmuan dan sejarawan dengan menyatakan misalnya bahwa bantahan itu Peter Carey tidak berarti dan hanya seperti debu. Padahal, Peter Carey adalah peneliti mengenai Diponegoro dan Islam Jawa yang mendedikasikan usianya sudah sekitar 40 tahun dengan banyak karya yang sangat tebal dan serius. Mereka juga menganggap tidak berarti bantahan Azyumardi Azra yang telah meneliti dengan tekun, serius dan menulis disertasi mengenai Jaringan Ulama Nusantara. Sikap ini hanya bisa disebut dengan “sakit jiwa ilmiah”.
Fathor Rahman Jm, Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember.