Khilafah.id – Menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU) bukan tugas mudah tapi penuh tantangan yang besar dari berbagai lapisan. Hal itu diungkapkan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar dalam acara Kick Off Hari Lahir (Harlah) ke-102 NU di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, Surabaya. Namun kesulitan dalam menjalankan organisasi saat ini tak seberapa jika dibandingkan kesulitan yang dihadapi muassis (pendiri) NU 100 tahun lalu.
Menurut Kiai Miftach, proses melahirkan NU pada 16 Rajab 1344 Hijriah atau 102 tahun yang lalu sangat berat. Jika dalam mengambil hikmah dari pendirian NU di masa lalu, maka akan berpotensi mengurangi semangat berorganisasi saat ini.
“Tentu jika tidak ada sikap zuhud, jihad, niat, kesungguhan yang prima, amanah, maka saat ini kita tidak akan bisa merasakan kebesaran NU,” ujar Kiai Miftach dalam siaran pers, Kamis (16/1/2025).
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Surabaya ini menuturkan, kemuliaan yang dimiliki NU saat ini tak bisa dilepaskan dari apa yang dilakukan para pendiri saat itu. Sehingga, kata dia, saat ini pengurus NU hanya tinggal menikmati dan melanjutkan perjuangan para pendiri.
“Karena NU saat ini sudah sedemikian besar, generasi saat ini tinggal menikmati. Ibarat bendera sudah ditarik di atas tiang, justru harus kita jaga bendera itu. Karena zuhud dan jihad para pendiri yang luar biasa, kita pengurus PBNU, PWNU, MWCNU, PCNU harus bersyukur karena diikutsertakan dalam organisasi yang saat ini berumur lebih satu abad,” jelas Kiai Miftach.
Menurut dia, suatu perjuangan tidak mungkin tanpa tantangan. Dia mencontohkan bagaimana Allah SWT menceritakan di dalam Alquran tentang perjuangan para nabi dan rasul yang mengalami berbagai tantangan dalam menyebarkan agama.
Begitupun dalam Harlah ini, ungkap Kiai Miftah, saat ini perjuangan NU tidak mudah. Apalagi tahun-tahun ini bermunculan masalah-masalah besar. Itu butuh kesungguhan dari PBNU untuk menyelesaikan. “Alhamdulillah pelan-pelan bisa diselesaikan,” kata Kiai Miftach.
Mengemban tugas sebagai pengurus Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab besar. NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Sejak didirikan pada tahun 1926, NU telah menjadi garda terdepan dalam menjaga harmoni, memperjuangkan keadilan sosial, dan mengawal nilai-nilai Islam ahlusunnah wal jamaah yang ramah, moderat, dan inklusif. Namun, di balik kebesaran nama dan perannya, menjadi pengurus NU tidaklah mudah. Tantangan yang dihadapi pengurus NU sangat kompleks, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga relevansi NU di tengah perubahan zaman yang begitu cepat. Generasi muda kini hidup di era digital yang penuh dengan arus informasi dan narasi yang beragam. Di satu sisi, hal ini memberikan peluang besar bagi NU untuk memperluas dakwah dan pengaruhnya. Namun, di sisi lain, derasnya informasi sering kali diiringi dengan munculnya paham-paham ekstrem dan misinformasi yang dapat merusak akidah dan persatuan umat. Pengurus NU dituntut untuk mampu merespons tantangan ini dengan menghadirkan dakwah yang relevan, kreatif, dan menyentuh hati generasi milenial dan Gen Z.
Tantangan berikutnya datang dari dinamika internal organisasi. Sebagai organisasi yang besar dan memiliki jutaan pengikut, NU menghadapi kompleksitas dalam mengelola berbagai struktur dan kepentingan. Pengurus di tingkat cabang hingga pusat harus mampu menjalin koordinasi yang baik, menjaga semangat kolektif, dan menghindari konflik internal yang dapat melemahkan gerakan. Kebesaran NU bukan hanya terletak pada jumlah anggotanya, tetapi juga pada kemampuannya untuk tetap bersatu meski berada dalam keberagaman.
Di sisi eksternal, pengurus NU juga harus berhadapan dengan dinamika sosial dan politik yang sering kali penuh dengan tekanan. Sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar, NU tidak jarang menjadi sasaran berbagai kepentingan, baik dari pihak yang ingin memanfaatkan nama besarnya maupun dari mereka yang berupaya melemahkan posisinya. Dalam situasi seperti ini, pengurus NU dituntut untuk memiliki keteguhan moral dan keberanian untuk mengambil sikap yang sesuai dengan prinsip organisasi, meski keputusan tersebut mungkin tidak selalu populer.
Selain itu, menjadi pengurus NU juga berarti harus terlibat langsung dalam isu-isu sosial kemasyarakatan. NU telah lama dikenal sebagai organisasi yang peduli terhadap kaum marjinal, memperjuangkan pendidikan, dan memberikan solusi atas berbagai persoalan umat. Namun, untuk menjalankan peran ini, pengurus sering kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, baik secara finansial maupun infrastruktur. Dibutuhkan kreativitas, kerja keras, dan kolaborasi untuk memastikan bahwa NU tetap hadir di tengah masyarakat sebagai solusi atas berbagai permasalahan.
Di tengah semua tantangan ini, semangat keikhlasan menjadi fondasi utama yang harus dimiliki oleh setiap pengurus NU. Keikhlasan dalam mengabdi kepada umat, keikhlasan untuk menghadapi kesulitan, dan keikhlasan untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi. Semangat ini sejalan dengan ajaran para pendiri NU, yang mengajarkan bahwa pengabdian adalah jalan mulia menuju keberkahan.
Menjadi pengurus NU memang penuh tantangan, tetapi di balik setiap tantangan terdapat peluang besar untuk berkontribusi pada umat dan bangsa. NU bukan sekadar organisasi, melainkan sebuah gerakan yang hidup, berkembang, dan memberikan pengaruh luas. Tugas pengurus adalah menjaga agar gerakan ini tetap relevan, kokoh, dan memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin orang.
Maka, bagi siapa pun yang diberi amanah menjadi pengurus NU, tugas ini bukanlah beban, tetapi sebuah ladang pengabdian yang penuh makna. Dengan kesungguhan hati, kerja sama, dan semangat keikhlasan, setiap tantangan dapat diubah menjadi peluang untuk memperkuat NU sebagai rumah besar bagi umat, penjaga tradisi, dan benteng persatuan bangsa.