Khilafah.id – Tentu, saya masih ingat awal-awal ketika masuk sekolah, menempuh pendidikan menengah pertama di salah satu lembaga pendidikan yang ada di Kalimantan. Dalam rentang tahun 2010 aku sudah mengenal tokoh-tokoh idola seperti Habib Rizieq Shihab, Yahya Waloni, dkk.
Termasuk juga Felix Siauw menjadi bagian dari idola saya. Sebab merekalah yang masuk dalam memori ketika selebaran kertas yang berisi ajakan hijrah selalu saya terima ketika jum’atan, kaset-kaset yang bisa didengarkan ceramah secara gratis. Artinya, pada zaman yang belum tersentuh media sosial. Pergerakan kelompok ini sangat cepat, dan itupun masih membekas dalam ingatan.
Saya terlahir dari keluarga PNS. Di sekolah dasar, bapak adalah guru agama. Ibu juga seorang pengajar. Dengan fakta demikian, saya memiliki privilege di sekolah untuk belajar dan mengasah diri. Lingkungan keluarga memberi pengaruh besar terhadap cara pandang memahami agama, termasuk proses belajar agama dengan kelompok Islam garis kanan.
Menjadi simpatisan HTI, melakukan aksi penolakan valentine
Pada tahap pendidikan selanjutnya, yakni sekolah menengah pertama, menjadi babak baru dalam pencarian jati diri. Di sekolah, guru agama adalah seorang yang getol dalam mempromosikan khilafah, doktrin bahwa negara ini adalah taghut, masih saya ingat sampai hari ini..
Pada waktu itu, HTI belum dilarang. Pantas saja, vakumnya HTI oleh negara, banyak menimbulkan penolakan. Hal ini barangkali salah satunya ideologi yang disebarkan oleh khilafah sudah merasuk ke dalam jiwa, pada diri tiap-tiap orang yang getol bersama HTI. Narasi agama yang sangat ciamik, mampu menghipnotis pada followersnya untuk ikut dan mengabdi dalam setiap nafas gerakannya.
Pengalaman bersinggungan dengan kelompok kanan, puncaknya a ketika saya juga menjadi bagian dari aksi untuk menolak hari valentine, menolak berteman dengan orang kafir, hingga aksi yang dilakukan oleh HRS dkk. Biasanya aksi yang dilakukan terkait dengan lokalisasi, serta berbagai aksi sosial atas nama agama, dan sejenisnya.
Saya cukup aktif menjadi bagian dari promotor khilafah, ikut aksi di jalan, serta melakukan advokasi, pelatihan untuk berdakwah. Sebab bagaimanapun, semua manusia adalah objek dakwah. Maka yang dilakukan saya tidak lain merupakan bagian dari dakwah. Hari ini, ketika mengingat masa itu, terkadang saya tersenyum, tertawa sendiri, dan berfikir betapa bodohnya saya pada waktu itu.
Belajar di komunitas, membuka pikiran saya
Selanjutnya, yang perlu diketahui adalah kondisi sosial lingkungan Kalimantan berbeda dengan Jawa, tempat melanjutkan pendidikan. Saya terlahir dari keluarga yang cukup unik. Ibu adalah Muhammadiyah garis keras, sedang bapak terlahir dari keluarga NU. Sebenarnya, bagi saya adalah hal biasa. Saya mengklaim unik karena di Jawa fenomena itu sangat langka. Maka tidak heran ketika di Jawa, fenomena dua pasangan yang ingin menikah memilih untuk saling melepaskan sering terjadi lantaran perbedaan organisasi tersebut.
Dengan pengalaman saya sebelumnya, Jogja merupakan tempat saya keluar dari kehidupan itu. Belajar di pesantren An-Nur mulai dari SMA (sekolah menengah atas) merupakan titik balik saya dalam pencarian jati diri. Berada di pondok pesantren NU yang memiliki basis kuat secara kultur, serta dengan berbagai metode pembelajaran klasik, saya merasa menjadi orang yang sang beruntung ketika bisa tinggal di pesantren.
Perubahan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan proses saya belajar di komunitas Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) pada tahun 2015. Pengalaman pertama belajar dengan kelompok Kristen, tidur di atap yang sama, belajar tentang kitab yang selama ini menjadi pedoman hidup mereka, membuka pikiran saya yang selama ini hitam putih.
Konflik batin yang selama ini menjadi kegelisahan, mulai mendapatkan titik terang. Bersama YIPC saya belajar banyak tentang merajut persaudaraan dalam payung kebhinekaan. Saya belajar bagaimana memaknai perbedaan, termasuk nilai-nilai toleransi yang menjadi kajian yang terus dipraktikkan tanpa henti.
Lambat laun, dialog-dialog antar agama, bertemu dengan banyak orang, belajar dari satu komunitas dengan komunitas lainnya adalah suatu keniscayaan dan proses yang tidak pernah selesai. Sebab dengan kegiatan demikian, saya belajar banyak hal tentang dinamika perbedaan dengan menghargai dan menerima agar selalu menciptakan perdamaian.
Tentu, pengalaman masa SMP merupakan peristiwa yang sama sekali tidak saya sesalkan dalam hidup. Justru sebaliknya, saya diberikan kekuatan oleh Allah untuk terus mencari bagaimana seyogianya hidup, memaknai relasi sosial yang begitu heterogen. Sampai saat ini saya terus mencari.
Pada kesempatan lain, saya tidak pernah menjustifikasi orang-orang yang hari ini sedang gencar menjadi pengikut HTI, menjadi promotor khilafah, dan sejenisnya. Barangkali dengan prosesnya yang demikian, mereka menemukan jalannya. Yang paling penting adalah hidup merupakan perjalanan yang tiada henti untuk mencari. Bergerak, berproses dan terus belajar merupakan perbuatan yang tidak pernah selesai, maka lakukanlah sebaik mungkin, jangan menutup diri untuk belajar apapun.
Muallifah, Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.