Khilafah.id – Ricklefs dalam trilogi bukunya yang sangat monumental (Mystic Synthesis in Java; Polarizing Javanese Society dan Islamisation and Its Opponents in Java) tentang enam abad Islamisasi di Jawa menggambarkan dalam buku ketiga tentang proses Islamisasi yang berlangsung sangat intens dalam tiga dasawarsa terakhir. Adanya pihak yang tidak menginginkan Islamisasi (opponents) tidak mampu menghalangi. ‘Islamisasi yang ada tidak bisa dihentikan dan juga tidak bisa dimundurkan’.
Kesimpulan Ricklefs ini hampir sama dengan refleksi akhir Harry J. Benda yang menulis buku penting The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam during the Japanese Occupation (1958). Berhadapan dengan berbagai kesulitan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, sejarah Islam Indonesia, kata Benda, adalah ‘history of the progress of santri culture’.
Jika fenomena kebangkitan agama—mencakup konservatisme—di negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat banyak terkait dengan kemunduran ekonomi, sebaliknya di Indonesia justru sebaliknya. Kebangkitan agama, khususnya di kalangan umat Islam banyak bersumber dari kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi dan pendidikan yang mulai terjadi secara signifikan sepanjang 1970an. Sekali lagi, faktor demografi menjadikan kaum Muslimin sebagai penerima manfaat terbesar (greatest beneficiaries) dari berbagai kemajuan dalam pembangunan yang dilaksanakan rezim Orde Baru.
Perbaikan atau kemajuan ekonomi dan pendidikan sejak masa Orde Baru pada 1970an dan seterusnya melahirkan ‘ledakan kaum terpelajar Muslim’ (intellengentsia boom). Dengan pendidikan sarjana muda (BA/Bachelor of Arts, kini S1) mereka kemudian mengisi berbagai sektor pekerjaan, baik lembaga pemerintah, institusi swasta dan pranata masyarakat. Sebagian kecil mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana (doktorandus/Drs/Dra, atau S2) dan DR/PhD atau S3. Dari pihak terakhir inilah kemudian muncul sebagian besar yang disebut sebagai ‘new Muslim intellectual’.
Semua mereka kemudian mendapat penghasilan tetap (steady income) yang memungkinkan mereka tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi cepat atau lambat untuk juga mengkredit rumah atau kendaraan. Ketika terjadi perbaikan gaji dan upah secara bertahap tahun demi tahun, mereka ini kemudian akhirnya bisa mengirim anak-anak mereka belajar ke ‘sekolah elit’ yang mahal.
Mereka inilah yang disebut sebagai ‘kelas menengah Muslim’ (Muslim middle class). Bisa dipastikan jumlah mereka terus meningkat dari waktu ke waktu di tengah perkembangan ekonomi Indonesia yang relatif stabil sejak masa pembangunan sampai sekarang ini. Jika ada krisis ekonomi, maka itu berlangsung relatif singkat, misalnya antara 1997-1999.
Kelas menengah Muslim ini menampilkan orientasi keislaman baru, new attachment to Islam. Kecintaan baru pada Islam itu diekspresikan dengan adopsi ketaatan baru pada ibadah-ibadah Islam. Selain itu juga diwujudkan dengan gaya hidup yang mereka anggap lebih Islami, seperti memakai jilbab.
Meski mengekspresikan Islam secara lebih jelas dan tegas, mayoritas kelas menengah Muslim Indonesia tetap menempuh jalan moderasi, yang dalam bahasa Qur’ani, ummatan wasathan—jalan tengah, tanpa harus tergelincir ke dalam sikap ekstrim. Tetapi, sebagian mereka bergerak lebih ke kanan, menjadi lebih kaku dan rigid—mereka ini kemudian dapat disebut sebagai kaum konservatif.
Konservatisme Islam: Kategori
Santrinisasi atau ‘Islamisasi’ berskala luas yang terjadi di Indonesia sejak awal 1980an tidak homogen. Meski ‘santrinisasi’ itu umumnya tetap menampilkan mayoritas Muslim Wasathiyah, terdapat juga perbedaan tingkat ‘new attachment to Islam’ (kedekatan baru pada Islam) yang sedikit banyak menampilkan corak atau bentuk tertentu konservatisme agama.
Oleh karena itu, untuk memahami fenomena kebangkitan dan pertumbuhan konservatisme agama di kalangan kaum Muslimin Indonesia, perlu adanya kategorisasi atau pengelompokan sederhana. Hal ini penting, karena pertumbuhan konservatisme Islam tidak seragam sama sekali, baik dalam ekspresi keislaman, maupun sosial, budaya maupun politik.
Pertama, adalah peningkatan amal ibadah atau ritual sejak dari yang wajib sampai sunnah yang merupakan gejala yang diekspresikan mayoritas kaum Muslimin Indonesia. Gejala ini terlihat dalam peningkatan jumlah jamaah masjid (dengan jumlah masjid yang juga terus bertambah), jamaah haji dengan masa tunggu yang makin lama dan umrah dan berbagai bentuk ibadah lain, misalnya shalat dhuha di tempat kerja dan sebagainya.
Fenomena ini disertai dengan adopsi gaya hidup yang diyakini lebih Islami, seperti pemakaian jilbab di kalangan kaum perempuan. Fenomena ini memunculkan homogenisasi gaya hidup banyak Muslim di Indonesia; kini perempuan berjilbab dapat ditemukan di mana-mana; tidak lagi terbatas di tempat, suku atau kelompok tertentu yang sebelum dianggap lebih Islami—lebih menampilkan gaya hidup Islami.
Kaum mayoritas yang mengalami ‘increased attachment to Islam’ terlihat semakin santri, mungkin juga dalam batas tertentu kadang-kadang terlihat sedikit ketat. Tetapi, umumnya mereka tetap berpegang pada paradigma pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang telah dominan di Indonesia selama berabad-abad.
Sedangkan dalam sikap sosial-budaya dan politik, kaum Muslim mayoritas ini tetap fleksibel. Berbagai penelitian dan kajian akademik-ilmiah menemukan, tidak adanya hubungan atau korelasi positif antara ‘increased attachment to Islam’ atau bahkan ‘religious piety’ (kesalehan keagamaan) dengan politik.
Gejala ini terlihat dalam Pemilu dari waktu ke waktu sejak 1999 sampai 2019, di mana parpol yang berhasil mendapatkan suara terbanyak adalah parpol-parpol berasas Pancasila, bukan partai berasas Islam. Oleh karena itu, kebangkitan konrservatisme Islam di kalangan mayoritas Muslim tidak mendorong bangkitnya politik identitas Islam.
Kedua, kebangkitan konservatisme di kalangan kaum Muslim Indonesia secara lebih ketat. Kelompok ini juga sebenarnya memiliki sub-kelompok yang sedikit berbeda satu sama lain dalam tingkat keketatan pada apa yang pandang sebagai pemahaman dan praktek Islam yang lebih benar.
Umumnya terdapat kecenderungan kuat kelompok ini untuk mengorientasikan kehidupan keislaman mereka pada tradisi di masa pasca-Nabi Muhammad atau pada sahabat atau thabi’in. Bagi mereka, Islam yang dipahami dan dipraktekkan mereka inilah yang paling sempurna dan paling murni—dan oleh karena itu menjadi sumber rujukan dan ikutan. Oleh sebab itu, mereka ‘hijrah’—pindah dari kehidupan sekarang kepada pemahaman dan praktek Islam lebih ketat.
Tetapi rujukan pada pemahaman dan praktek Islam generasi awal ini juga berbeda di antara sub-sub kelompok yang ada. Ada yang merujuk secara sedikit lebih longgar, tapi juga ada yang mengacu secara sangat literal dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, kelompok konservatif ini menolak realitas dan gejala moderen atau modernisme tertentu seperti gaya hidup, sosial-budaya sampai politik. Bagi mereka, tema-tema moderen seperti kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan semacamnya tidak kompatibel, dan karena itu harus ditolak.
Pada tahap ini, dalam bidang politik kelompok konservatif ketat ini berorientasi pada pembentukan sistem dan institusi politik yang mereka pandang sebagai paling Islam. Mereka berusaha membangun dawlah Islamiyah yang merupakan satu negara-bangsa tunggal, atau khilafah yang merupakan entitas politik universal bagi semua umat Islam se-dunia.
Dengan adanya kedua kelompok umat Islam yang mengalami proses santrinisasi atau konservatisasi berbeda-beda tingkat keketatannya, bisa dipastikan pergumulan dan tarik tambang di antaranya keduanya bakal terus terjadi. Dalam pergumulan itu, peran negara—tegasnya pemerintah—dan juga ormas Islam dan masyarakat madani sangat krusial dan menentukan.
Prof. Azyumardi Azra, CBE, Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006. Guru Besar kehormatan Universitas Melbourne (2006-2009).