Khilafah.id – Pernah saya mendengar pernyataan seorang penceramah agama tentang musuh Allah. Bagi saya, pernyataan itu agak aneh mengingat Allah Maha Kuasa, mana mungkin Yang Maha Kuasa bisa punya musuh? Dan bukankah Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Lantas mengapa bisa punya musuh?
Jawab:
Benar sekali, pada prinsipnya Allah memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Cinta kasih yang Allah berikan bersifat menyeluruh hingga Allah Berkuasa memberikan rezeki pada siapapun yang Allah kehendaki entah kepada mereka yang beriman ataupun tidak. Meskipun demikian, harus kita pahami bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi manusia dengan jalan memberikan panduan berupa syariat Islam. Bagi mereka yang taat, Allah menjanjikan kedamaian dan surga kelak di akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang membangkang, Allah menjanjikan siksaan yang amat pedih di neraka kelak.
Kita juga harus mengingat bahwa diantara tugas Rasulullah SAW diutus di muka bumi oleh Allah SWT adalah untuk menciptakan keseimbangan. Keseimbangan itu tercermin pada peran Rasul sebagai mubasyiran; yang memberikan kabar gembira bagi mereka yang beriman, sekaligus sebagai nadziran; yang memberikan ancaman bagi mereka yang membangkang. Para pembangkang ini diistilahkan oleh Allah sebagai “Musuh”-Nya.
Dalam al-Qur’an, Allah beberapa kali menggunakan istilah “musuh” Allah, di antaranya ialah QS. Al-Baqarah: 98:
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَىٰلَ فَإِنَّ ٱللَّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَٰفِرِينَ
Artinya:
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir”.
Ayat di atas menegaskan bahwa permusuhan yang Allah umumkan kepada orang-orang kafir merupakan konsekuensi dari tindakan mereka yang memusuhi Allah, Malaikat dan para Rasul.
Berikutnya, disebutkan pula bahwa Allah SWT melarang orang-orang beriman untuk menjadi teman dekat bagi mereka yang menjadi musuh Allah karena mereka memusuhi Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلْحَقِّ يُخْرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَٰدًا فِى سَبِيلِى وَٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِى ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Terakhir, Allah juga memberikan ancaman bagi musuh-musuh-Nya dengan balasan neraka kelak di akhirat:
وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَآءُ ٱللَّهِ إِلَى ٱلنَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ
Artinya:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan semuanya”.
Dari kajian terhadap ayat-ayat Alquran yang menyebutkan kata “musuh” Allah, kita bisa ambil kesimpulan bahwa sebenarnya yang memulai permusuhan bukanlah Allah, namun diawali dengan orang-orang kafir yang memusuhi Allah sehingga Allah memberikan balasan permusuhan kepada mereka.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya menjelaskan bahwa asal muasal kata “musuh” Allah muncul adalah akibat beberapa oknum tokoh Yahudi yang menolak atau meragukan Kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya, sebenarnya orang Yahudi memang sedang menanti-nanti kedatangan Nabi baru yang akan memberikan kejayaan bagi mereka melawan himpitan kaum musyrik para penyembah berhala. Mereka berharap Nabi baru sekaligus penutup para Nabi ini akan berasal dari kelompok mereka sebagaimana sebelum-sebelumnya biasanya Nabi berasal dari keturunan Bani Israil.
Ketika ternyata Nabi baru tersebut lahir bukan dari kelompok mereka, mereka pun merasa tidak puas dan menunjukkan ketidakpercayaannya kepada Nabi Muhammad. Lebih jauh mereka bahkan memusuhi malaikat Jibril yang telah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad dengan menyatakan bahwa Jibril adalah musuh kami sementara Mikail adalah kekasih kami.
Padahal jika dicermati, Jibril memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad semata-mata atas perintah Allah SWT. Oleh karena itu, Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa siapa yang memusuhi Utusan Allah atau Malaikat Allah berarti memusuhi Allah. Lebih lanjut, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ayat tersebut bersifat umum, dalam arti siapapun yang memusuhi makhluk Allah yang taat kepada-Nya berarti sama dengan memusuhi Allah dan Allah akan balas memusuhi mereka.
Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa kata “musuh” Allah merujuk kepada sosok Setan, orang-orang kafir dan orang yang melampaui batas aturan Allah, terlebih lagi mereka yang menghalang-halangi orang-orang beriman dari jalan kebaikan.
Meskipun demikian, hendaknya kita tidak terjebak dengan kata “musuh” dalam penjelasan ini. Jangan sampai kita salah paham hingga menganggap Allah suka bermusuhan. Sama sekali tidak. Kita juga harus menyimak sifat-sifat Allah yang lain. Diantaranya ialah sifat Maha Pengampun. Memang jika seseorang itu berada dalam kekufuran dalam, Allah akan memusuhi mereka. Namun jika orang tersebut kembali pada keimanan, maka Allah akan memberikan pengampunan yang seluas-luasnya. Demikian, semoga bermanfaat.
Muhammad Ibnu Sahroji, MA., Dai dan intelektual muslim. Kandidat Doktor di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.