Kontra-Khilafahisme, Jihad Seperti Apa yang Relevan untuk Kita?

Jihad

Khilafah.id – Aksi bom bunuh diri yang baru saja terjadi pada Sabtu (25/12/2021) tepat pada Hari Natal di sebuah restoran dan bar di kota Beni, Kongo, sedikitnya menewaskan 6 orang. Juga dilansir dari Detik, yang mengabarkan bahwa bom bunuh diri meledak di Mogadishu, ibu kota Somalia, di depan sebuah sekolah yang menewaskan 8 orang termasuk sejumlah siswa. Polisi mengkorfirmasi ledakan itu disebabkan oleh seorang pembom bunuh diri yang keluar dari restoran lalu masuk ke mobilnya kemudian meledakkan diri dengan alasan jihad.

Tragedi teror bom bunuh diri masih saja santer dan terus terjadi di belahan dunia. Hal ini membuka mata kita bahwa kelompok pembawa paham radikal dan tindak terorisme di muka bumi ini masih bercokol kuat dan aktif. Mereka meyakini bahwa melakukan bom bunuh diri adalah jihad, kematiannya berpredikat syahid dan imbalannya adalah surga. Keyakinan inilah yang selalu didoktrinkan dan disumpahsetiakan kepada pengikut-pengikutnya.

Apakah benar bom bunuh diri merupakan implementasi dari makna jihad? Mari kita kaji dan uji bersama!

Memaknai Jihad

Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama dikatakan bahwa jihad meliputi, (1) Berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam, (2) Memerangi hawa nafsu, (3) Mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam, (4) Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.

Dengan demikian, jihad dalam pengertian perang hanyalah sebagian saja dari makna jihad yang cukup luas. Jihad yang dimaknai perang harus diikuti dengan kata fi sabilillah yang artinya di jalan Allah, sebab fi sabilillah merupakan tujuan dari perang tersebut (semua jalan yang menyampaikan kepada keridaan Allah). Sementara perang yang dilakukan atas dasar kebencian terhadap pihak lain, golongan lain, dendam pribadi, atau dengan tujuan mencari penghasilan dan bukan atas dasar fi sabilillah, maka bukanlah jihad.

Seorang ahli Fikih Mesir bernama Ahmad Muhammad al-Hufy, mengartikan jihad dalam arti perang dengan “berperang di jalan Allah yang diwajibkan oleh syara’ dalam rangka menghadapi orang yang memusuhi agama atau untuk mempertahankan tanah air kaum muslimin dari musuh-musuh Islam.”

Definisi jihad dari Ahmad Muhammad al-Hufy ini setidaknya mengandung batasan, yaitu: (1) Jihad dalam Islam harus bertujuan fi sabilillah, (2) Jihad haruslah melalui ketetapan hukum yang diputuskan oleh penguasa, pemimpin umat Islam yang legal.

Memang tidak mudah untuk mengetahui jihadnya seseorang berdasarkan tujuan fi sabilillah atau tidak, sebab tujuan ini berhubungan dengan niat, sedangkan niat adalah wilayah batin atau ranah hati. Siapa yang bisa menyelami hati seseorang untuk mengetahui dia berniat di jalan Allah atau tidak?

Namun, apakah bom bunuh diri bermaksud meninggikan Islam dan mengangkat citra umat Islam di mata dunia? Setiap kita sudah tahu, alih-alih meninggikan, justru malah sebaliknya, bom bunuh diri telah mendiskreditkan Islam dan memberi ruang sempit umat Islam, khususnya pesantren serta beberapa golongan yang selama ini hidup berdampingan penuh kedamaian.

Dalam pandangan Aswaja (ahlus sunnah wal jamaah), jihad harus dilaksanakan bersama waliyul amr (pemerintah). Merekalah yang berhak memutuskan untuk berjihad, menggerakkan, mengatur, dan mengomando rakyat dalam urusan jihad (Arman Yurisaldi, Jangan Biarkan Anak Menjadi Teroris, hlm. 5).

Jika kita lihat realita di lapangan, dari sisi wajibnya jihad, perilaku bom bunuh diri yang percaya bahwa dirinya sedang berjihad, sama sekali tidak memiliki dasar perintah dari waliyul amr, dalam hal ini; pemerintah. Bahkan, bom bunuh diri mendatangkan cercaan dan kritikan dari berbagai pihak, termasuk waliyul amr.

Pendek kata, pelaku bom bunuh diri yang menganggap sedang berjihad itu hanya menuruti hawa nafsunya dan berdasarkan kepentingan kelompok mereka saja. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa bom bunuh diri sama sekali bukan jihad, sebab tidak memenuhi batasan-batasan atau prinsip-prinsip jihad.

Relevansi Jihad di Masa Kini

Syatha ad-Dimyathi di dalam kitab I’anatut Thalibin mengurai makna jihad dengan cukup luas. Beliau menegaskan bahwa jihad itu salah satu pengertiannya adalah membantu mereka yang kekurangan, membantu mereka yang kesulitan mendapatkan makanan, pekerjaan dan tempat tinggal. Oleh karena itu, di masa kini, jihad bukan untuk berani mati di jalan Allah, tapi berani hidup di jalan Allah. Apabila hidup seseorang sudah di jalan Allah, maka tentu kelak ia akan mati di jalan Allah.

Dengan demikian, berjihad dengan membantu orang yang kekurangan, baik kekurangan dalam bidang ekonomi maupun bidang pendidikan, merupakan makna jihad yang relevan dalam konteks masa kini. Dan dalam membantu, kita tidak perlu memandang agama orang yang hendak kita bantu. Siapa pun dan apa pun agamanya, jika butuh bantuan, maka segeralah kita bantu tanpa memandang suku, agama, golongan dan warna kulit, demi terciptanya hidup aman, tenteram, rukun dan damai.

Akhirnya, sekali lagi, jihad tidak selamanya identik dengan peperangan. Jika di negara kita angka kemiskinan masih cukup tinggi, banyak anak terlantar dari dunia pendidikan, buta huruf masih bejibun, dan moral masih krisis, maka memaknai jihad dengan pengertian perang di masa kini tidaklah tepat.

Fathorrozi, M.Pd, Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Habib Munzir al-Musawa: Apa Itu Negara Islam?

Sen Jan 24 , 2022
Khilafah.id – Permasalahan negara Islam atau khilafah islamiyyah  begitu simpang siur penjelasannya bagi sebagian orang, hal itu menyebabkan dirinya jatuh dalam kepalsuan orang-orang yang berkepentingan saja. Padahal Nabi sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa khilafah setelah Nabi Muhammad hanya berumur 30 tahun, adapun setelahnya adalah kerajaan. Betapa pentingnya kita membaca ulasan Habib […]
negara islam

You May Like