Kontra-Radikalisme: Kontrol Tempat Ibadah atau Bangun SDM Moderat?

Tempat Ibadah

Khilafah.id – Wacana Kepala BNPT untuk mengontrol tempat ibadah dalam rangka meminimalisir radikalisme perlu dikaji secara serius. Rencana tersebut paradoks. Sebab, radikalisme memang mesti dilawan bersama. Namun begitu, rumah ibadah tidak dapat diidentikkan dengan radikalisasi. Meskipun niatnya sangat baik, persepsi yang tampak terbangun ialah bahwa agama merupakan biang keladi radikalisme.

Dalam Editorial kemarin, telah disinggung bahwa radikalisme sangat kontras dengan ajaran-ajaran Islam. Agama yang dibawa Nabi Saw. tidak pernah melegitimasi radikalisme, justru merupakan risalah demi kemaslahatan manusia dunia-akhirat. Klaim-klaim para radikalis ihwal gerakan mereka dengan demikian batal dan nonsens, dan mereka sama sekali tidak merepresentasikan perjuangan Islam.

Tetapi pada saat yang sama, di Indonesia, banyak gerakan bawah tanah yang mencoba memecah-belah umat dan merusak persatuan. Mereka memanfaatkan segala resources, termasuk tempat ibadah, untuk melakukan radikalisasi. Bukti dari ini sudah terlalu banyak, sehingga sulit untuk dibantah bahwa beberapa oknum menjadikan tempat ibadah sebagai lokasi strategis diseminasi ajaran mereka.

Fakta tentang radikalisasi tentu saja meniscayakan kontra-radikalisme. Namun, melihat animo masyarakat terhadap kebijakan kontrol tempat ibadah yang sangat minim, kebanyakan menentang, tampaknya perlu ada strategi-strategi baru terhadap kontra-radikalisme itu sendiri. Apakah akan menempuh cara represif dengan mengontrol tempat ibadah, atau justru cara persuasif dengan membangun SDM moderat? Ini menarik dikaji.

Moderasi Adalah Masa Depan Umat

Almarhum Prof Azyumardi Azra merupakan satu dari sedikit intelektual tanah air yang optimis bahwa di masa depan, Indonesia akan menjadi kibkat wasatiah Islam. Menurutnya, wasatiah atau moderasi Islam memiliki prospek tidak hanya untuk menjaga kerukunan, tetapi juga titik tolak perjuangan bersama memajukan negara terlepas dari keyakinan masing-masing masyarakat. Itulah masa depan umat baginya.

Kendati begitu, optimisme saja tidak cukup kecuali dilandasi dengan komitmen para stakeholders untuk menciptakan regulasi yang mendukung kontra-radikalisme di satu sisi dan pengarusutamaan moderasi di sisi lainnya. Untuk itu, antara kontrol tempat ibadah dengan membangun SDM moderat sejatinya tidak dapat dipisahkan—ibarat dua sisi koin. Masalahnya, kesadaran umat atas itu belum merata.

Membangun SDM moderat tidak cukup dengan menyemarakkan Rumah Moderasi Beragama, misalnya, seperti yang dilakukan Kemenag di seluruh PTKIN se-Indonesia. Moderasi bukan proyek pragmatis, melainkan visi kebangsaan. Untuk itu, gerakannya tidak boleh berhenti di situ. Harus ada langkah lanjutan yang mendorong umat ke arah wawasan inklusif, sikap toleran, dan spirit persatuan.

Ketika SDM di negara ini sudah moderat, secara otomatis sudah tidak ada umat yang terjerat radikalisme. Meskipun tidak secara total, radikalisasi—terutama di tempat ibadah—tidak akan lagi punya taring sehingga kontrol pun tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu dilakukan. Sebab, melalui moderasi, umat seperti terlindungi oleh imun. Dan untuk kepentingan tersebut, kebijakan terkait diperlukan sebagai Langkah strategis.

Kebijakan yang Diperlukan

Kontrol tempat hanya akan menyisakan ketakutan kolektif dan stigma pemerintah. Pada saat yang sama, membangun SDM moderat merupakan tantangan yang krusial dalam masyarakat plural. Kebijakan yang tepat mempromosikan sikap, nilai, dan pemahaman wasatiah. Pendidikan inklusif, misalnya, dapat ditempuh dengan cara mengakomodasi berbagai latar belakang budaya, agama, dan sosial-politik. Ini mesti dioptimalisasi.

Selain itu, pembangunan kemampuan kritis harus dibangun dalam kurikulum. Mendorong kemampuan berpikir kritis dan analitis di semua tingkatan pendidikan adalah perlu. Keterampilan kritis berguna dalam memahami berita, sumber informasi, dan propaganda, bahkan yang berada di tempat ibadah. Sehingga indoktrinasi tidak menemukan momentumnya, karena umat mengedepankan pikiran yang kritis.

Pembangunan karakter juga tak kalah penting. Jika radikalisasi di tempat ibadah masih marak dan efektif, berarti masyarakat krisis oleh karakter. Karenanya, mendorong pembangunan karakter yang kuat, termasuk nilai-nilai seperti toleransi, adalah salah satu upaya membangun SDM moderat. Menyediakan pendidikan karakter di sekolah, pesantren, hingga universitas dapat menjadi kebijakan ke depan.

Hal ihwal kebijakan adalah urusan stakeholders terkait, maka ini sifatnya kondisional. Yang jelas, semua kebijakan yang perlu dilakukan harus diterapkan dengan bijaksana dan seimbang. Tujuannya memastikan promosi nilai-nilai moderat tanpa mengorbankan kebebasan personal masyarakat. Selain itu, kolaborasi antarelemen juga sangat penting dalam membangun SDM moderat.

Jadi, dalam konteks kontra-radikalisme, membangun SDM moderat lebih efektif daripada sibuk mengontrol tempat ibadah. Apakah ada yang lebih efektif dari membangun SDM moderat? Pemerintah, terutama Kepala BNPT, dapat mempertimbangkan seluruh masukan.

Ahmad Khoiri, Analis, Penulis.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Polarisasi Politik di Media Sosial dan Peran Algoritma

Sen Sep 18 , 2023
Khilafah.id – Menjelang pemilu, semua awak media yang ada di Indonesia selalu menyajikan isu-isu hangat berupa penampilan citra baik dan buruk dari setiap calon kandidat. Semua media menggoreng habis isu Pilpres menjelang pemilu karena pasarnya yang sangat menjanjikan. Kita bisa melihat betapa mengerikanya kondisi media massa pada pemilu presiden tahun 2019 […]
politik media sosial