Khilafah.id – Banyak ulama Indonesia yang dikenal dunia melalui karya-karyanya diantaranya Syekh Nawawi Al Bantani. Beliau dijuluki sebagai Sayyid Ulama’ Hijaz (pemimpin Ulama’ tanah Hijaz) serta menjadi rujukan bagi kalangan santri pesantren di Indonesia.
Syekh Nawawi al-Bantani dilahirkan di daerah Tanara, Banten pada tahun 1813 M dan meninggal pada tahun 1897 M. Sejak kecil ia telah dididik dengan tradisi keagamaan yang sangat kuat sehingga kelak menghantarkannya menjadi ulama besar yang dikenal dunia
Begitu juga ulama kharismatik yang mampu melahirkan dan mengkader tokoh-tokoh hebat di Negara kita di antaranya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Di dalam Kitab Irsyad as-Syari yang memuat kumpulan karya-karya beliau di dalamnya termuat pemikiran, pandangan keagamaan, juga berisi petuah-petuah bijak beliau yang selalu mengayomi dan memotivasi semua orang khususnya umat Islam agar bersatu tak bercerai-berai demi kepentingan sesaat.
Beliau selalu mengingatkan akan pentingnya mengakaji Kitab suci sebagai pegangan hidup dengan mengikuti prilaku, akhlak yang telah dicontoh oleh Rasulullah.
Kontribusi Karya Ulama
Kesadaran para ulama Indonesia dalam mendokumentasikan pemikiran melalui tulisan juga berdasarkan tradisi keilmuan yang dilakukan oleh para ulama salaf seperti imam al-Bukhari sebagai penulis kitab Shahih al-Bukhari, imam Muslim pengarang kitab Shahih Muslim, imam Thabari pengarang tafsir yang menjadi rujukan umat islam yaitu dikenal Tafsir Thabari, imam Ghazali dikenal sebagai penulis produktif terutama karya monumentalnya dalam bidang tasawuf yaitu kitab Ihya’ Ulumiddin. Ibnu Sina dikenal dalam pakar kedokteran atas karyanya yaitu al-Qanun, dan lainnya.
Hadirnya tulisan-tulisan tersebut berkontribusi besar terhadap perkembangan keilmuan yang peranannya sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam memotret banyak sekali riwayat islam yang pernah mengalami masa keemasan karena karya-karya ulamanya yang produktif, (Hodgson, 1977).
Dalam hukum Islam, Wael B. Hallaq menyebutnya pada masa itu sebagai masa otoritas, dimana para ulama memiliki peranan otoritatif dalam berijtihad karena di banyak sisi memiliki kapasitas mumpuni, (Hallaq, 2001).
Dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni tersebut mendorong ulama memiliki pandangan-pandangan brilian dan tidak skeptis terhadap perkembangan zaman. Ini sekaligus melawan sekelompok cendekiawan yang berpandangan sempit dan kaku.
Lalu dengan pengalamannya yang sempit itu pula cenderung menyalahkan orang lain. Sejarah membuktikan bahwa ulama yang berbalik dari kriteria tersebut dan justru memiliki horizon pengetahuan luas serta penalaran yang relevan, justru sangat berkontribusi dalam membangun negara, dengan memperkuat ideologi kebhinekaan, bukan melemahkan, karena dianggap sudah sesuai dengan prinsip Islam.
Meluruskan Faham Radikal ala Salafi Wahabi
Masyarakat sering dibuat bingung bahkan gempar oleh ustadz atau ulama yang berpaham salafi wahabi yang kurang bijaksana dalam menjelaskan atau menjawab permasalahan yang muncul di masyarakat sehingga tercipta konflik horizontal satu dengan yang lainnya.
Hal ini timbul dari diri ustadz yang ingin menyebarkan kebenaran sebagai dalihnya, namun cara yang digunakan tak sesuai, tak bijaksana bahkan menganggap sesat orang yang berbeda dengannya.
Kode etik seorang ustadz atau ulama adalah mengajarkan ilmunya kepada jamaahnya sesuai kemampuan daya cerna, pemahaman yang mereka miliki dengan perlahan step by step. Ia tak boleh memaksakan masyarakat harus sesuai dengan keinginan dirinya.
Ustadz, ulama adalah penuntun, memberi pencerahan bukan kegaduhan, meluruskan kebenaran dengan cara yang benar bukan memaksakan kehendak dirinya.
Syeikh Izzuddin bin Abdissalam yang dikenal sebagai Sulthan Ulama’ dalam kitab Qawaid al-Ahkam memberikan nasehat yang sangat bijaksana agar tak menjelaskan pemahaman yang susah dipahami oleh masyarakat,
لا يجوز إيراد الإشكالات القوية بحضرة العوام، لأنه سبب إلى إضلالهم وتشكيكهم وكذلك لا يتفوه بهذه العلوم الدقيقية عند من يقصر فهمه عنها فيؤدي ذلك إلى ضلالته وما كل سر يذاع ولا كل خبر يشاع
Tak boleh membuat pernyataan, penjelasan yang sulit dipahami oleh orang awam atau masyarakat karena hal ini akan menjadi penyebab kesalahan (kesesatan), keraguan kepada mereka.
Begitu juga tak boleh menjelaskan ilmu-ilmu yang terlalu dalam kepada orang yang belum mampu memahaminya karena mereka akan menjadi salah paham. Tak semua rahasia harus disebarluaskan begitu juga tak semua informasi harus di viralkan.
Dari sini, dibutuhkan kecermatan dalam memahami dan mengajarkan ilmu agama. Untuk kitu, ulama juga memiliki kemampuan melihat orang yang akan diajari karena memiliki tujuan agar ilmu yang disampaikan bisa difahami dengan baik dan benar, sehingga masyarakat tak salah dalam memahami sebuah ajaran.
Syahrun Laitupa, Mahasiswa SPs UIN Jakarta.