Khilafah.id – Lololo Gak Bahaya Ta? LGBT, menjadi salah satu isu kemanusiaan yang tengah hangat dan cukup kontroversial di Indonesia. Mengapa demikian? Diketahui LGBT merupakan sebuah istilah akronim yang mewakili sekumpulan orang dengan orientasi seksual antara lain Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender.
Pasalnya, keberadaan kelompok-kelompok tersebut telah memicu polemik dalam masyarakat yang pro dan kontra terhadap LGBT. Satu sisi masyarakat kontra menganggap bahwa LGBT merupakan suatu penyimpangan seksual (abnormal) dan moral serta dinilai mampu membahayakan generasi muda.
Lain halnya dengan kaum pro, mereka menganggap bahwa LGBT sebagai bentuk adanya keberagaman dan mendukung kelompok LGBT berarti turut mendukung kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hingga mulai muncul stigma bahwa mereka yang kontra dengan LGBT berarti tidak open-minded (tidak berpikiran terbuka) atau istilahnya close-minded. Lalu, apa sebenarnya makna open-minded itu? Apakah kontroversi LGBT hanya sebatas soal open-minded dan close-minded?
“Orang-orang kayak mereka tuh yang gak open-minded,”. Kata seperti open-minded pasti bukanlah sesuatu yang asing dan sudah seringkali kita dengar. Open-minded mempunyai makna keterbukaan terhadap sesuatu/hal baru. Keterbukaan di sini dapat dipahami bahwa seseorang yang open-minded mampu menerima ide, gagasan, ataupun sudut pandang baru yang mungkin saja bertentangan dengan apa yang dipercayai serta mampu untuk melihat, menilai dan menjelaskan sesuatu secara objektif.
Dalam kajian sosiologi, perilaku menyimpang dikategorikan sebagai penyimpangan sosial. Menurut ahli sosiologi, Paul B. Horton menjelaskan bahwa perilaku menyimpang adalah tindakan yang dinilai telah melanggar aturan dan norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok atau masyarakat.
LGBT merupakan bentuk penyimpangan seksualitas. Suatu perilaku menyimpang baik dari kacamata agama, moral, norma, bahkan kultur asli bangsa Indonesia. Perlu digarisbawahi bahwa penulis berusaha untuk objektif sehingga sesuatu yang dinilai menyimpang di sini kemudian dianggap “salah” atau “tidak dibenarkan adanya” ialah perilakunya, yakni perilaku LGBT bukan pelaku.
Setiap perilaku menyimpang lahir dari adanya tendensi-tendensi yang bersumber dari sebuah pemikiran. Pemikiran tersebut kemudian diperkuat dengan adanya keyakinan pada diri seseorang atau inner. Pemikiran bahwa sah-sah saja bagi seseorang untuk menyukai sesama jenisnya. Atau bahkan berhak untuk mengekspresikan identitas seksualnya meskipun itu berbeda dengan seksualitas lahirnya (transgender) pada kelompok LGBT. Pasti ada sebuah keyakinan dalam diri pelaku LGBT bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, normal, wajar, bahkan sampai pada tahap keyakinan bahwa perilaku tersebut memang sudah dari sananya, born this way?.
Tak cukup sebatas kepentingan pribadi rupanya pelaku LGBT juga kian terang-terangan mengaku dirinya sebagai homoseksual atau LGBT terlebih di sosial media. Begitu pula mereka yang pro terhadap LGBT. Berdalih atas nama kesetaraan dalam keberagaman dan HAM, dianggapnya sungguh tidak mencerminkan sikap open-minded bagi mereka yang menyatakan kontra atau berbeda sudut pandang.
Close-minded, diskriminasi HAM, sampai keluarnya istilah “mabok agama” dilekatkan bagi mereka yang bertentangan. Lalu, bukankah tindakan menge-cap seseorang tidak open-minded hanya karena berbeda sudut pandang adalah bentuk dari ketidak-open minded-an itu sendiri?
Tokoh sosiologi Indonesia, Soerjono Soekamto menyebutkan bahwa perilaku menyimpang adalah penyakit sosial. Dianggap “penyakit” karena tindakan-tindakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan norma-norma umum, adat istiadat, dan tidak dapat diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.
LGBT bukan kultur asli bangsa Indonesia melainkan budaya pemikiran dari luar yang kini kian masif disebarluaskan oleh aktivis HAM-liberal terutama dari negara-negara di eropa. Tak dapat dipungkiri kita seringkali dengan mudahnya menerima dan mengambil ide, gagasan, atau nilai-nilai baru dari pemikiran orang bangsa Eropa. Tidak pernah benar-benar diketahui apakah pemikiran bahwa adanya LGBT itu normal dan sah-sah saja sedangkan yang bertentangan dianggap tidak open-minded itu sepenuhnya benar. Bisa saja hal tersebut hanyalah sebuah kamuflase semata. Sebuah pemikiran yang dipaksakan masuk agar dapat diterima dengan berperisai kata “open-minded”.
Pada batas tertentu akal manusia akan sampai pada batas yang mana ia sudah tidak mampu untuk menjelaskan atau memecahkan permasalahan tertentu. Oleh karena itu, pentingnya bagi setiap orang melihat isu-isu kemanusiaan semacam ini dengan menggunakan kacamata agama dan moral. Tidak ada agama apapun yang membenarkan adanya LGBT.
Pentingnya memahami betul apa yang menjadi fitrah manusia. Apabila hari ini kita menormalisasi seseorang menyukai sesama jenisnya dan menganggap wajar sesuatu yang sebenarnya salah dan dosa. Maka, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang kita akan menganggap bahwa pembunuh dan pezina adalah kodrat. Mengenaskan, saat akal sehat ditinggalkan demi menormalisasikan kesalahan dan menjadi ‘biasa’ dengan dosa. Menyedihkan, bukan.
Balqis Imroatun Chamidah, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya.