Khilafah.id – Tagar #HRSBikinIstanaMenggigil trending di Twitter. Ucapan selamat datang bertebaran di poster-poster. Sepertinya, Habib Rizieq yang pulang karena dideportasi pemerintah Arab Saudi akan segera bertemu para pengikutnya, Selasa (10/11) besok. Mulai dari yang benar-benar rindu, hingga yang dilatari kepentingan politik tertentu. Felix Siauw, dedengkot HTI ikut berkomentar memanas-manasi barisan oposisi. Pemerintah seperti lemah, loyo, lembek. Kenapa Indonesia ini kalah, tidak berdaya untuk ganyang HTI?
Berikut cuitan Felix Siauw pada Sabtu (7/11) kemarin, di akun Twitter miliknya:
“Pas di Indonesia, dikriminalisasi, diteriakin ‘kalau mau syariat ke Arab aja!’. Pas ke Arab, ‘Melarikan diri, ga balik-balik, balik dong kalau ga salah’. Pas mau balik ke Indonesia, dihalangi, di-hack, difitnah lagi. Ah munafik memang paling bisa.”
Itu di Twitter. Belum lagi di Facebook, Instagram, dan YouTube. Jika di media sosial mereka tidak punya akun tertentu melainkan terpecah ke banyak akun menggunakan nama samaran, di YouTube justru punya kanal yang terang-terangan: Khilafah Channel, dengan konten provokatif dan cenderung ke arah melakukan konfrontasi. Ironisnya, dari fakta-fakta tersebut, pemerintah terkesan lembek—kebijakannya tidak digubris. Untuk ganyang HTI dan para dedengkotnya, mereka bak ragu-ragu, tidak tegas.
Ketidaktegasan pemerintah jelas dimanfaatkan untuk memasifkan pergerakan mereka. Kita boleh jadi mendengar alasan bahwa pemerintah sudah membubarkan organisasi mereka, tetapi alasan tersebut melupakan satu hal: Islam transnasional itu yang berbahaya bukan lumbungnya, melainkan ideologinya. Atau alasan bahwa mereka tidak ditangkap karena tidak melakukan kriminal—hanya cuitan di media sosial. Tetapi bukankah provokatif cuitan tersebut berpotensi lahirkan tindakan kriminal oleh orang lain—pengikutnya?
Di sini tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Persoalan transnasionalisme merupakan persoalan bersama. Boleh jadi, keterlibatan masyarakat efektif untuk menjadi langkah kooperatif pemerintah dalam ganyang HTI hingga bagian paling inti: ideologi para aktivisnya. Ini tidak hanya merupakan tugas Indonesia. Malaysia juga tengah gencar melakukan hal yang sama—ganyang Hizbut Tahrir Malaysia (HTM). Apakah perlu untuk belajar pada mereka?
Ganyang HTI; Malaysia dan Indonesia
Malaysia, sebenarnya, menjadi negara terakhir yang melarang eksistensi Hizbut Tahrir sebelum Indonesia. Larangan untuk HTM muncul pada 17 September 2015, kurang lebih dua tahun sebelum pemerintah membubarkan HTI. Pemerintah Malaysia menganggap organisasi tersebut sebagai “kelompok menyimpang”, dan berjanji siapa pun yang terlibat gerakannya akan berhadapan dengan jalur hokum. Pendek kata, pemerintah Malaysia tegas dalam menyikapi bahaya mereka.
Di Malaysia, Juru Bicara HTM Abdul Hakim Othman sudah lama ditangkap, setahun yang lalu. Ia ditahan karena pihak berwajib mengharamkan adanya HTM di Negeri Jiran karena bertentangan dengan ajaran agama. Kenyataan yang berbeda kita dapat dari Indonesia. Di Negara ini, sekalipun HTI sudah tiga tahun dibubarkan, namun Juru Bicara HTI Ismail Yusanto bebas berkeliaran. Tidak sekadar begitu, bahkan juga aktif menggelar kajian kekhilafahan di kanal YouTube Khilafah Channel tadi.
Terbaru, dilansir Hidayatullah, Kepolisian Johor telah membuka penyelidikan terhadap HTM setelah menerima 17 laporan polisi tentang ideologi kelompot tersebut yang dilaporkan bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kepala Kepolisian Johor Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay mengatakan, penyelidikan detail akan dilakukan untuk memeriksa kelompok tersebut—mereka dilaporkan menolak demokrasi serta mengkafirkan pemerintah Malaysia, bahkan harus digulingkan secara paksa.
Ganyang HTM di Malaysia dan ganyang HTI di Indonesia menjadi satu-satunya strategi agar ideologi mereka musnah. Bedanya ialah dalam tingkat ketegasan mengeksekusi mereka sehingga HT tidak berkutik lagi. Indonesia bisa menjadikan Malaysia sebagai partner untuk memberantas khilafahisme, atau saling belajar dalam hal strategi. Pemerintah Indonesia tidak bisa bersikap lembek, sebab itu tak ubahnya memberikan para aktivis HTI untuk mengobral propaganda khilafahnya.
Ganyang HTI adalah keniscayaan. Tetapi kenapa kita di Indonesia tidak berdaya untuk memusnahkan mereka? Apa kendalanya? Bagaimana dukungan masyarakat terhadap upaya pemerintah? Pertanyaan terakhir ini lahir karena, bagaimanapun, kita tidak bisa mengabaikan kinerja pemerintah. Bahwa kita di Indonesia seperti kewalahan untuk ganyang HTI, itu adalah pertanyaan substansialnya.
Peran Masyarakat
Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah pernah menjelaskan, deradikalisasi—yang ganyang HTI juga termasuk di antaranya—itu melibatkan kementerian yang dikordinasikan oleh badan yang berwenang. Tahapannya meliputi penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial. Menurutnya, deradikalisasi bagi orang atau kelompok orang dapat dilakukan melalui pembinaan wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan, serta kewirausahaan.
Masyarakat kita mesti mengambil peran signifikan, dan deradikalisasi bagi orang atau kelompok dapat dilakukan melalui pembinaan, wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan, serta kewirausahaan. Ini kemudian menjadi sampingan dari upaya ganyang HTI sebagai representasi kelompok radikal. Gerakan akar rumput menjadi sangat efektif, tetapi dukungan swadaya dari pemerintah dapat menjadi penunjang optimalisasi. Dengan demikian, radikalisme akan teratasi, dan ganyang HTI menjadi sesuatu yang berjalan dengan sendirinya.
Barangkali kendala kita dalam merealisasikan hal ini ialah tiadanya sinkronisasi antara pemerintah dengan masyarakat—keduanya bergerak sendiri, masing-masing, tidak kooperatif. Ganyang HTI pun timpang, dan efektivitasnya tidak signifikan. Ini yang menjadi tugas kita ke depan. Baik pemerintah maupun masyarakat harus ambil bagian untuk memusnahkan ideologi yang riskan terhadap NKRI tersebut. Jika tidak, maka kita semua, sampai kapan pun, tidak hanya akan disepelekan oleh HTI dkk, melainkan juga akan menjadi bulan-bulanan mereka dari indoktrinasi ideoologi transnasional itu sendiri. Mau sampai kapan Indonesia tidak berdaya ganyang mereka?