Madrasah (1): Dinamika, Manajemen, dan Tuduhan Sarang Teroris

madrasah

Khilafah.id – Dinamika madrasah sejak berdirinya sangat penting untuk didedah. Selain untuk melihat bagaimana perlajanan panjang madrasah, pecahan-pecahan sejarah madrasah, dan untuk melihat-mengukur kontribusinya pada era sekarang. Kita tahu, madrasah merupakan pendidikan yang memiliki sejarah panjang dan bervariasi.

Di belahan dunia, masing-masing madrasah memiliki keunikan dan basis pengajaran dan ideologi. Bentuk pendidikan madrasah tergantung siapa yang menjadi doxa dari madrasah. Doxa-doxa inilah yang nantinya menjadi acuan atau pemilihan segala basis dan tujuan daripada maksud madrasah tersebut. Misalnya madrasah di Indonesia, doxanya adalah kementerian agama atau di bawahnya. Maka, semua madrasah akan berbondong-bondong untuk meniru dan mendandani segala yang menyangkut tentang jati diri madrasah tersebut.

Dari doxa ini juga bisa melihat bagaimana dominasi ideologi sebuah madrasah. Pada masa lalu, madrasah selain menjadi wadah pendidikan, tetapi juga mempunyai kepentingan menjadi poros politik. Ini terjadi setelah tekanan politik internasional meninggi, dan karena itu keberadaan madrasah dipertanyakaan keberpihakannya.

Madrasah-madrasah kemudian secara sadar sekaligus terpaksa, memilih untuk terlibat aktif menjadi pemasok ideologi bagi siswa-siswanya. Madrasah-madrasah merasa wajib menunjukkan identitasnya. Maka itu, madrasah-madrasah berperan kunci menjadi alat politik yang nantinya menjadi kekuatan dari bawah tanah.

Ketidakberdayaan madrasah terhadap kebijakan negara atau non-negara, apalagi disertai keberadaan siswa dari orang tua yang tidak berada atau secara ekonomi rendah, menjadi madrasah masa itu diterjang badai yang kompleks. Ini terjadi ketika terjadinya peristiwa 9 September, di mana semua pihak sorot matanya melihat madrasah sebagai sarang teroris. Untuk itu, madrasah-madrasah harus sekuat mungkin tetap kokoh mempertahankan prinsip dasar dan sumber daya yang ada untuk melepaskan “tuduhan” sebagai sarang teroris (N. Hasan, 2010).

Meningkatnya kecurigaan sejak 11 September tentang keberadaan madrasah sebagai tempat pelatihan utama bagi teroris membuat madrasah mengubah taktik dan manajamen. Secara cepat pula madrasah harus mengubah profil sesuai tuntutan masyarakat sekitar. Alternatif ini dipakai untuk meninjau ulang apakah madrasah berguna dengan pemilihan jalan seperti ini, atau malah menambah beban dan masalah terhadap keberlangsungan hidup masyarakat sekitar.

Model-model baru ditempuh sebagai acuan mereformasi dirinya. Ini terbukti ketika madrasah-madrasah baik yang berafiliasi dengan Salafi Wahabi atau Aswaja, memberikan jalan atau akses kepada anak-anak pedesaan yang kurang mampu, tertindas, dan kepada mereka yang sama sekali tidak punya keinginan untuk mengenyam pendidikan.

Model-model sosial terus berlanjut sampai menemukan momentum. Dalam konteks sosial yang sudah berubah geostrategisnya, karena sudah mulai meningkatnya kepercayaan terhadap pendidikan madrasah, meski di beberapa hal diintervensi, madrasah diproyeksikan harus tetap bangkit dan memperbaiki diri  serta kehidupan umat manusia (Syarif, 2020).

Di sini kemudian, studi Islam, ilmu-ilmu sekuler diperkenalkan dan beberapa cabang keilmuan lainnya. Pada masa ini, madrasah berkeinginan merevolusi dirinya untuk mengembalikan seperti madrasah era pembentukannya. Sembari mencari bagaimana madrasah menjawab pertanyaan-pertanyaan berat atau tantangan-tantangan mendasar yang selama ini mereka ketahui, yakni bagaimana madrasah bisa memberikan pengajaran terbaik dan mengentaskan kebodohan di dunia Islam sendiri.

Maka itu, sampai hari ini, wacana-wacana madrasah tetap diuji dan disorot sedalam mungkin. Meski dalam hal ini pemerintah kurang memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan madarsah, apalagi madrasah-madrasah yang keberadaannya berada di pelosok negeri. Di pelosok seperti di Madura dan Papua, madrasah berdiri, tetapi mereka hanyalah ada dan memakai perangkat secukupnya. Bahkan bantuan tidak masuk, dan karena itu pula, mereka sulit mengembangkan pendidikan madrasah.

Fakta demikian sebenarnya sangat kontras dengan misi Kemenag dan Direktorat Kurikulum Sarana Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah yang menginginkan madrasah hebat dan bermartabat. Sedang fakta di lapangan kebaradaan madrasah kurang diperhatikan secara penuh. Padahal, madrasah-madrasah inilah yang menjadi tumpuan belajar dan mengajar anak-anak di pelosok. Anak-anak pelosok ini tidak mempunyai kemampuan berharga, tidak saja mengakses pelajaran di luar seperti masyarakat pada umumnya, bahkan untuk mencari jaringan (signal) dan makan saja tidak berdaya.

Oleh karena itu, manajemen madrasah dari dulu hingga kini pengembangannya dipertanyakan. Jika manajemen baik dan dalam pengelolaan madrasah adil atau pemerintah bisa mengakomodasi sesuai perintah Undang-Undang yang ada, maka madrasah akan bisa menjawab pertanyaan dan tantangan di atas. Bahkan madrasah bisa menambah wawasan baru dan memperkuat peradaban Islam. Kemudian, madrasah-madrasah berjalan di dalam haluan tanpa intervensi, dan menjadi wadah yang semestinya, yakni wadah mendidik anak yang tafaqquh fiddin. Alhasil, Madrasah akan terbebas dengan tuduhan-tuduhan madrasah menjadi indoktrinasi teroris.

Agus Wedi, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta. Aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Syakib Arslan: Sebab Kemunduran Dunia Islam

Sab Jun 4 , 2022
Khilafah.id – Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju muncul di masa kolonial (pada 1929) dari seorang alim Sambas, Indonesia, Syekh Basyuni Imran, di Al-Manar, jurnal pembaruan Islam pimpinan Syaikh Muhammad Rasyid Rida. Siapa Syekh Basuni? Basyuni pernah kuliah di Madrasah Dar al- Da’wah wa al-Irsyad Mesir asuhan Rasyid […]
Syakib Arslan

You May Like