Khilafah.id – Pemetaan masjid radikal yang menjadi wacana pemerintah baru-baru ini menuai pro-kontra. Dalam konteks negara demokrasi, perbedaan pendapat ialah sebuah keniscayaan untuk menemukan titik temu maslahat untuk semua. Terlebih di NKRI, di mana keberbedaan menjadi takdir yang harus diterima: agama, suku, budaya, bahasa dan tradisi yang kita miliki sungguh kompleks dan beragam. Maka, persatuan umat sungguh penting untuk diperhatikan.
Menjadikan wacana pemetaan masjid oleh pemerintah sebagai langkah propaganda negara anti-Islam ialah bentuk kesalahan berpikir yang harus diperangi. Ini karena persebaran radikalisme sungguh telah sampai di masjid-masjid yang mana merupakan sentral dalam syiar Islam. Padahal, masjid merupakan tempat sakral sekaligus simbol bagi umat Islam yang harus senantiasa dijaga kesuciannya.
Rasulullah bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (HR. Bukhori dan Muslim). Itu berarti pemanfaatan masjid harus dijauhkan dari perkataan-perkataan kotor, provokasi kebencian, adu domba dan kekerasan serta selalu dalam koridor-koridor kemaslahatan publik (mashlahah ‘ammah).
Masjid harus dibebaskan dari segala pentuk ajaran radikal karena radikalisme hanya membawa madlarat yang menyengsarakan umat. Memecah-belah keharmonisan dan keberagaman. Bahkan, pendakwah di masjid-masjid radikal tersebut tidak segan menyitir ayat dan membelokkan tafsir sumber otoritatif Islam (Al-Qur’an dan hadis) demi kepentingan melegalkan ajaran-ajaran kekerasan dan antikebinekaan yang diyakininya.
Jika itu terus terjadi, niscaya akan memunculkan keretakan dalam hubungan sosial di masyarakat. Hal tersebut, tentu saja akan berpengaruh dalam bagi kedaulatan negara dan keutuhan NKRI.
Dalam konteks tersebut, sesungguhnya yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan masjid ialah kenyamanan beribadah menyembah Allah Swt., pembangunan dakwah dan pendidikan Islam serta melakukan pemberdayaan umat. Tiga aspek tersebut penting sebagai modal membangun relasi sosial kebangsaan dan keumatan yang harmonis dan tidak terpecah-belah. Hanya saja, dalam menangani masjid radikal persoalan mendasar yang harus dibenahi dari keberadaan masjid tersebut ialah konsep dakwah dan tarbiyah (pendidikan).
Ahmad Yani (2018:22) menegaskan, bahwa fungsi pendidikan di masjid adalah upaya mencerdaskan umat dalam memahami ajaran Islam secara kontinu (istimroriyah), lalu melahirlah amaliah keumatan yang implementatif secara baik dan benar. Maka, segala ajaran yang mengajak umat untuk mengimplementasikan keburukan, tindakan radikal, dan ketidakbenaran harus dibersihkan secara menyeluruh.
Nabi Muhammad Saw. pernah mencontohkan bagaimana membersihkan masjid dari ajaran-ajaran radikal (masjid dhirar). Pada saat itu, rasulullah bahkan menyuruh sahabat untuk merobohkan bangunan masjid tersebut. Alasannya: (1) masjid dibangun untuk menandingi masjid lain (baca: masjid Quba) yang telah didirikan terlebih dahulu;
(2) masjid dhirar tersebut dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai tempat untuk melakukan tipu daya dan fitnah terhadap kaum muslimin; (3) masjid tersebut dijadikan sebagai sarana untuk memecah belah umat Islam; (4) masjid tersebut dibangun bertujuan sebagai benteng berkumpul kaum munafik untuk menabuh genderang peperangan kepada Allah Swt. sekaligus rasul-Nya.
Oleh karena itu, apabila kita menemukan masjid dengan gerakan dakwah yang serupa dengan masjid dhirar, yang notabene sungguh sangat membahayakan bagi persatuan umat, maka harus disterilkan. Masjid harus menjadi bangunan sakral yang menyatukan umat dalam ketauhidan kepada Allah Swt. Bukan tempat untuk mempertajam khilafiyah (keberbedaan). Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk membangun masjid yang mampu memersatukan umat?
Ihwal membangun masjid yang dapat mempersatukan umat, maka selain memfokuskan masjid sebagai tempat ibadah ibadah, kita harus mengoptimalkan dua fungsi lain: pendidikan (tarbiyah) dan sosial kemasyarakatan (ijtima’iyah). Langkah yang dapat ditempuh ialah: pertama, penekanan prinsip kesamaan dan kesetaraan derajat manusia dibandingkan memperuncing khilafiyah.
Ini penting diperhatikan dalam membangun Islam yang damai, moderat, toleran, serta berprinsip merangkul umat bukan memukul umat. Kedua, lembaga pendidikan dan dakwah yang berdiri di masjid dibuatkan standar kurikulum pendidikan Islam di masjid yang akrab dengan perdamaian dan toleransi. Materi khotbah Jumat, pengajian harian/mingguan/bulanan, dan hari besar Islam harus dipastikan terbebas dari penyebaran paham radikal.
Ketiga, kiai, ustaz, penceramah di masjid harus jelas rekam jejaknya. Jangan sampai takmir masjid mengundang pengisi pengajian masjid dari kelompok radikal yang suka menebar narasi ujaran kebencian. Keempat, dakwah di masjid harus menerapkan pendekatan kearifan lokal.
Muatan dakwah harus lekat dengan kultur budaya masyarakat setempat. Tidak membedakan dan membenturkan antara agama dan budaya. Karena dua hal tersebut merupakan pondasi utama keutuhan NKRI agar selalu kokoh meskipun menghadapi beragam tantangan kebangsaan.
Inilah cara yang dapat ditempuh agar masjid terbebas radikalisme dan fitnah. Masjid akan menjadi bangunan sakral yang mampu mempersatukan umat. Membuat semua umat bisa saling menjunjung tinggi harkat kemanusiaan satu sama lain. Tidak suka melakukan ujaran kebencian, fitnah, adu domba atau memelintir maksud ayat.
Jika ini dilakukan di semua masjid di Indonesia, niscaya semua umat Islam di NKRI akan tumbuh menjadi manusia yang tidak antiperbedaan, toleran, menyukai perdamaian, serta lebih mementingkan kemaslahatan umat daripada kemaslahatan golongan. Wallahu a’lam bish-shawaab.
Hani Fildzah Rusydina, S.Pd., Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.