Khilafah.ID – Alex Pina, sutradara film Money Heist, berkata begini: “Bangkit melawan sistem itu tindakan nekat dan idealis.” Film Hollywood dengan alur perampokan tersebut digadang-gadang mengandung kritik atas imperialisme AS oleh gerakan politik kerakyatan. Mereka menentang sistem politik AS secara sarkastis dengan tujuan tertentu. Apakah hal yang sama juga terjadi di Indonesia ketika sejumlah pihak, terutama kalangan HTI, melakukan kritik penentangan?
Saudara dari kalangan HTI, Ahmad Khozinudin, baru-baru ini membuat polemik melalui kanal YouTube miliknya, dengan mengkritik PDIP. Ia menganggap PDIP gagal menerapkan demokrasi, lalu ia menawarkan sistem khilafah ala HTI. Hutang Indonesia yang ribuan triluan, kata dia, adalah bukti kebobrokan sistem demokrasi PDIP. Saudara Khozinudin pun, yang menginginkan referendum khilafah, dengan percaya diri bercuit begini di akun Twitter-nya:
“PDIP punya demokrasi, umat Islam punya Khilafah. Saya tantang PDIP adu konsep Bernegara ; DEMOKRASI VS KHILAFAH”.
Sebelum menulis ini, saya tergelitik dengan artikel berjudul Tidak Perlu Baper Melakukan Kontra-Khilafah Ahmad Khozinudin karya saudara Khalilullah. Ia mewangsitkan agar Khozinudin tidak perlu ditanggapi dengan satu alasan: orang seperti dia hanya pura-pura dan tidak lebih dari mencari sensasi politik belaka. Dengan menegasikan keseriusan Khozinudin, artikel tersebut menjadikan politik oposisi sebagai sesuatu yang, baiknya, didiamkan saja.
Namun saya tidak setuju, dan saudara dari kalangan HTI, baik Khozinudin maupun yang lainnya, harus diluruskan dengan beberapa alasan. Pertama, Khozinudin sebagai representasi HTI tidak saja sedang melakukan glorifikasi khilafah HTI, melainkan juga tengah menebar propaganda bahwa demokrasi telah gagal menyelesaikan masalah kebangsaan. Ia mengambil contoh hutang negara yang ia jamin tidak akan terjadi di negara khilafah.
Kedua, menganggap PDIP sebagai sistem demokrasi—dan lebih lanjut menganggapnya sebagai representasi Indonesia secara totalistik—adalah kekeliruan yang fatal. Ketiga, khilafah bukanlah sistem pemerintahan yang dengannya umat Islam berjaya dan masalah hutang terselesaikan. Tiga alasan ini cukup untuk menggambarkan bahwa saudara kita dari kalangan HTI banyak yang gagal paham tentang politik kebangsaan-kenegaraan. Harus diluruskan.
Gagal Paham Kalangan HTI
Tiga poin di atas adalah sebagian dari, mungkin, puluhan gagal paham dari saudara setanah air kita yang terpengaruh propaganda HTI. Baik keterpengaruhan tersebut bersifat politis, seperti anggapan saudara Khalilullah dalam artikelnya yang saya singgung di muka, atau keterpengaruhan secara ideologis seperti ustaz Felix Siauw dan aktivis HTI lainnya. Kegagalpahaman demikian jelas akan menyebar ke orang lain jika dibiarkan begitu saja.
Pertama sekali harus ditegaskan, sebagai sebuah koreksi, bahwa demokrasi memang bukan sistem pemerintahan yang sempurna. Ini harus diakui. Namun, dalam himpitan kebinekaan, demokrasi merupakan sistem yang efektif ketimbang sistem monarki, umpamanya, seperti yang dicitakan kalangan HTI sebagai khilafah. Romantisme masa lalu bukan saja tidak relevan, karena Turki Utsmani pun bukan khilafah islamiyah ‘ala manhaj an-nubuwwah.
Sistem monarki Turki Utsmani mendukung kehidupan demokratis, di mana kebebasan beragama adalah buahnya. Pada fakta tersebut, saudara kita dari kalangan HTI berada dalam perangkap skakmat: mengapa menolak demokrasi tapi menginginkan kehidupan yang demokratis? Mengapa ingin menegakkan khilafah jika demokrasi saja sudah cukup mengakomodasi kebutuhan masyarakat? Khilafah jenis apa yang diinginkan?
Selanjutnya yang mesti diluruskan pula adalah bahwa Khozinudin keliru jika menargetkan PDIP untuk menyerang demokrasi. PDIP bukan representasi demokrasi dan bukan personifikasi Indonesia. PDIP adalah partai politik, tidak lebih. Megawati atau Puan Maharani bukan pendiri Indonesia dan tidak punya hak mengeksploitasi Pancasila. Bahwa sistem politik PDIP berbasis demokrasi itu adalah benar, tetapi demokrasi terlalu sempit jika direpresentasikan PDIP.
Demokrat, misalnya, juga merupakan partai politik yang menganut demokrasi. Seluruh partai juga demikian, menganut demokrasi dalam negara yang demokratis. Hutang Indonesia, seperti yang sering kali Khozinudin singgung, bukan diciptakan PDIP, maka tidak relevan menyalahkan persoalan negara yang sangat besar terhadap satu partai politik. Tidak nyambung. Demokrasi adalah sistem pemerintahan, yang partai politik kemudian menganutnya.
Terakhir juga perlu diluruskan kepada saudara kita dari kalangan HTI bahwa khilafah bukanlah sistem pemerintahan. Kecuali yang mereka maksud adalah “khilafah ala HTI”, yang artinya tetap monarki. Sementara “khilafah ala Nabi” adalah teokrasi, yang mustahil diterapkan hari ini, dan “khilafah ala Turki Utsmani” adalah monarki. Monarki dan teokrasi adalah sistem spesifik dari al-khilafah, yakni pemerintahan. Apakah ini susah dipahami kalangan HTI?
Mari Sadar Bersama-sama
Kunci dari semuanya adalah menyadari bersama-sama bahwa betapapun demokrasi belum sempurna mengatasi persoalan kebangsaan, ia sudah sangat efektif menghalangi kesewenang-wenangan yang rentan terjadi dalam sistem monarki. Memang, di Indonesia, demokrasi illiberal relatif tidak sehat, namun di bawah kesadaran “equality before the law”, demokrasi memberi ruang keadilan tanpa memandang agama, Islam misalnya.
Jika saudara Khozinudin atau pun kalangan HTI lainnya tidak setuju dengan PDIP, maka seharusnya narasi mereka adalah memprotes PDIP sebagai partai politik, bukan menganggapnya sebagai medan untuk menggempur Indonesia secara umum. Memang mereka kira Indonesia milik PDIP? Ini salah kaprah yang memerlukan kesadaran bersama. Terlepas dari kekuatan PDIP, ia tetaplah partai politik. Mengapa harus dianggap personifikasi negara dan sistem pemerintahannya?
Dengan kata lain, jika Khozinudin dan saudara-saudara dari kalangan HTI tidak setuju atau tidak suka PDIP, itu tak jadi masalah. Yang masalah besar adalah jika mereka menyejajarkan demokrasi dengan khilafah—suatu penyandingan yang cacat karena apa yang saya ulas di sub kedua tadi. Pendeknya, silakan mengkritik PDIP tapi jangan ganggu demokrasi. PDI-P bukan demokrasi dan khilafah bukan sistem pemerintahan, tapi apa gunanya kalangan HTI justru mengglorifikasi mereka?
Akan diulas lebih lanjut.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…