Khilafah.id – Belakangan ini para pendukung khilafah pusing. Argumentasi mereka berguguran satu demi satu. Dari soal ketidakbakuannya sistem khilâfah, lemahnya riwayat mengenai bendera yang mereka klaim sebagai bendera Rasulullah, kritik sanad dan matan terhadap hadits khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, dan fakta bahwa UUD Khilafah yang mereka persiapkan hanya berdasarkan dalil umum yang penafsirannya mereka paksa mengikuti paham mereka dan bukti konkret bahwa UUD Khilafah itu juga mengambil materi dari sejarah dan kondisi kekinian demokrasi–sesuatu yang mereka tentang selama ini.
Walhasil, mereka mengeluarkan argumen pamungkasnya, yaitu menyorongkan hadits seputar munculnya Imam Mahdi, di mana dalam sejumlah teks hadits tersebut ada indikasi bahwa khalifah hadir sebelum datangnya Imam Mahdi.
Tulisan saya ini akan mengupas masalah hadits tersebut dengan pertama-tama menggunakan kajian disiplin ilmu hadits yang menilai kualitas sanadnya, dan kemudian saya akan jelaskan bagaimana memahami matan hadits dalam peta sejarah politik Islam masa lalu. Kajian ini menggunakan perspektif lintas disiplin keilmuan: ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.
Perdebatan Awal
Ada lebih dari 50 hadits dalam hal Imam Mahdi, di mana kualitas sanad hadits itu beragam, ada yang sahih, hasan, dha’if, dan ada pula yang palsu. Sebagian ulama mengatakan banyaknya riwayat tersebut membuat hadits seputar ini masuk dalam kategori mutawatir maknawi. Artinya, secara makna kabar akan keberadaan Imam Mahdi diakui secara mutawatir karena jumlahnya banyak, meski tidak semua riwayatnya kuat.
Namun demikian, sejumlah ulama lain keberatan dengan kesimpulan “mutawatir maknawi” ini dengan dua alasan utama. Pertama, al-Qur’an tidak menyebutkan soal Imam Mahdi, dan info keberadaannya diketahui hanya lewat hadits. Di samping itu, kedua kitab hadits utama (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) tidak mengulas soal Imam Mahdi ini. Riwayat yang dianggap “mutawatir” itu bertebaran di kitab-kitab hadits selain keduanya.
Meski tidak semua hadits sahih hanya terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dan bisa juga terdapat dalam kitab hadits lainnya, tidak dapat dihindari kesan bahwa saling bertentangannya sejumlah riwayat tentang tema ini membuat kedua kitab utama ini enggan mencantumkannya.
Seperti telah saya sebutkan, banyak hadits sahih lainnya yang tidak terdapat di dalam kedua kitab utama ini. Ini artinya kita harus menelusuri sejumlah riwayat hadits tentang Imam Mahdi untuk menilai sahih atau tidaknya riwayat tersebut satu per satu. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam kitabnya, Muqaddimah, telah merangkum catatan para ulama hadits tentang riwayat seputar Imam Mahdi. Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa mayoritas tidak berkualitas sahih, dan hanya sedikit sekali yang bisa “diselamatkan”.
Sampai di sini, kesimpulan Ibn Khaldun langsung membuat berang sejumlah ulama. Maklumlah tema Imam Mahdi ini menjadi rebutan banyak pihak. Banyak aliran dalam Islam yang berpegangan pada keberadaan Imam Mahdi. Kalau ini didha’ifkan, bagaimana dengan pokok ajaran mereka? Runtuhkah? Maka, Ibn Khaldun pun diserang dengan mengatakan bahwa dia bukan seorang ahli hadits. Seperti saya bilang, sebagai sejarawan Ibn Khaldun mengumpulkan komentar para ulama tentang sanad riwayat tersebut, jadi bukan beliau yang memberi penilaian secara langsung.
Ibn Khaldun sendiri kelihatannya memang tidak suka dengan konsep Mahdi dalam ajaran Syiah. Maka, kita dapati komentarnya sering cukup sengit terhadap Syiah dalam kitab Muqaddimah-nya itu. Satu lagi yang “ditembak” oleh Ibn Khaldun adalah kelompok sufi-mistis yang kemudian mengaku sebagai Imam Mahdi, yaitu kelompok al-Muwahhidun di bawah tokohnya, Ibn Tumart (1077-1130).
Dengan kata lain, upaya Ibn Khaldun mengkritisi sanad hadits seputar Imam Mahdi ini tidak dalam konteks menyerang doktrin Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Penelusuran saya sendiri terhadap sejumlah riwayat seputar Imam Mahdi ini mengindikasikan: semakin detail ceritanya, semakin ditemui kejanggalan. Semakin rinci, maka semakin saling berbenturan info yang kita dapat mengenai asal usul keturunan, namanya, bentuk fisik, lokasi kehadirannya, berapa lama memerintah, dan peristiwa sebelum dan sesudah kemunculannya. Banyak sekali riwayat yang saling bertabrakan.
Misalnya, kita akan dapati paling tidak 5 informasi berbeda mengenai sosoknya:
- Imam Mahdi keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Hasan.
- Imam Mahdi keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Husein.
- Imam Mahdi keluarga Rasulullah dari jalur Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib.
- Imam Mahdi berasal dari umat Islam (tidak spesifik).
- Imam Mahdi itu sama dengan Nabi Isa.
Kelimanya memiliki hadits pendukung. Itu sebabnya kita harus membaca riwayat seputar ini dengan kritis.
Imam Mahdi dan Khalifah
Konteks diskusi kita kali ini bukan bicara soal Imam Mahdi secara umum, tetapi dalam konteks khalifah yang hadir sebelum kedatangan Imam Mahdi. Logika pendukung khilafah itu sederhana saja: kalau khalifah sudah selesai dan tidak akan tegak kembali, kenapa keberadaan khalifah disebutkan dalam hadits datangnya Imam Mahdi. Nah, benarkah demikian?
Diskusi ini juga kita batasi dalam kajian Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Saya tidak akan menyoal konsep dan riwayat Imam Mahdi dari Syi’ah. Lain kali saja kita bahas soal Syi’ah.
Saya akan sebutkan dua riwayat yang relevan dalam diskusi ini:
Hadits pertama:
“Ada tiga orang yang akan saling membunuh tentang simpanan kalian; mereka semua adalah putra khalifah, kemudian tidak satu pun akan mendapatkannya. Akhirnya muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun… (lalu beliau SAW menutur-kan sesuatu yang tidak aku ingat, kemudian beliau SAW berkata:) Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah Khalifatullah al-Mahdi.”
Riwayat ini terdapat dalam sejumlah kitab hadits seperti Sunan Ibn Majah (II/1367), Mustadrak al-Hakim (IV/463-464).
Imam al-Hakim mengklaim bahwa sanad riwayat ini sahih sesuai standar Bukhari-Muslim, meski keduanya tidak mencantumkannya dalam kitab mereka. Al-Bazzar dalam kitab Dala’il an-Nubuwwah (6/515) mengatakan riwayat ini sahih. Ibn Katsir dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hal. 17) mengatakan hadits ini marfu’ (hadist yang disandarkan kepada Rasulullah SAW). Tapi dalam al-Bidayah wan Nihayah beliau katakana ini hadits mawquf (hadist yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah) yang berhenti di Tsauban Radhiyallah anhu.
Akan tetapi Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-‘Ilal (2/325) mengatakan riwayat ini dha’if. Imam Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal (3/128) mengatakan hadits ini munkar. Yang menarik adalah ungkapan Syekh al-Albani yang mengatakan sanadnya munkar karena Abu Qilabah itu tadlis tapi matannya bisa diterima kecuali kalimat akhirnya yaitu “khalifatullah Mahdi”. Kita akan kembali ke soal istilah “khalifatullah Mahdi” nanti.
Hadits kedua:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Qatadah dari Shalih Abu Al Khalil dari sahabatnya dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW, dari Nabi, beliau bersabda: “Akan terjadi perselisihan saat matinya khalifah, lalu seorang laki-laki akan keluar dari Madinah pergi menuju Mekkah. Lantas beberapa orang dari penduduk Mekkah mendatanginya, mereka memaksanya keluar (dari dalam rumah) meskipun ia tidak menginginkannya. Orang-orang itu kemudian membaiatnya pada suatu tempat antara Rukun (Hajar Asawad) dan Maqam (Ibrahim). Lalu dikirimlah sepasukan dari penduduk Syam untuk memeranginya, tetapi pasukan itu justru ditenggelamkan oleh (Allah) di Al-Baida, tempat antara Mekkah dan Madinah. Maka, ketika manusia melihat hal itu, orang-orang saleh dari Syam dan orang-orang terbaik dari penduduk Irak membaiatnya antara rukun dan maqam. Lalu tumbuhlah seorang laki-laki dari bangsa Quraisy, paman-pamannya dari suku Kalb, dia lalu mengirimkan sepasukan untuk memerangi mereka (orang-orang yang berbaiat kepada lelaki itu) namun mereka dapat mengalahkan mereka (pasukan yang dikirim oleh lelaki Quraisy dari suku Kalb). Alangkah ruginya orang yang tidak ikut serta dalam pembagian ghanimah perang melawan suku Kalb. Dia lalu membagi ghanimah, dan membina manusia dengan sunnah Nabi mereka dan menyampaikan Islam ke semua penduduk bumi. Ia berkuasa selama tujuh tahun, kemudian wafat dan disalati oleh kaum muslimin.”
Abu Dawud berkata, “Sebagian mereka menyebutkan dari Hisyam, “selama sembilan tahun.” Dan sebagian yang lain menyebutkan, “Selama tujuh tahun.” Telah menceritakan kepada kami Harun bin Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad dari Hammam dari Qatadah dengan Hadits yang sama. Beliau mengatakan, “sembilan tahun.” Abu Dawud berkata, “Selain Mu’adz menyebutkan dari Hisyam, “selama sembilan tahun.”
Sunan Abi Dawud (Hadits nomor 3737) dan Musnad Ahmad (6/316) memuat riwayat ini. Syekh al-Albani megatakan riwayat ini dha’if. Ibn Khaldun mencatat bahwa ada perawinya yang majhul (jati dirinya tak diketahui/ketidaktahuan akan perawi) dan mudallis (perawi tidak mendengar atau bertemu langsung). Persoalannya ada pada Qatadah. Syekh Arnaut mengatakan dha’if, namun Ibn Jauziy dalam al-‘Ilal (1444) mengatakan sanadnya hasan. Al-Haytsami dalam Majma’ Zawaid (7/35) mengatakan perawinya sahih.
Seperti bisa dilihat, baik hadits pertama maupun kedua diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Tidak ada kesepakatan. Di samping itu, kedua hadits di atas menyebut soal perselisihan khalifah, dan kondisi kacau balau sebelum munculnya Imam Mahdi. Itu sebabnya para pendukung keberadaan khilafah yang menggunakan logika bahwa akan ada khalifah sebelum Imam Mahdi harus mendapati kenyataan bahwa suasana saat itu kacau balau dan tidak mungkin suasana kacau balau dan perselisihan itu terjadi dalam khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang sesuai dengan metode kenabian).
Kalau begitu, apa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu setelah hadirnya Imam Mahdi? Wah, kalau gitu sih sudah kiamat, dong. Bukankah munculnya Imam Mahdi (dan juga turunnya kembali Nabi Isa dan muncullnya Dajjal) merupakan tanda-tanda kiamat. Bersambung.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.