Memaknai Filosofis Idul Adha dalam Bernegara, Mengkritik Khilafahers?

Idul adha

Khilafah.id – Idul adha tahun ini tentunya memiliki makna berbeda pasca bencana pandemi yang membatasi ruang gerak bagi seluruh umat islam termasuk bagi warga Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk Islam. 10 Zulhijah sebagai peringatan hari lebaran iduladha bukan hanya sebatas seremonial agama tanpa makna, namun penuh pesan bagi umat islam. Dalam konteks bernegara, pesan moral tersebut harusnya menjadi bahan untuk merenung bagi penyelenggara negara.

Sejarah awal (asbabun nuzul) peristiwa idul adha berawal dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang menjalankan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Padahal Nabi Ibrahim memiliki rasa sayang dan cinta yang begitu besar atas putra yang telah lama dinantinya.

Namun, guna memenuhi kepatuhan dan rasa cinta Nabi Ibrahim kepada sang Pencipta maka Ia ikhlas menjalankan perintah tersebut. Sebagaimana diterangkan dalam  Firman Allah SWT dalam Surat As Saffat ayat 102. “wahai anaku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu? “dia (Ismail)  menjawab, “wahai ayahku, lakukanlah apa yang  diperintahkan (Allah) kepadamu! InsyaAllah  engkau akan mendapati  termasuk orang-orang sabar”.

Jika diperumpamakan hubungan Ibrahim dan Ismail seperti relasi negara dan rakyat yang diperkenalkan dalam pemikiran Soepomo dalam paham negara Integralistik. Dalam  Firman Allah SWT tersebut terselip pesan moral yang kontekstual dalam praktek kenegaraan Indonesia faktual hari ini dalam memaknai nilai-nilai demokrasi.

Menurut M.Busyro Muqoddas, ayat diatas dapat disaripatikan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, adanya proses keterbukaan antara hubungan ayah dan anak. Kedua, keterbukaan tersebut diikuti dengan proses dialog dan diskusi untuk memutuskan suatu perkara. Ketiga, hidupnya proses demokrasi dengan adanya konfirmasi kesetujuan kepada ismail tentang perintah Tuhan tersebut.

Surat As Saffat mendeskripsikan bahwa  Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah Tuhannya namun melakukan proses dialog dan melibatkan anaknya untuk menanggapi perintah Tuhan. Jika dimaknai proses dialog tersebut dalam hubungan negara dan rakyat merupakan manifestasi dari nilai-nilai demokrasi dan partisipasi publik. Dengan kata lain, proses itu menjadi penting dalam negara yang berdasarkan hukum dan taat kepada konstitusi. Pelibatan publik menjadi conditio sine qua non.

Namun realitasnya, performa konstitusi pasca amandemen terakhir tahun 2002 belum mampu mencapai cita-cita ideal tersebut. Ketentuan legislasi yang telah menarik bandul kekuasaan legislasi yang berimbang antara Presiden dan DPR dalam Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945 ( executive heavy to legislative heavy) tetapi prakteknya lebih mendekat pada sistem yang menghilangkan budaya dialog dan konfirmasi kehendak rakyat.

Proses legislasi saat ini cenderung dikooptasi oleh kepentingan elite semata. Sebagai contoh UU IKN, UU Ciptaker, Revisi UU KPK dan bahkan proses legislasi RUU KUHP yang sedang berjalan menjauh dari proses demokrasi yang deliberatif.

Proses dialog, konsultasi, dengar pendapat serta kran partisipasi publik lainnya semakin tertutup dan diabaikan. Padahal RUU yang dibuat akan berdampak dan mengikat masyarakat. Lebih disayangkan lagi, ada pernyataan penyelenggara negara yang menyuruh publik untuk menyoalkan persoalan legislasi ini diuji formil dan material di Mahkamah Konstitusi saja. Tentunya gaya Bahasa demikian tendensi menciptakan proses legislasi yang nir-partisipasi dan menggambarkan hubungan negara dan rakyat seperti kompetitor yang saling bertanding bukan  lagi hubungan ayah dan anak yang konstruktif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020 telah mengamanatkan untuk mengembalikan proses dialog antar negara dan masyarakat tersebut dengan mewajibkan jaminan partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam proses legislasi.

Asas keterbukaan yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus menyertai partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Dalam Putusan  a quo MK memberikan petunjuk untuk mengimplementasian partisipasi bermakna melalui 3 (tiga) prinsip yaitu hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Konsep ini telah coba diakomodir dalam revisi Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun  2022 tentang Perubahan UU No 12 Tahun 2011. Politik hukum UU a quo  mencoba mengembalikan khittah partisipasi publik sesuai amanat putusan MK. Semoga momentum Idul Adha 1444 H  waktu yang tepat untuk merenungi nilai-nilai moral dialog antara Ibrahim dan Ismail dalam kontek bernegara dan pembentukan undang-undang.

Ari Wirya Dinata, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

ACT: Mangkir-mangkir Dahulu, Masuk Penjara Kemudian

Kam Jul 14 , 2022
Khilafah.id – ACT kembali memanas, setelah mantan Presiden ACT, Ahyudin siap mengaku (menjadi tersangka/korban) atas dugaan penyelewengan donasi umat. Ia juga siap dipenjara dengan satu permintaan: ACT harus tetap ada! Namun dalam keterangan pers, Ahyudin seperti ingin mengelak sekaligus mengiba, dengan memakai bahasa: “Saya siap berkorban dan dikorbankan”. Jika kita […]
ACT

You May Like