Khilafah.id – Felix Siauw kembali membuat negeri ini heboh. Heboh sebab pembatalan surat edaran Dinas Pendidikan Bangka Belitung (Disdik Babel) yang mewajibkan para peserta didik untuk membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw. Ya, seperti biasa, ada yang setuju dan ada yang tak setuju.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Babel memang mewajibkan peserta didik SMA, SMK, dan sederajat untuk membaca buku tersebut. Niat yang sebenarnya baik. Sebab ingin mengajak para peserta didik untuk mulai aktif membaca. Namun, sayangnya pihak Disdik tak tahu siapa sebenarnya yang menulis buku itu. Sehingga saat berita Disdik Babel mewajibkan membaca buku Felix Siauw naik ke permukaan lantas viral, mereka pun baru tahu kalau penulisnya adalah eks HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
“Kita tidak tahu. Kita tahu setelah diberi tahu. Kemudian setelah kita tahu pengarang itu adalah anggota ormas terlarang, maka segera kita batalkan. Jadi, ini di luar sepengetahuan kami,” kata M. Sholeh yang merupakan Kepala Disdik Babel, dilansir dari Kumparandotcom (2 Oktober, 2020).
Ceramah dan karya-karya eks HTI yang satu ini–Felix Siauw–memang punya pesona yang mampu memikat banyak orang. Terlebih mereka yang kurang paham akan bahaya dari gerakan cita-cita Khilafah Islamiyah-nya HTI.
Bahkan belum lama ini, para eks HTI–Felix, dkk–juga menggarap film Jejak Khilafah di Nusantara yang menggiring banyak pemahaman kaum muda akan sejarah Islam Nusantara. Sehingga saat film itu di-banned, banyak suara-suara protes yang tak setuju. Mereka protes, sebab katanya itu hanya film sejarah. Mereka tak tahu kalau itu film berbaju sejarah yang tujuannya adalah mencoba menggiring pemahaman agar sejalan dengan pemahaman HT tentang Khilafah Islamiyah.
Sama halnya dengan sekarang, saat Disdik Babel membatalkan surat edaran yang mewajibkan peserta didik tingkat SMA sederajat membaca buku Felix Siauw, suara-suara protes demikian juga terdengar. Katanya, “Hanya sekadar baca buku Muhammad al-Fatih 1453 saja takut. Ya sudah, nggak usah mikir apa-apa. Wong diajak mikir juga nggak bisa.”
Ini bukan sekadar soal membaca buku biografi Muhammad al-Fatih, bro. Pun, sama bukan sekadar soal film sejarah Jejak Khilafah di Nusantara. Mau baca buku itu bagus, mau belajar sejarah juga bagus. Namun, ini soal gerakan eks HTI yang berpotensi menggerogoti kedaulatan NKRI.
Kita tahu bersama, kalau pada tahun 2017 yang lalu HTI telah dicabut izin ormasnya dan telah dibubarkan oleh pemerintah. Salah satu alasannya, sebab sangat berpotensi mengancam kedaulatan politik negara. Itu sebagaimana saya lansir dari Kompasdotcom (12, Mei, 2017).
HTI sendiri merupakan cabang dari HT (Hizbut Tahrir) di Indonesia. HT adalah partai yang didirikan oleh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan gerakan utamanya adalah memperjuangkan cita-cita Khilafah Islamiyah. Mereka termasuk dalam golongan Islamisme.
Siti Mahmudah dalam jurnalnya Islamisme: Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia menjelaskan, “Agenda utama Islamisme adalah mendirikan tatanan negara Islam dan memobilisasi umat Islam dalam rangka membangun tatanan yang totaliter….”
Mereka tak seperti kelompok-kelompok Pos-Islamisme, yang dalam bukunya Aset Bayat berjudul Pos-Islamisme, dia menjelaskan kalau Pos-Islamisme menekankan pada sikap keberagamaan dan HAM.
Bagi para Pos-Islamisme tak masalah negara bukan negara Islam, yang terpenting nilai-nilai Islam dapat diupayakan dalam masyarakat. Sementara bagi para Islamisme (dalam konteks ini termasuk HT) pendirian negara Islam adalah keniscayaan yang harus dicita-citakan dan diperjuangkan.
Sehingga ada pernyataan aktivis HTI, “La syari’ata illa bidaulah al-khilafah (tidak ada syariat kecuali ada negara khilafah). La islama bila khilafatin (Tidak ada Islam tanpa khilafah).” Sebagaimana saya kutip dari Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah disusun oleh PWNU Jawa Timur.
Indonesia bukanlah negara Islam seperti apa yang dicita-citakan HTI. Cita-cita yang menjadi hasrat bahkan ambisi HTI akan mendirikan negara Islam, jelas bisa sangat berpotensi menggerogoti kedaulatan negara Indonesia. Sehingga langkah pemerintah yang telah membubarkan HTI, termasuk tepat dalam upaya menjaga kedaulatan NKRI dan mempertahankan ideologi Pancasila.
Namun, pembubaran HTI tak berarti menghentikan gerakan mereka. Nyatanya eks HTI terus bergerak dalam senyap. Mendirikan komunitas tanpa perlu memperlihatkan simbol HTI dan hasrat Khilafah Islamiyah, buat kajian, bahkan berbaur dengan kelompok lain. Film Jejak Khilafah di Nusantara, cukup menjadi bukti kalau eks HTI masih terus bergerak.
Bayang-bayang eks HTI masih terus bergerak menghantui terangnya kedaulatan NKRI. Sekali lagi, ini bukan soal sekadar film dan buku, tapi soal gerakan eks HTI yang masih terus bergerak dalam senyap mengkampanyekan cita-cita Khilafah Islamiyah. Maka jelas pemerintah harus terus melakukan ikhtiar dalam upaya mempertahankan kedaulatan NKRI dan ideologi Pancasila.
Moh. Rivaldi Abdul, Penulis seputar keislaman dan keindonesiaan.