Membendung Habaib Petakilan

Habaib

Khilafah.id – Banyak dari masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, mudah terprovokasi oleh ajakan-ajakan yang sifatnya konfrontatif. Realitas saat ini, banyak dari kalangan Hadrami (baik Sayyid atau Habib), menjadikan sentralisme pribadi guna menarik simpati. Mulai dari penghormatan hingga pengkultusan akibat fanatisme berlebihan.

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Nasib Tarekat Alawiyah Indonesia”, ditulis oleh Ben Sohib, terdapat pergulatan wacana internal dalam bani Alawiyyin di Indonesia. Ben menulis ada dua sisi dari para habaib yang memang terjadi. Ada habaib tasawuf yang memang konsen dalam berdakwah dengan mencirikan akhlak dan Islam sebagai raḥmatan lil ʿālamīn. Kemudian ada habaib politik, yang mencirikan islamisme sebagai basic ideologi.

Masih belum kering dari ingatan kita, Rizieq Syihab atau HRS, adalah salah satu pimpinan ormas FPI yang sudah dibubarkan. Beragam aksi yang telah ia lakukan bersama FPI-nya, terbukti meresahkan tata nilai kehidupan umat beragama di Indonesia. Meski telah dibubarkan, tetapi harākah (gerakan) dari ormas tersebut masih mendarah daging di tubuh simpatisannya.

Fenomena ini sudah pernah dikaji oleh redaksi islamina pada tahun 2020. Mulanya, banyak dari kalangan Habib maupun Sayyid bermigrasi ke Nusantara karena faktor ekonomi (Berg, 1989). Selanjutnya, kalangan Alawiyyin mulai merambah ke berbagai sektor seperti, politik, akademisi, hingga pendakwah.

Pada lingkup pendakwah, kalangan Alawiyyin di awal abad 21, berubah sebagai kelompok yang mampu menggeser peran Kyai Kampung dan Ustadz dalam otoritas keagamaan di berbagai daerah. Ada Habib yang memang memberikan nasehat-nasehat, ada pula Habib yang sedikit-sedikit mencaci perbedaan. Oleh karena itu, dua tipe Habaib tersebut membuat kalangan umat Islam semakin kebingungan.
Habaib “Petakilan” di Era Disrupsi

Pasca HRS dan FPI-nya dibubarkan, ternyata masih banyak kader yang disiapkan untuk mewarnai aktivisme sosial masyarakat. Sebagai contoh yakni Bahar bin Smith. Setiap ceramahnya yang selalu dibumbui nilai-nilai politis wal konfrontatif.

Bermodal memiliki hubungan darah ke Nabi Muhammad SAW., rupanya mampu menanamkan taqlīd yang berlebihan pada sebagian besar umat Islam. Persoalannya adalah umat Islam tidak ingin atau belum menempatkan kalangan Habaib secara proporsional.

Kembali pada konflik internal Alawiyyin, sudah lama dari kelompok Habaib tasawuf mencium bau yang tidak sedap. Banyak dari jaringan guru-murid alumni Yaman telah keluar dari ajaran tarekat Alawiyyah. Hal ini disebabkan konflik perbedaan metode ajaran yang bermuara juga terhadap akhlak Habaib.

Seperti yang disampaikan oleh Habib Jindan bin Novel. Banyak dari alumni Habib Umar bin Hafidz yang ikut ‘keracunan’ konflik internal Alawiyyin. Mulai dari keterlibatan aksi demo 212, aksi intoleran di daerah, sampai berkata buruk di media sosial. Fenomena Habaib politik ini mengubah sisi fanatisme di kalangan pemuda. Walhasil, anak muda lebih memilih majelis yang diasuh oleh Habib ‘garang’ yang dapat masuk di alam pikiran dan sanubari.

Rujukan

Ben Sohib. “Nasib Tarekat Alawiyah Indonesia: Sudah Jatuh, Tertimpa Kaki Bahar bin Smith”. Artikel dari alif.id.
Bulletin Islamina Vol. 1 No. 4, September 2020. “Menyelamatkan Habib di Nusantara“. [Jakarta: Islamina].
Van den Berg, L.W.C.. Orang Arab di Nusantara. Terj. Rahayu Hidayat. [Jakarta: Komunitas Bambu: 2010].

Syahril Mubarok, Penikmat Netflix dan Kopi Hitam.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (2/2)

Jum Mar 18 , 2022
Khilafah.id – Bagi Gus Dur, kebebasan dan kemerdekaan adalah hak bagi setiap warga negara. Negara wajib melindunginya sesuai dengan konstitusi. Perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas dan ter-marginalkan wajib dilakukan dikarenakan termasuk dari amanat Undang-undang Dasar. Artinya, keberagaman atau pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan yang wajib diakui dan […]
Gus Dur

You May Like