Membungkam Radikalisme dan Khilafahisme dengan Nalar Abdul Karim Soroush

Soroush

Khilafah.id – Abdul Karim Soroush adalah sosok yang kontroversial. Pertama, di kalangan kita kemungkinan dipandang miring karena pribadinya dengan latar belakang Syi’ah. Sementara di kalangan Syi’ah sendiri, ia juga dipandang tidak kalah miringnya karena sikapnya yang kritis. Beragama baginya, pertama dengan memberikan akal porsi yang dominan. Akal dalam hal ini tidak diletakkan di taraf nisbi yang sukar mencapai titik benar. Segala argumen yang diajukan oleh Soroush sejatinya bertumpu pada akal. Bahkan, pembacaannya terhadap al-Qur’an pun juga memainkan peran akal.

Yang menarik untuk diulas dari Soroush adalah pembagiannya tentang agama dan pemahaman agama. Jika entitas pertama dipandang sebagai sesuatu yang pasti benar dalam dirinya, maka yang kedua adalah kebalikan. Agama dalam dirinya sendiri hanya ada di sisi Tuhan. Sedang pemahaman agama muncul melalui proses pembacaan manusia terhadap agama. Membahas ini lagi-lagi kita akan memberikan akal dan ilmu non agama tempat yang nyaman. Untuk memandang agama, bagi Soroush, bisa menggunakan perangkat non agama. Pemisahan antara dua entitas ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap perjalanan Islam. Oleh itu agama—sebagaimana istilah pertama—sakral dengan sendirinya, dan pemahaman agama bersifat profan.

Jika hendak dicari kontekstualisasinya pada hari ini, yaitu sebagian kita mencampuradukkan dua entitas ini. Agama dan pemahaman keagamaan dipandang sesuatu yang sama-sama sakral. Akhirnya pemahaman keagamaan juga menolak untuk dikritik. Ia menjadi entitas yang bebal sekaligus kebal dari pertanyaan dan pernyataan kritis. Meski pemahaman keagamaan bersumber dari agama, ia tidak sakral sebagaimana agama dalam dirinya sendiri. Sehingga sikap kritis terhadap pemahaman agama adalah keniscayaan tak terhindarkan. Untuk mencapai sempurna pada batas minimal—istilah Soroush had al-adna—maka pembacaan kritis harus diajukan.

Ketika sudah berhasil memisahkan kedua entitas tersebut, keberagamaan kita akan sedikit lebih bebas. Tidak akan ada lagi namanya ketakutan untuk mengkritik pemahaman keagamaan. Sebab, sebelumnya kita sudah berhasil memisahkan antara domain agama yang sakral dengan pemahaman agama yang profan. Selanjutnya, pemahaman agama yang menggunakan kacamata manusia, secara langsung ia juga akan beragam. Di dalam nalar Soroush, ia memberikan perhatian penuh terhadap pluralitas, kemajemukan yang tidak bisa ditolak.

Pembacaan Basyari

Beberapa dekade belakangan, nalar radikalisme dan khilafahisme yang muncul tidak jarang diilhami teks agama. Dalam hal ini saya tidak hendak mencederai teks agama dengan menyebut sebagai biang kerusakan. Itu murnia hanya kekeliruan pemahaman, bukan teks agama dalam dirinya.  Terlebih dahulu, yang harus diperjelas, bahwa pemahaman semacam itu lahir karena tidak menilik dimensi manusiawi (basyari-antroposentris). Radikalisme dan kekerasan yang sering menggunakan legitimasi teks keagamaan, hanya memerhatikan dimensi ilahi-teosentris. Implikasinya yang paling fatal, yakni eksistensi manusia tidak mendapat perhatian. Hal itu sedikit—atau bahkan sama sekali—diabaikan.

Dengan pergeseran paradigama dari teosentris ke antroposentris, maka beragama demi kemaslahatan manusia mendapat tempat yang luas. Musabab pembacaan teks keagamaan tidak sepenuhnya berpusat pada Tuhan, maka ia seketika memusat pada manusia. Dengan hal itu, sebagaimana klasifikasi Soroush, akan mengimplikasikan pada beragama secara maslahi. Beragama dalam taraf ini yang memerhatikan penuh kemaslahatan manusia di muka bumi. Jika sudah sampai pada taraf pemahaman ini, saya kira tidak akan terjadi kekerasan atas nama agama. Agama hanya berarti jika ia benar-benar memberi kemaslahatan di muka bumi (Aksin Wijaya, 2021:188)

Pembacaan Abdul Karim Soroush terhadap teks keagamaan dan usaha klasifikasinya antara agama dan pemahamannya, dalam perspektif saya, punya andil besar. Kita akan melihat bahwa sesungguhnya pemahaman dengan bentuk berbuat keras terhadap orang lain dan mencederai kemanusiaan, bukan tujuan agama. Ia hanya taraf pemahaman terhadap agama dan patut dikritik bersama-sama. Dan pembacaan yang lebih bersifat manusiawi hendaknya menjadi alternatif. Hanya dengan pembacaan ini, tidak akan ada penumpahan darah atas nama Tuhan serta ,dengan sungguh-sungguh, pembacaan itu memerhatikan eksistensi manusia.

Agama yang hadir dari Tuhan dan pemahaman terhadapnya hendaknya memang atas dasar kepentingan manusia. Dalam kerangka berpikir Soroush, agama (secara khusus pemahamannya) harus mempunyai dimensi basyari terlebih dahulu, baru kemudian meminta manusia memeluk agama. Itulah satu-satunya jalan yang tidak akan pernah mengesampingkan kepentingan manusia. Dengan kerangka berpikir Soroush pula, kita dengan mudah membedah kekerasan atas nama agama.

Moh. Rofqil Bazikh, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bermukim di Banguntapan Bantul Yogyakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Perempuan dalam Genggaman Patriarki, Khilafahers Biang Keroknya?

Sab Mar 19 , 2022
Khilafah.id – Patriarki adalah suatu sistem yang menempatkan laki-laki dewasa pada posisi terpenting, sementara itu dalam sistem ini perempuan hanya dijadikan sebagai istri yang bertugas untuk mendampingi, menghibur, dan melayani suami, sedangkan seorang anak menjadi seseorang generasi penerus dan penghibur ayahnya. Budaya patriarki sendiri yang berkembang dalam ruang lingkup masyarakat […]
Patriarki perempuan

You May Like