Khilafah.id – Barangkali, banyak dari kalian yang sering mendengar kata nasionalisme. Kata yang santer disampaikan oleh penguasa, pemangku jabatan, dan politisi-politisi dengan beragam kepentingannya. Kata ini juga tak jarang menjadi improvisasi dari speech (pidato) dan kampanye. Bahkan bisa dikatakan, atribut nasionalisme saat ini seolah diperebutkan. Semuanya ingin dianggap sebagai orang nasionalis, orang yang paling pancasilais.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme dimaknai sebagai paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan. Sifat yang memang seharusnya tertanam dan menjadi tabiat masing-masing warga negara Indonesia. Tentunya, hal itu bisa didapat dari kesadaran setiap personal. Nasionalisme luntur, bangsa terancam hancur, begitu kira-kira.
Seringkali, nasionalisme dipasangkan dengan patriotisme. Dua kata yang identik namun sebenarnya memiliki perbedaan. Nasionalisme dan patriotisme memang sama-sama berangkat dari aneksi ‘cinta tanah air’. Namun jangan salah, keduanya beda dalam cara memaknainya. Nasionalisme lebih cenderung pada sifat yang melekat dalam diri seseorang, sifat atau tabiat itu berada di dalam. Sedangkan patriotisme lebih kepada sikap yang ditonjolkan.
Sederhananya, nasionalisme adalah sifat mencintai tanah air, patriotisme adalah sikap untuk mengaktualisasikan kecintaan yang dimaksud. Misal; kamu merasa sangat mencintai negara dan bangsamu, bahkan kecintaanmu sangat tinggi. Kemudian, untuk mengimplementasikan kecintaan itu, kamu berinisiatif untuk belajar dengan tekun agar bisa meneruskan misi dan mengisi kemerdekaan. Rasa kecintaanmu terhadap bangsa adalah bagian dari nasionalisme, sedangkan sikap yang kamu lakukan adalah bentuk patriotisme.
Nasionalisme dan patriotisme jelas akan selalu beriringan. Sehingga indikasinya jelas, jika ucapan ‘mencintai tanah air’ tanpa ada sikap dan prospek yang jelas untuk bangsa, hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai nasionalisme. Meskipun, kita sering melihat orang yang mengaku sebagai nasionalis tulen. Sekalipun dengan suara yang lantang dan meyakinkan.
Sebagaimana juga dikatakan oleh Musthafa Al-Ghalayain dalam kitabnya, ‘Idzatu al-Nasyi’in’;
Orang-orang yang dengan sengaja melemahkan kekuatan negara dan melemahkan sendi-sendinya, maka dia masih jauh disebut nasionalis, sekalipun berteriak-teriak menyatakan; “saya orang nasionalis tulen,”.
Pernyataan Musthafa Al-Ghalayain ini seolah bernada sindiran terhadap realitas yang terjadi sekarang. Di mana mereka yang santer melakukan pencitraan, ke sana-ke mari meneriakkan nasionalisme, tapi faktanya nihil. Perbuatannya tidak sinkron dengan ajakannya. Ini yang kemudian oleh Imam Ghalayain disebut sebagai musuh yang sebenarnya.
Selama ini, kita hanya terfokus pada musuh-musuh yang pergerakannya jelas. Musuh-musuh yang secara terang-terangan ingin mengubah ideologi bangsa, HTI misalkan. Sebenarnya kewaspadaan kita terhadap mereka sangat penting, namun lebih penting lagi jika fokus waspada kita juga tertuju pada musuh dalam selimut. Musuh yang secara diam-diam mengancam negara dengan kedok nasionalisme tadi.
Musuh-musuh ini—yang menurut Imam Ghalayain dianggap sebagai musuh sebenarnya—pergerakannya memang sukar ditebak. Naifnya lagi, kadang mereka mengisi kedudukan-kedudukan inti. Saya tidak ingin menyebut siapapun, intinya musuh seperti inilah yang lebih berbahaya. Sebab, jangankan melawan, mendeteksi bahwa dia musuh atau bukan saja sulit.
Itu yang sekarang terjadi pada bangsa kita. Kaum-kaum yang menganggap dirinya nasionalis, para politisi misalkan, ternyata masih menjadikan ego pribadinya sebagai sentra. Imbasnya, kebijakan yang telah/akan ditetapkan tidak sama sekali berpihak pada masyarakat, melainkan pada diri dan kelompoknya saja. Bahkan, tak jarang menciderai nasib masyarakat kalangan bawah. Padahal, sebagai pemangku jabatan, para politisi mestinya mengambil langkah lebih maju untuk kebaikan bangsa ke depan.
Contoh yang bisa diambil adalah para koruptor, yang biasanya datang dari kalangan politisi. Para politisi yang kemudian menjelma koruptor ini sebelumnya dipercaya oleh masyarakat untuk mengisi kursi-kursi penting. Sebelumnya mereka juga disumpah untuk menjalankan tanggung jawab dan siap mengabdi pada negara atau masyarakat. Namun, nyatanya nihil. Mereka dengan sengaja melanggar sumpah itu, yang berarti mereka mengkhianati bangsa. Jelas, nasionalisme dalam hal ini sudah tertelan dan hilang.
Sekarang ini, kita terlalu jauh memfokuskan kewaspadaan kita hanya pada satu titik, sebagaimana sudah saya jelaskan di depan. Orang-orang yang kita anggap non-nasionalis hanyalah mereka yang kita sebut sebagai pengikut paham radikal dan fundamental. Orang-orang yang ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sistem khilafah. Tidak salah, hanya saja kewaspadaan kita kurang menyeluruh. Padahal banyak dari selain mereka yang juga pantas dicap non-nasionalis.
Bagi Imam Ghalayain, nasionalis sejati akan siap mati demi bangsa dan negaranya. Sedangkan nasionalisme sejati adalah kecintaan yang tulus dan penuh terhadap keduanya. Jadi, untuk dianggap sebagai nasionalis sejati tidak cukup hanya dengan mendeklarasikan tanpa tindakan yang riil.
Musthafa Ghalayain juga menganalogikan kedudukan warga negara terhadap bangsa dengan perumpamaan anak kepada ayahnya. Menurut beliau, seorang anak akan dianggap baik jika telah memenuhi kewajiban terhadap orang tuanya. Begitu juga dengan putra-putri bangsa, akan dianggap sebagai generasi terbaik ketika sudah melaksanakan kewajiban bagi negara dan bangsanya.
Aqil Husein Almanuri, Penulis lepas tentang keislaman dan keindonesiaan.