Khilafah.id – Saya tertarik sekali dengan himbauan eks-Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH. Prof. Dr. Said Aqil Sirajd, MA yang meminta pemerintah agar menutup akun-akun Wahabi di berbagai flatform media sosial yang punya ideologi kekerasan. Tidak hanya berhenti di situ, Kiai Said menegaskan dukungan NU terhadap pelarangan konten yang menjadi sumber kegaduhan, fitnah, hoax dan radikalisme. Alasannya cukup lugas dalam al-Quran bahwa Allah pun memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengusir orang-orang yang membuat kegaduhan.
Nampaknya permintaan Kiayi Said cukup beralasan. Jika kita perhatikan berbagai kejadian terorisme yang mengatasnamakan Islam di berbagai belahan dunia umumnya dilakukan oleh kelompok yang berafiliasi secara pemikiran dengan paham salafi Jihadis. Kita melihat keterkaitan antara ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram, Elshabab, Taliban, Jamaah Islamiyah, dan kelompok-kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi kepada kelompok ini seperti MIT, JAD, JAK dan JAT.
Global Terrorism Index (GTI) dalam laporannya pada tahun 2020 menyebutkan bahwa sejak ISIS kalah di Irak dan Suriah terjadi penurunan angka jumlah korban meninggal dan aksi terorisme bila dibandingkan sebelumnya. Namun, GTI menyebutkan bahwa para kombatan ISIS itu telah terserbar di 27 negara yang selalu siap siaga melakukan aksi terorisme kapanpun melihat peluang untuk melakukan serangan.
Berbagai aksi mandiri oleh serigala tunggal (lonewolf ) yang terjadi di beberapa negara mulai dari Eropa, Timur Tengah hingga Asia menunjukkan bahwa jaringan ISIS masih eksis. Mereka masih menjadi ancaman paling berbahaya dan terus menebar ancaman baik laten maupun manifest yang harus terus diwaspadai.
Masih menurut GTI bahwa di penghujung tahun 2019 sekitar 14.000.000 orang korban meninggal dan pada tahun 2018 mencapai 24.000.000 ribu korban meninggal akibat tindakan terorisme. Sementara, tahun-tahun sebelumnya cukup variatif antara 14.000 sampai 20.000 korban. pertahun. Kalkulasi korban tersebut belum termasuk kerugian fisik dan infrastruktur serta kerugian materi dan dampak ekonomi akibat aksi teror tersebut.
Fakta tersebut di atas menunjukkan betapa terorisme merupakan ancaman serius bagi kelangsungan peradaban manusia. Terorisme merupakan tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh umat beragama sementara mereka tidak menyadari hal tersebut. Mereka seolah pongah dengan apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari menjaga agama, padahal sejatinya adalah menimbulkan kerusakan nyata di muka bumi.
Allah telah menggambarkan perilaku kelompok seperti ini dalam surah Al-Baqarah ayat 11-12 yang artinya “ Jika dikatakan kepada mereka janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi, mereka justru mengatakan bahwa sesungguhnya kami adalah orang orang yang melakukan perbaikan, Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu telah melakukan kerusakan sedang mereka tidak sadar”.
Inilah sebenarnya gambaran relevan pelaku teror yang mengaku dirinya memperjuangkan agama, namun mereka tidak sadar menjadi aktor paling nyata sebagai perusak di muka bumi.
Ada Apa dengan Media Wahabi?
Kembali pada pertanyaan awal kenapa Saya pribadi tertarik dengan usulan permintaan penutupan media Wahabi? Di Indonesia, Wahabi yang mengklaim diri sebagai gerakan salafi bergerak begitu masif dan sistematis dalam beberapa dekade terakhir. Infiltrasi gerakan ini begitu sporadis mengisi ruang-ruang sosial masyarakat baik di majlis taklim, lembaga pendidikan, televisi hingga media sosial.
Tidak hanya bergerak secara sporadis, kelompok salafi-wahabi secara sistematis melakukan kaderisasi di level kultural dengan membangun sejumlah lembaga pendidikan seperti sekolah, madrasah dan pesantren di berbagai daerah. Sementara pada level struktural, kelompok ini mendistribusikan kader masuk ke ruang pemerintahan dan perusahan swasta.
Dalam prakteknya, kelompok Wahabi menggaungkan slogan “kembali kepada Alquran dan Sunnah” serta menolak dialog dalam berbagai isu-isu keagamaan kontemporer. Alih-alih berdiskusi dan musyawah, mereka gencar membid’ahkan dan menuduh praktek-praktek kearifan dakwah Islam yang telah lama menjadi bagian sendimentasi nilai Islam dalam budaya lokal.
Seorang yang berpaham wahabi tidak akan membaca buku-buku selain karangan ulamanya bahkan mengharamkan membaca buku lain yang berbeda dengan pandangannya khususnya filsafat Islam, ilmu kalam dan tasawuf, padahal ketiga materi ini merupakan bagian dari initisari ajaran Islam. Di dalam Alquran tidak sedikit ayat yang mengajak manusia agar berpikir (tafakkur) dan merenung (tadabbur) ayat-ayat Allah di persada bumi ini dan pada waktu yang sama berakhaluqul karimah sebagai pondasi utama dalam menjalakan Islam dan Iman.
Karakter wahabisme yang menolak berbagai bentuk ajaran Islam yang sangat prinsipil seperti tasawuf bukan saja mengakibatkan perpecahan di antara umat, tetapi yang lebih parah lagi mengakibatkan lahirnya kaum salafi jihadis. Kelompok Wahabi yang kerap menuduh dan membid’ahkan telah melahirkan kelompok yang gemar mengkafirkan dan memerangi mereka yang dianggap kafir.
Pada akhirnya, harus dikatakan bahwa wahabisme sebagai pemikiran, tindakan dan gerakan telah melahirkan praktek pemahaman dan gerakan keliru yang menginspirasi kelompok teroris global seperti Al-Qaeda, ISIS dan Jamaah Islaminyah yang rela membunuh dan melakukan kekerasan demi keyakinannya. Biang keladi munculnya gerakan teror adalah bersumber dari pemikiran dan ideologi wahabisme.
Rumusnya memang sederhana, tidak semua mereka yang memiliki pemikiran wahabi terjatuh dalam lingkaran salafi-jihadis dan melakukan aksi teror. Namun, semua pelaku teror yang berpaham salafi-jihadis pasti telah melalui tahapan dalam mengadaptasi pemikiran wahabi. Mereka yang berpikiran wahabi akan lebih mudah atau selangkah lagi terjerat dalam gerakan salafi-jihadis.
Atas dasar inilah, sebagai orang yang selama concern terhadap pemikiran radikal terorisme, Saya menilai himbauan Prof. Said Aqil sangat tepat dan logis sebagai ikhtiar memutus mata rantai terorisme di negeri ini. Menanggulangi aksi terorisme tidak semata pada hilir masalah yang berbentuk aksi, tetapi sejak awal harus membendung kanalisasi ideologi dan pemikiran yang mengarah pada tindakan brutal tersebut.
Semua ulama baik di Timur Tengah maupun di Asia meyakini bahwa salah satu faktor banyaknya anak muda terlibat dalam aksi terorisme adalah karena akibat penyebaran paham takfiri yang diusung oleh kelompok salafi jihadi yang bersumber dari wahabisme. Tentu, kita bisa belajar dari Negara Mesir, Malaysia dan Brunei yang secara tegas melarang penyebaran ajaran wahabisme. Siapapun yang mendakwahkan ajaran wahabi di negara-negara tersebut akan berhadapan dengan hukum.
Kebijakan negara yang melarang gerakan wahabisme tentu bukan tanpa alasan dan kajian mendalam. Analisa dan penelitian telah dilakukan oleh sejumlah akademisi yang menunjukkan bahwa betapa paham wahabi telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam melahirkan kader-kader terorisme atas nama agama. Oleh karena itu, pertemuan ulama internasional yang berpaham ahlu sunnah wal jamaah (aswaja) di Grozny beberapa tahun lalu tidak melibatkan ulama-ulama wahabi karena dianggap bukan Aswaja dan sangat ekstrem.
Di Indonesia sampai saat ini memang pemerintah belum secara tegas melarang dakwah wahabi yang sudah cukup kuat di berbagai sektor terutama media online. Namun, langkah baru telah diundangkan oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 5 tahun 2018 tentang Terorisme dan Perpres Nomor 7 tahun 2021 tentang rencana aksi nasional pencegahan eksremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada tindakan terorisme. Kedua landasan ini mestinya ditindaklanjuti dengan kajian tentang sumber-sumber ideologi yang dapat mengarah pada tindakan kekerasan.
Lalu, apakah paham Wahabi atau salafi jihadis merupakan salah bentuk pemahaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada tindakan terorisme? Jika iya, kenapa pemerintah tidak tegas untuk menutup sejak awal kanal penyebarannya. Sekali lagi memutus aksi terorisme harus pula memperhatikan sumber dan akar ideologis yang mendorong lahirnya aksi kekerasan tersebut.