Khilafah.id – Manuver kaum radikal dalam menunggangi isu agama untuk mempropagandakan ideologi kebencian dan kekerasan kian kemarin kian tidak bisa dianggap sepele. Dalam konteks Indonesia kita melihat bagaimana sepak-terjang kaum radikal dalam mengeksploitasi sentimen agama demi memecah-belah masyarakat sekaligus mengadu-domba rakyat dengan pemerintah.
Kaum radikal tidak hanya lihai berkamuflase, namun juga licik dalam memanfaatkan momentum. Manakala ada isu agama yang menjadi kontroversi publik, kaum radikal pasti hadir sebagai provokator yang menyulut pihak-pihak yang tengah terlibat kontroversi agar bertikai satu sama lain. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di sejumlah negara muslim di kawasan Timur Tengah yang dilanda Arab Spring.
Istilah Arab Spring merujuk pada fenomena revolusi politik yang melanda sejumlah negara di kawasan Timur Tengah pada medio 2011. Bangsa Arab sendiri menyebutnya sebagai al Tsaurah al Arabiyah alias perubahan revolusioner yang akan mengubah tatanan masyarakat dan pemerintah (Arab) menuju ideal. Sejumlah negara yang dilanda Arab Spring antara lain Tunisia, Yaman, Libya, Mesir dan Suriah.
Awalnya, gerakan revolusi Arab dimaksudkan untuk menggulingkan rezim diktator dan mewujudkan tatanan sosial politik yang demokratis. Namun, apa lacur. Hampir satu dekade Revolusi Musim Semi Arab bergulir, agenda demokratisasi itu belum terwujud. Sebaliknya, negara-negara yang dilanda Arab Spring itu justru terjebak dalam kecamuk konflik sektarianisme.
Salah satu faktornya ialah revolusi itu “dibajak” di tengah jalan oleh kaum radikal-ekstremis yang memanfaatkan kekacauan politik dengan mengadu-domba umat dan memprovokasinya untuk melawan pemerintahan yang sah. Hal itu kian diperparah manakala agama (Islam) dipakai sebagai alat untuk menjustifikasi ideologi kebencian dan kekerasan yang mereka sebarkan.
Apa yang terjadi, revolusi yang tadinya mengagendakan demokratisasi justru melahirkan rantai kekerasan massal berbalut isu sektarianisme agama. Antar-kelompok saling bunuh atas nama klaim kebenaran agamanya masing-masing. Ironisnya lagi, praktik yang demikian ini berusaha diimpor ke Indonesia oleh sejumlah kelompok radikal.
Strateginya pun mirip, mulai dari penggunaan isu-isu agama untuk memprovokasi umat. Hingga upaya memecah belah kesatuan umat dengan cara menunggangi isu keagamaan. Puncaknya ialah poltisisasi agama, yakni menjadikan Islam sebagai senjata melancarkan kudeta pada pemerintahan yang sah.
Menangkal Eksploitasi Agama
Kita tentu tidak ingin mengikuti jejak dan nasib buruk Arab Spring yang lebih banyak menyisakan residu persoalan. Maka, sedini mungkin kita harus menangkal setiap upaya mengeksploitasi agama demi kepentingan radikalisme dan terorisme. Mula pertama yang harus kita lakukan ialah memberantas hoaks atau berita palsu bernuansa agama, terutama yang beredar liar di media sosial.
Selama ini, hoaks bernuansa agama banyak dipakai oleh kaum radikal untuk membangkitkan sentimen kecurigaan dan kebencian umat Islam terhadap umat agama lain merupakan kelompok yang berbeda aliran. Beredar-luasnya hoaks keagamaan telah menjerumuskan umat ke dalam situasi ketidakpastian yang membuatnya mudah diadu-domba.
Selanjutnya, selain menangkal hoaks keagamaan, kita juga perlu memberangus provokasi yang dilandasi oleh sentimen keagamaan. Provokasi keagamaan itu banyak mewujud ke dalam upaya membenturkan umat dengan membesar-besarkan perbedaan agama, mazhab, aliran fiqih dan hal-hal simbolistis lainnya.
Strategi menebar hoaks dan provokasi bernuansa agama oleh kalangan radikal telah membuat Arab Spring berubah menjadi ajang konflik sosial berbalut isu agama. Ahmad Sahide dalam buku The Arab Spring; Tantangan dan Harapan Demokratisasi menyebutkan bahwa arah gerakan Arab Spring berbelok pasca kaum radikal mengambil alih kendali gerakan dan mengadu-domba umat Islam demi kepentingan politik praktis mereka sendiri.
Narasi adu domba, provokasi dan hoaks dengan mengeksploitasi isu agama inilah yang harus kita lawan bersama. Hoaks kiranya bisa kita lawan dengan mengarusutamakan corak berpikir kritis dalam menyaring informasi. Berpikir kritis akan membentengi umat dari paparan hoaks keagamaan yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
Provokasi dan adu-domba bisa dicegah dengan menguatkan jejaring relasi sosial-keagamaan antar-kelompok yang berbeda. Keragaman budaya dan agama yang ada di masyarakat harus dikelola dengan perspektif demokratis dan egaliter. Semua kelompok diberi porsi yang sama dalam ruang publik yang mengedepankan inklusivisme dan pluralisme.
Dengan begitu, kita bisa mencegah sedini mungkin potensi perpecahan dan ancaman kekerasan massal yang didesain oleh kaum radikal-ekstremis. Dari fenomena Arab Spring di Timur Tengah kita belajar bahwa eksploitasi agama hanya membawa mudarat dan menimbulkan efek destruktif yang luar biasa.
Desi Ratriyanti, Alumnus Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.