“Justru konsep KG yang mereka usung malah memberikan beban lebih berat bagi perempuan dan sering kali justru yang dikorbankan adalah peran utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah suaminya. Di satu sisi, perempuan didorong dan diseret untuk bekerja, dengan asumsi bahwa perempuan yang bekerja dan menghasilkan sesuatu secara materi akan menjadikan perempuan diperhitungkan dan dinilai mulia. Malangnya, perempuan dipaksa pula bersaing dengan laki-laki di dunia kerja yang keras. Di sisi lain, perempuan dipaksa meninggalkan anak-anaknya di rumah bersama pembantu, baby sitter, atau di tempat penitipan anak. Ketika yang terjadi munculnya anak-anak “bermasalah”, siapa yang akhirnya dipersalahkan? Jelas ibunya lagi, perempuan lagi. Akhirnya, sudah jatuh, tertimpa tangga.”
Khilafah.id – Kalimat di atas merupakan penggalan isi sebuah artikel yang ditulis oleh Najmah Saiidah yang dimuat dalam website Muslimahnews.id. Seperti kita ketahui bahwa, website tersebut merupakan salah satu platform yang ditulis oleh para aktivis khilafah untuk menyebarkan propaganda, memuat narasi ketidaksetujuan serta mengkampanyekan negara Islam. Pada artikel tersebut, penulis menjelaskan ketidaksetujuan gagasan tentang kehadiran perempuan dalam ranah politik karena ideologi kesetaraan gender yang dimiliki.
Ketidaksetujuan yang disuarakan bukan sekedar asumsi belaka. Mereka justru menyebut bahwa ideologi kesetaraan gender yang diusung oleh para ulama perempuan, khususnya bunyai-bunyai dari kalangan kongres ulama perempuan Indonesia (KUPI) adalah ideologi yang harus ditentang karena tidak sejalan dengan Islam. Sudah pasti, muaranya adalah penegakan hukum Islam yang berisi ajaran perempuan sudah dimuliakan oleh aturan Islam.
Pertanyaan yang muncul adalah, aturan Islam mana yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berupaya memberikan kebermanfaatan, menegakkan keadilan, salah satunya dengan berpolitik? Bagi para aktivis khilafah pertanyaan tersebut tidaklah penting. Sebab mereka sudah fobia dengan ideologi yang berasal dari Barat, seperti halnya kesetaraan gender.
Meskipun demikian, narasi semacam ini bukanlah yang pertama dikampanyekan oleh para aktivis khilafah. Pada pelaksanaan KUPI II misalnya. Beragam narasi propaganda untuk melawan upaya para ulama perempuan yang sedang memberikan wadah penyelesaian terhadap permasalahan perempuan, mendapatkan respon penyerangan dari mereka. Mereka melakukan kampanye hitam, menyebarkan kebencian, di mana upaya mereka justru sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang ramah.
Sikap Kritis Perempuan
Selayaknya kita memahami persoalan diri sendiri. Betty Friedan pernah mengungkapkan bahwa, perempuan tanpa dasar bahwa dirinya ditindas. Sehingga dalam konteks ini, perempuan benar-benar meyakini bahwa apa yang dipikirnya sebagai kodrat, ternyata bukan kodrat. Urusan domestik, misalnya. Masyarakat membentuk budaya yang memberikan kewajiban bagi perempuan mengurus domestik. Sehingga bagi perempuan yang memiliki tanggung jawab sosial khususnya di publik, memiliki beban ganda dan berkewajiban untuk menyelesaikan urusan domestik.
Dengan kata lain, sepintar apapun perempuan, jika dalam urusan domestik tidak mahir, maka dia tidak dianggap sebagai manusia yang sempurna. Potret perbedaan yang semacam ini, mengakibatkan perempuan kerap kai mengalami diskriminasi, stigmatisasi karena jenis kelaminnya sebagai perempuan. Dalam ranah kepemimpinan misalnya, kemampuan perempuan tidak diperhitungkan, atau kerapkali terpinggirkan karena stigma yang muncul sosok perempuan dalam masyarakat adalah tidak memiliki kemampuan untuk memimpin ataupun menjadi sosok yang dipimpin.
Dalam konteks ini, perempuan menjadi makhluk pasif yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bergerak dan memiliki kemampuan memimpin untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas. Padahal, secara kemampuan, tidak ada pembeda jenis kelamin seseorang. Baik laki-laki ataupun perempuan, seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin, dengan kapasitas yang dimiliki.
Kehadiran perempuan menjadi pemimpin, utamaya dalam pemerintahan, diharapkan akan mampu menciptakan kebijakan yang ramah terhadap perempuan berdasarkan pengalaman perempuan yang dialami.
Semua perempuan pasti menginginkan, akses publik yang ramah terhadap perempuan. Ruang kerja yang ramah terhadap ibu menyusui, perempuan hamil dan memiliki anak. Impian tersebut akan tercapai salah satunya dengan kebijakan kerja yang harus menciptakan ruang aman bagi perempuan.
Disinilah urgensi ideologi kesetaraan gender yang perlu dimiliki oleh semua orang, khususnya perempuan. Sehingga secara aplikatif, akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan justru memenjarakan perempuan. Pemahaman ini saya kira akan diterima oleh kita sebagai perempuan yang memiliki pengalaman biologis sama seperti menstruasi, hamil dan melahirkan. Kita akan berupaya keras untuk menciptakan ruang publik yang aman bagi semua perempuan.
Rahmad Hidayat Ajru Iman, Mahasiswa.