Khilafah.id – Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sudah berlangsung setengan perjalanan dari periode kepemimipinan. Sudah terdapat banyak produk hukum (regeling) dan sikap kebijakan (beschikking) yang mengucur selama itu pula. Carut-marut legislasi dan demokrasi pun bertebaran. Bahkan, tidak sedikit sikap pemerintah itu yang didapati paradoksal dalam penerapannya dan mendapat respons kritis dari publik.
Ada banyak evaluasi terhadap kebijakan pemerintah yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua tahun itu. Kebijakan pemerintah acap kali menabrak spirit konstitusi dan demokrasi, seperti carut-marut produk legislasi rancangan undang-undang (RUU) KUHP, RUU Cipta Kerja (omnibus law), RUU Pemasyarakatan, RUU Perubahan KPK dipandang membatasi ruang gerak KPK itu sendiri dalam mengentaskan ihwal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga yang terbaru adalah RUU Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah mendapat gugatan/penolakan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kalau kita runut permasalahannya, beragam proyek legislasi itu mengabaikan prosedur formil rancangan perundang-undangan, yang idealnya mebuka ruang parisipatif dan aspiratif publik selebar-lebarnya, baik dari perencanaan, pembahasan, hingga pengesahan (Roberth A Dahl, 2001). Begitu pula secara isi materil, banyak sekali didapati bahasan pasal yang menuai paradoks karena diduga merugikan kepentingan orang banyak.
Secara konsepsional, kita melihat bahwa kampanye demokrasi dan spirit reformasi masif disuarakan dalam ruang-ruang publik. Demokrasi dan sistem konstitusional menjadi model ideal sebagai pijakan konsep bernegara dewasa ini. Tapi, kampanye itu juga melahirkan sikap kebijakan yang tidak sejalan dengan nafas etik demokrasi dan konstitusi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana demokrasi surplus disuarakan, tapi defisit secara implementatif.
Penulis berusaha menawarkan solusi besar sebagai sistem restoratif (restorative system) politik hukum dalam dinamika demokrasi konstitusional. Hal itu bisa diwujudkan dalam usaha bersama oleh para pihak berkepentingan (stakeholder), baik usaha itu dilakukan dari luar (ektern) maupun dari dalam (intern) pemerintahan itu sendiri.
Secara eksternal, penulis menginisiasi adanya restrukturisasi dan reformasi partai politik sebagai kendaraan politik dalam memperoleh jabatan publik. Inisiasi itu dengan mengagendakan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik untuk diarahkan betul selaras dengan kepentingan bersama. AD/ART adalah konstitusi tertinggi dalam partai politik. Oleh karenanya, wajah partai sangat ditentukan bagaimana dinamika konstitusinya, Selanjutnya, membatasi kepemimpinan ketua partai politik sebagai siklus kepemimpinan yang sejalan dengan spirit konstitusi, yakni membatasi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang (Ferdian Andi, 47: 2021).
Sejauh ini, partai politik memiliki kekuatan kontrol dan relasi kuasa dengan delegasi kader-kader partai yang menduduki kursi parlemen. Tentu, bayang-bayang partai politik dalam agenda legislasi di parlemen sedikit banyak menjadi tuntutan doktrinal yang dapat mereduksi kesucian dan netralitas parlemen dalam merumuskan kebijakan berasaskan kerakyatan (public service), kebijaksanaan (sapinea), dan proporsionalitas (proportionality). Maka, merestorasi partai politik adalah keharusan dalam menata ulang bernegara kita.
Secara internal, pemerintah eksekutif dituntut lebih runut dalam menyikapi relasi struktural (pemerintah legislatif) dan koordinasi hierarki kekuasaan (otonomi daerah) dalam mengagendakan kebijakan politik dan keputusan hukum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Hal itu sebagai pedoman administratif kekuasaan bagaimana penerapan kontrol-sinambung (check and balances) bisa diterapkan sejalan dengan nafas reformasi modern, yakni konsep metamorfosa trias politica.
Di samping itu, momok digitalisasi dan kondisi pandemi (new normal) yang terus membayang-bayangi. Kondisi itu menuntut adanya perubahan disruptif dalam semua lini, termasuk dalam pengelolaan negara. Pemerintah dalam konteks penyesuaian dengan kampanye masif digital 4.0 dituntut responsif dan adaptif dengan perubahan yang ada. Sejauh ini, penggunaan teknologi cukup baik oleh pemerintah dalam beberapa hal. Tapi ruang aspiratif bersama yang berbasis digital dengan layanan yang cepat dan transparan tidak kunjung membaik.
Dalam kondisi keterbatasan sebagai imbas dari pandemi, misalnya, di mana pemerintah dihadapkan pada kondisi dilematis, yaitu menyelesaikan ihwal pandemi atau menyelamatkan ketercapaian ekonomi. Imbasnya, legislasi terus mengucur hanya dalam hitungan hari. Secara formil, ada banyak sekali peraturan yang menabrak regulasi formil terkait pengesahan perundang-undangan. Tidak terkecuali secara materil di mana substansi yang disahkan mengalami disharmoni antar regulasi. Seperti tarik ulur status kekuatan PP No. 21 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Tidak etis jika menyongsong tatanan baru (new normal) tapi mengabaikan prinsip dasar demokrasi (abnormal).
Melihat realitas politik hukum itu, ruang publik perlu dibangun ulang agar dialektika demokrasi berjalan dengan baik, terlebih dalam mengevaluasi kebijakan Jokowi-Ma’ruf dalam rentang tahun 2019-2021. Ruang publik itu adalah bentuk ikhtiar dalam mendialogkan negara yang direpresentasikan oleh pemerintah dan warga negara sebagai pemegang kedaulatan negara. Penulis melihat dalam fenomena kebernegaraan kita, terdapat suara aspiratif yang tertahan dan wacana teks bernegara yang tersumbat akibat dinamika kepentingan elit politik.
Di sinilah urgensi dialog negara dan warga negara dibutuhkan. Pemerintah harus benar-benar memastikan segala langkah kebijkan harus mengikutsertakan partisipasi publik dari hulu ke hilir. Roberth A Dahl (2001) mengatakan bahwa intensifikasi keterblibatan publik dalam perumusan kebjakan menjadi salah satu kriteria dalam berdemokrasi.
Barang tentu dengan adanya dialog publik yang terus dibangun kontrak sosial benegara bisa terwujud. Kontrak sosial itu yaitu, pemerintah (kratos) bisa mempertanggungjawabkan legitimasi rakyat, serta kepentingan dan hak rakyat (demos) bisa terpenuhi dengan cara mendelegasikan keterwakilan di parlemen.
A. Fahrur Rozi, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.