Khilafah.id – Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ratusan suku dan bahasa, serta berbagai agama dan kepercayaan. Meskipun demikian, Indonesia tetap bersatu padu. Melihat hal tersebut, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Jawa Barat Asep Salahuddin mengatakan hal tersebut selesai dengan Pancasila.
Saking kagumnya, Asep menyebut Pancasila sebagai mukjizat sosial. “Ini mungkin mukjizat sosial kalau saya melihat konteks Pancasila dalam langkah kebangsaan kita di tengah masyarakat yang het erogen, masyarakat yang majemuk, masyarakat yang tidak tunggal,” katanya saat mengisi dialog kebangsaan dan bedah buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah karya Muhammad Sofi Mubarok, suatu hari.
Wakil Rektor IAILM Suryalaya itu juga menjelaskan bahwa Pancasila merupakan jalan tengah antara politik khilafah dan liberal. “Cara berkelit pendiri bangsa dari godaan negara sekuler dan negara agama,” ujarnya. Asep hadir sebagai pembanding. Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia, IPNU dan IPPNU Jawa Barat, PMII, dan eks-HTI.
**
Pancasila bukan sekadar rangkaian lima sila yang tercantum dalam dokumen negara, melainkan sebuah mukjizat sosial yang telah membingkai keberagaman Indonesia. Dalam realitas bangsa yang dihuni oleh lebih dari 270 juta jiwa, dengan beragam suku, agama, bahasa, dan budaya, Pancasila adalah jawaban visioner dari para pendiri bangsa untuk menyatukan perbedaan tanpa memusnahkan identitas. Mukjizatnya terletak pada kemampuannya menjadi fondasi ideologis yang fleksibel, namun tetap kokoh dalam menjaga harmoni sosial dan politik.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, kesadaran akan spirit Pancasila tidak selalu berada pada titik puncak. Tantangan demi tantangan, mulai dari pemberontakan ideologi transnasional, tekanan globalisasi, hingga polarisasi politik dalam negeri, kerap menguji keberadaan Pancasila.
Meski demikian, Pancasila tetap berdiri tegak sebagai kompas moral bangsa, memandu Indonesia melewati krisis demi krisis. Tapi, apakah kita benar-benar menyadari dan menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila?
Spirit Pancasila terletak pada kemampuannya untuk mengarahkan masyarakat ke arah persatuan yang didasarkan pada keadilan, kemanusiaan, dan musyawarah. Ia tidak hanya menjadi jargon politik, tetapi juga pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya soal keyakinan agama, tetapi juga penghormatan terhadap pluralitas keimanan. Di negara lain, keberagaman keyakinan sering kali menjadi pemicu konflik, tetapi di Indonesia, sila ini menjadi jangkar moral yang mendorong toleransi.
Pancasila juga mengajarkan pentingnya kesadaran kolektif tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam era modern ini, ketika dehumanisasi sering terjadi melalui ujaran kebencian, diskriminasi, dan kekerasan, sila kedua Pancasila mengingatkan kita bahwa kemajuan bangsa tidak berarti apa-apa jika tidak didasarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia. Pancasila menuntut setiap warga negara untuk melihat orang lain sebagai sesama, bukan musuh, sekalipun berbeda keyakinan atau pandangan politik.
Namun, spirit Pancasila tidak hanya berhenti di sana. Ia mendorong keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercermin dalam sila kelima. Ini adalah tantangan yang terus relevan hingga kini.
Ketimpangan ekonomi, akses yang tidak merata terhadap pendidikan dan kesehatan, serta eksploitasi sumber daya alam adalah masalah yang membutuhkan implementasi nyata dari spirit Pancasila. Ketika sila ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, Pancasila menjadi mukjizat sosial yang tidak hanya menjaga persatuan, tetapi juga mengangkat taraf hidup masyarakat.
Kesadaran akan Pancasila sebagai mukjizat sosial harus terus diperkuat melalui pendidikan, kebijakan publik, dan praktik keseharian. Pendidikan Pancasila harus lebih dari sekadar hafalan teori.
Ia harus menjadi pengalaman nyata bagi setiap individu, mengakar dalam nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini. Kebijakan publik, di sisi lain, harus berpihak pada keadilan sosial dan kemanusiaan, sehingga setiap keputusan yang diambil pemerintah mencerminkan semangat Pancasila.
Sayangnya, ancaman terhadap Pancasila tidak pernah benar-benar hilang. Kelompok-kelompok yang mendorong ideologi transnasional seperti khilafah, kapitalisme ekstrem, atau sekularisme radikal terus mencoba merongrong fondasi kebangsaan Indonesia.
Mereka sering kali memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap isu-isu ekonomi atau sosial untuk menyebarkan narasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mempertahankan Pancasila sebagai pedoman bersama.
Meneguhkan kesadaran Pancasila juga berarti membangun spirit kolektif untuk menolak politik identitas yang memecah belah. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana polarisasi politik telah menciptakan jurang yang lebar antarwarga negara.
Politik kebencian berbasis agama atau suku menjadi alat manipulasi, padahal itu bertentangan dengan semangat Pancasila. Dalam menghadapi ini, kita harus kembali pada spirit musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana tercermin dalam sila keempat.
Pancasila adalah mukjizat sosial karena ia mampu menghubungkan berbagai elemen bangsa yang tampak berbeda menjadi satu kesatuan harmoni. Namun, mukjizat ini tidak akan bertahan tanpa usaha kolektif untuk terus menghidupkan spiritnya dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab setiap individu warga negara. Ketika setiap dari kita berkomitmen untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila, mukjizat ini tidak hanya akan terus hidup, tetapi juga menjadi kekuatan yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.
Kini adalah saatnya kita merenungkan, apakah kita sudah benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup? Apakah kita telah berkontribusi dalam memperkuat spirit Pancasila di tengah masyarakat? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan masa depan bangsa.
Karena pada akhirnya, Pancasila adalah harta yang tidak hanya diwariskan, tetapi juga harus terus diperjuangkan sebagai mukjizat sosial yang menjaga keberlanjutan Indonesia.
Wasil Junaid Al-Batawi, Pengamat politik dan sosial.