Khilafah.id – Indonesia merupakan negara plural yang terdiri dari beragam agama di dalamnya. Hidup berdampingan secara rukun sudah sepatutnya dilakukan. Namun, konflik antar umat beragama nyatanya tetap tidak bisa dihindari. Salah satunya konflik Poso yang pernah terjadi pada tahun 2000 dengan melibatkan dua agama, yakni Islam dan Kristen.
Diketahui sebelumnya, Poso adalah kota yang didiami oleh mayoritas beragama Islam. Tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak pendatang yang beragama Kristen dan tinggal di Poso. Konflik berawal dari adanya perebutan jabatan bupati yang akhirnya memicu terjadinya bentrokan antara kelompok Islam dan Kristen.
Konflik yang terjadi pun terus berlanjut dengan berbagai aksi kerusuhan yang merugikan banyak pihak. Lalu pada tahun 2002, telah ditandatangani Deklarasi Malino di antara kedua belah pihak yang diinisiasikan oleh Jusuf Kalla. Dengan penandatanganan itulah, kasus-kasus kriminal yang kerap terjadi, pada tahun sesudahnya mulai mengalami penurunan. Lalu, bagaimana di tengah keragaman ini kita bisa saling menghormati dan menghargai dengan umat agama lain?
Menghormati dan Menghargai Sesama Agama
Sesungguhnya di dalam memeluk agama adalah hak dari setiap orang. Kita tidak berhak menghakimi bahwa agama ini salah dan agama ini benar. Kita juga tidak boleh menunjuk kamu kafir dan kamu tidak kafir. Sebagaimana terdapat di dalam Al-Quran surat Yunus ayat 99 yang artinya:
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”
Di negeri ini kita memiliki kebebasan untuk menganut agama apa saja. Untuk mencapai kerukunan di antaranya, tentulah harus ditanamkan sikap toleransi. Dengan begitu, kehidupan yang damai di tengah keragaman pun akan tercipta.
Toleransi di Zaman Nabi
Toleransi bukanlah istilah baru di abad ke-21 ini. Sejak zaman Rasulullah saw, toleransi sudah dicontohkan oleh beliau. Generasi-generasi selanjutnya, sudah sepantasnya untuk mengaplikasikan apa yang sudah dicontohkan oleh beliau. Perjalanan dakwah Nabi Muhammad saw bukanlah perjalanan yang menyenangkan. Beliau dikelilingi dengan banyak orang yang membenci dan memusuhi beliau.
Beliau kerap berada dalam momen-momen yang membahayakan. Namun, beliau tidak pernah sekali pun untuk membalas kejahatan dari musuh-musuhnya tersebut. Hal ini dapat kita ketahui dari peristiwa perang antara umat Islam dengan orang-orang kafir harbi. Pasukan Nabi Muhammad saw berhasil untuk menawan Tsumamah ketika berada di Najd.
Tsumamah sendiri adalah seorang pembesar Arab Jahiliyah, Bani Hanifah dari Yamamah. Nabi saw memerintahkan kepada para sahabatnya untuk bisa memperlakukan Tsumamah secara baik. Setiap harinya Tsumamah diberikan makan yang layak, enak, dan bergizi. Hal tersebut dilakukan secara rutin. Ketika Nabi saw menemui Tsumamah, Tsumamah hanya bisa berpasrah diri. Bahkan Tsumamah juga sampai menawarkan tebusan dengan jumlah berapa pun sesuai keinginan Nabi saw.
Meneladani Toleransi dalam Diri Rasulullah
Sikap baik inilah yang wajib kita contoh dari sosok Nabi saw, di mana beliau tidak berniat sedikit pun untuk membunuh Tsumamah. Beliau tidak menaruh dendam pada orang yang membencinya tersebut. Namun di sinilah hidayah Allah SWT turun kepada diri seorang Tsumamah. Karena kebaikan dan kelembutan hati Nabi saw, Tsumamah pun menampakkan rasa cintanya pada beliau.
Sikap yang dicontohkan oleh Nabi saw inilah yang semakin langka untuk dijumpai pada saat ini. Tidak sedikit orang yang mudah terpancing emosi ketika ada orang lain yang memaki. Emosi dan dendam menjadi dominan menutup hati. Bahkan untuk membuka pintu maaf pun terasa sulit sekali. Dan tidak jarang, alergi kepada umat agama lain masih cukup dirasakan karena berpandangan bahwa agamanya yang paling benar.
Oleh karena itu, sikap toleransi ini menjadi sangat penting untuk ditanamkan sejak dini dan dikenalkan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Dengan begitu, antara agama yang satu dengan agama yang lain bisa saling menerima dengan tangan terbuka tanpa harus merasa risih untuk saling berteman dan bersaudara.
Melalui pembiasaan sikap toleransi, keragaman yang selama ini dibanggakan oleh bangsa ini pun bisa benar-benar diterima dan menjadi percontohan yang baik. Bukan sebatas wacana yang terus digaungkan. Tetapi dapat dibuktikan dengan realita bahwa masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan meski berbeda-beda.
Widya Resti Oktaviana, Penulis tentang keislaman.