Khilafah.id – Draft revisi UU Pemilu yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2021 salah satu di antaranya melarang anggota eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ikut berpartisipasi dalam pemilu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif, baik di pusat maupun di daerah. Kabar ini cukup membanggakan bagi bangsa Indonesia yang pasti akan bebas dari pengaruh-pengaruh gerakan radikal ekstrim yang selama ini dikampanyekan eks HTI.
Selain karena tidak memiliki Badan Hukum yang sah, organisasi transnasional itu juga berideologi menolak pemilu itu sendiri. Tapi parahnya, pimpinan eks HTI justru berkilah. Dilansir CNN Indonesia, Ismail Yusanto eks Juru Bicara HTI, melontarkan bualan bahwa HTI tidak dibubarkan, sehingga aturan UU yang melarang anggota kelompoknya dalam pusaran perpolitikan di Indonesia amat tidak masuk akal.
Hizbut Tahrir Indonesia
HTI adalah organisasi Islam transnasional yang mengusung khilafah Islamiyyah, sistem pemerintahan Islam universal yang tidak boleh dibatasi oleh negara bangsa. HTI mencita-citakan berdirinya khilafah di Indonesia dengan membuat provokasi bahwa Pancasila, NKRI dan UUD 1945 bertentangan dengan Islam. Organisasi yang kini dipimpin oleh Ali Abu Rasytah ini menganggap model negara bangsa yang dianut oleh negara-negara dunia merupakan produk kufur yang bertentangan dengan Islam yang mengharuskan persatuan umat sedunia.
Organisasi Islam yang telah dibubarkan pemerintah pada 2017 lalu itu juga meyakini umat Islam saat ini (yang tidak meyakini khilafah) telah tersesat, karena enggan mau kembali kepada kehidupan yang sejalan dengan syariah Islam.
Pemikiran Umum Eks HTI
Secara umum, pokok pemikiran HTI adalah ingin menegakkan khilafah Islamiyyah menggantikan negara bangsa Indonesia. Demikian karena menurut HTI sejalan dengan dua dalil. Pertama, dalil nash Al-Qur’an, yakni QS. Al-Baqarah Ayat 30 yang diyakini sebagai kewajiban bagi umat Islam mendirikan khilafah. Dan kedua, dalil historis adanya kekhilafahan setelah wafatnya Rasulullah. Dengan dua alasan ini, HTI menolak bentuk pemerintahan apapun selain khilafah, baik demokrasi, kerajaan, kesultanan, dan lainnya. Tetapi pemiliknya ini cacat.
Sebab menurut Quraish Shihab, QS. Al-Baqarah Ayat 30 bukan berbicara soal sistem kepemerintahan (khilafah atau lainnya), tetapi bicara person, yaitu Khalifah Adam As. Dalil historis yang menjadi klaim HTI pun perlu ditilik ulang, sebab masa kekhalifahan sebagaimana menurut Al-Mawardhi, hanya akan berlangsung 30 tahun sejak wafatnya Nabi. Setelahnya model pemerintahan berbeda-beda tergantung konteksnya.
Eks HTI Menolak NKRI dan Bahayanya
Lalu, pantaskah eks HTI ditolak dari pusaran perpolitikan Indonesia dengan diterbitkannya UU Pemilu tahun 2021 itu? Jawabannya sangat gamblang: harus ditolak secara permanen. Karena idelogi khilafah yang diusung oleh HTI bertentangan dengan konsep NKRI yang berbasis negara bangsa, sementara khilafah Islamiyyah merupakan sistem pemerintahan global. Jika HTI dibiarkan mengikuti kontestasi politik, bukan hal yang diragukan jika mereka akan membubarkan NKRI. Nauzubillah.
Tidak hanya bertentangan secara konseptual, secara praktiknya, konsepsi khilafah Islamiyyah ala HTI pun tidak cocok dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang memberikan kesetaraan kepada semua manusia tanpa pandang keyakinan dan agamanya. Sementara HTI mengharamkan non Muslim menjadi bagian dari pemerintah. Maka menolak Eks HTI berada dalam pusaran politik Indonesia adalah keharusan mutlak.
Intolerannya Eks HTI
Sejarah telah mencatat bahwa, Hizbut Tahrir (HT) telah ditolak di berbagai negara baik di Timur Tengah maupun di Eropa. Beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki, semua telah malarang HT. Di negara Eropa seperti Rusia dan Jerman HT juga telah dilarang. Bahkan di Rusia, Mahkamah Agung memasukkan Hizbut Tahrir dalam 15 organisasi teroris pada 2000.
Sehingga HT dilarang melakukan kegiatan apapun. Di negara-negara lain yang tidak perlu disebut di sini pun telah membubarkan HT. Dibubarkannya HT tidak lain karena telah banyak melakukan kegaduhan, bahkan upaya kudeta. Tak hanya kelompok HT di luar negeri, di Indonesia pun anggota HTI telah terlibat intoleransi dan radikalisme.
Dina Y Sulaiman pengamat Timur Tengah menyebut, sebagaimana dirilis Geotimes, melangsungkan kekerasan dengan menyeru Muslim Libya menumbangkan rezim diktator Qadafi, yang kenyataannya rezim itu ditumbangkan oleh NATO, yang prosesnya diawali oleh kekerasan Al-Qaida.
Buta Mata HTI di Tengah Keragaman Indonesia
Indonesia adalah negara yang dihuni oleh keragaman, baik keragaman suku, ras, keyakinan, bahkan agama. Hanya dengan payung Pancasila Indonesia akan selalu tegak di atas bumi. Pancasila terlah terbukti sakti memayungi seluruh elemen bangsa Indonesia dengan multikulturalismenya. Mengapa Indonesia demikian? Karena meneladani kandungan ayat Al-Qur’an yakni QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk berbangsa-bangsa (bukan satu bangsa atau satu agama).
Kenyataan keragaman Indonesia pun sejalan dengan QS. Al-Maidah ayat 48 bahwa Allah tidak berkehendak menjadikan manusia satu jenis saja. Namun HTI menentang semua itu, HTI menolak manusia terdiri dari keragaman dan harus diberi hak yang setara. HTI ingin hanya orang Islam yang memiliki hak banyak, sementara non Islam harus dikucilkan, tidak boleh berperan.
Menolak Eks HTI di Pusaran Pilpres
Pemikiran maupun tindakan HT/HTI amat berbahaya bagi eksistensi bangsa. Tidak ikut perpolitikan di Indonesia pun sudah mesti dibubarkan karena membahayakan eksistensi Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pedoman bangsa. Apalagi bila diberi akses ikut berpartisipasi dalam pusaran politik negeri ini, bisa-bisa negara ini akan bubar, digerogoti ideologi transnasional HT.
Langkah pemerintah mengeluarkan UU Pilraes 2021 merupakan langkah yang On The Track, sejalan dengan tuntunan agama yang meniscayakan keragaman dan sejalur dengan eksistensi bangsa Indonesia yang hanya akan tetap tegak bila dipimpin oleh orang yang tidak mendukung khilafah. Bila perlu, bukan hanya hak politik eks HTI yang mesti ditendang, tetapi juga seluruh pergerakan eks HTI di manapun baik yang eksplisit maupun implisit harus ditolak oleh semua elemen bangsa. Dengan begitu, Indonesia akan tetap jaya dan bebas dari rongrongan eks HTI yang membahayakan.
Lufaefi, Alumni PTIQ Jakarta.