Khilafah.id – Beberapa waktu belakangan ini, media sosial cukup heboh dengan kematian salah seorang santri. Santri yang bernama Bintang Balqis Maulana (14) tewas dianiaya seniornya di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyah Kediri. Kasus ini menambah catatan hitam kekerasan fisik di pesantren yang berujung kematian.
Menanggapi terjadinya kasus ini, kita semua turut prihatin karena dari kejadian ini, pasti sebagian masyarakat akan merasa ketakutan untuk memasukkan anak ke pesantren. Namun, ada yang beda dari respon para pakar, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap kasus ini. Mereka adalah para aktivis yang justru menganggap bahwa terjadinya kekerasan di pesantren lantaran penerapan sekularisme. Kok bisa? Sangat tidak masuk akal.
Upaya yang Perlu Diperbaiki!
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh kita, agar kejadian yang sama tidak terulang. Masalah ini bisa menjadi masalah struktural apabila kita tidak segera memperbaiki. Ada 3 peran lingkungan yang bisa dilihat dalam hal ini:
Pertama, pendidikan keluarga. Tidak bisa dipungkiri bahwa, keluarga adalah pendidikan pertama bagi seorang anak. Ketika anak sudah bermasalah sejak dalam keluarga, kemudian dimasukkan di pendidikan pesantren dengan tujuan agar bisa baik dan berubah, maka ini bukanlah sebuah solusi. Bisa jadi, seorang anak yang sudah bermasalah dalam keluarga, menjadi pelaku bully, bahkan pembunuh di pesantren. Ini yang harus disadari oleh orang tua sebelum memasukkan anak ke pesantren.
Karakter, sikap dan kepribadian anak, serta keinginan belajar di pesantren harus diperhatikan. Ambisi orang tua untuk memasukkan anak pada pendidikan pesantren, tidak boleh dipaksakan kepada seorang anak. Orang tua perlu tegas dan perlu berkompromi terhadap keinginan dan minat anak dalam mengenyam pendidikan. Maka dari itu, sebelum memasukkan anak ke pesantren, perlu dikomunikasikan berulang-ulang dengan anak agar tidak menjadi pelaku kekerasan di pesantren.
Kedua, pendidikan pesantren. Pihak pesantren perlu memperhatikan SDM yang tersedia untuk pesantren. Seperti yang kita ketahui bahwa, pondok pesantren berbeda dengan pendidikan yang lain, di mana anak-anak belajar dan bertempat tinggal di pesantren selama 24 jam. Mereka jauh dari orang tua dan benar-benar hidup mandiri di tempat tersebut.
Maka pengajar dan orang yang bisa mengontrol anak-anak harus berbanding lurus dengan jumlah santri yang ada di dalamnya. Tidak boleh timpang. Misalnya 1 guru mengajar 70 santri. Ini sama sekali tidak ideal karena guru tidak bisa mengontrol masing-masing santri yang belajar.
Biasanya di pesantren terdapat ribuan santri yang tinggal di pondok. Maka SDM seperti tenaga pengajar untuk asrama, tim keamanan di tiap kamar, serta wali asuh di pesantren, harus banyak. Upaya ini akan berpengaruh terhadap kontrol yang diterapkan di pesantren. Jika SDM yang tersedia di pesantren cukup banyak, maka bisa mengelola masalah yang ada antar santri. Dengan begitu, kontrol pesantren terhadap para santri untuk mencegah bully, kekerasan sesama santri, tidak akan terjadi.
Pengasuh pondok pesantren harus lebih aware dengan masalah kekerasan dalam pesantren. Kekerasan fisik yang dilakukan antarsantri, bully, tidak boleh terjadi di lembaga pendidikan agama. Hal ini juga dilakukan agar masyarakat tetap mempercayakan pesantren sebagai lembaga pendidikan ideal untuk belajar ilmu agama.
Ketiga, pendidikan sekolah. Pesantren dengan sekolah umum (SD, SMP, dan SMA) pasti menerapkan manajemen yang berbeda. Sekalipun seorang anak belajar di pesantren, guru di pesantren dengan sekolah berbeda karena pengelolaan keduanya tidak sama. Artinya, pendidikan di sekolah juga harus memperhatikan masalah bully, kekerasan fisik yang berpotensi terjadi antarsiswa. Lembaga pendidikan sekolah harus betul-betul mengawal masalah ini dalam rangka menciptakan lingkungan yang ramah anak.
Tidak Ada Hubungan Sekularisme dengan Perundungan!
Dengan adanya beberapa masalah di pesantren, termasuk kematian lantaran kekerasan fisik yang dilakukan oleh sesama santri, orang tua seperti memiliki ketakutan untuk memasukkan anak ke pesantren, karena takut terjadi hal serupa. Namun, berdasarkan penjelasan di atas, setidaknya kita bisa memahami bahwa ketiga aspek penting di atas, menjadi salah satu basis perbaikan agar kasus serupa tidak terjadi.
Artinya, dengan begitu maka sangat tidak masuk akal jika menghubungkan terjadinya kekerasan fisik di pesantren dengan sekularisme. Aktivis khilafah terus melakukan cocokologi fenomena sosial yang sedang booming dengan beberapa ideologi, di mana mereka fobia terhadap ideologi tersebut, salah satunya sekularisme.
Jika kita menelaah secara kritis propaganda yang disampaikan oleh para aktivis khilafah melalui website Muslimahnews.net, kita akan menemukan kengawuran dalam narasi yang disebarkan. Khususnya masalah kekerasan fisik di pesantren, kasus ini tidak bisa dikaitkan dengan masalah sekularisme. Ada banyak faktor yang menjadikan masalah ini terjadi. Maka dari itu, sikap aware kita terhadap kasus lembaga pendidikan di pesantren sangat penting. Ini akan membuat kita tidak mudah terhasut oleh narasi sesat yang disampaikan oleh para aktivis khilafah.