Khilafah.id – Meningkatnya peran perempuan dalam keterlibatan gerakan radikalisme, seperti terorisme menjadi babak baru dalam perjalanan panjang perjuangan para teroris, untuk menegakkan hukum Islam dengan cara yang keras, serta cara-cara yang tidak sejalan dengan Islam damai, dan memanusiakan manusia.
Setidaknya menurut BNPT, sejak tahun 2000 sampai hari ini, ada 50 perempuan yang menjadi pelaku aktif dalam aksi pengeboman. Aksi yang terjadi dilakukan oleh remaja perempuan beberapa waktu lalu, kemudian disebut “lone wolf” cukup mencengangkan publik ketika dianalisa menggunakan berbagai sudut pandang.
Melalui fenomena demikian, hal ini menunjukkan bahwa tren perkembangan terorisme “from backyard to dinigrum” (dari tersembunyi menjadi terang-terangan) berdampak kuat terhadap keterlibatan perempuan yang menjadi pelaku aktif gerakan ekstremisme.
Pengalaman Reflektif Para Perempuan
Ada tiga kasus perempuan yang memiliki pengalaman cukup informatif untuk kita renungkan berkenaan dengan keterlibatannya dalam gerakan ekstremisme.
Pertama, kisah Dania, remaja urban yang haus akan ilmu agama. Peran keluarga yang seharusnya menjawab kegelisahan seorang anak, nyatanya tidak ditemukan pada keluarga yang dimiliki Dania.
Dania, seorang perempuan yang memiliki waktu cukup banyak untuk berselancar di media sosial, dengan fasilitas dari orang tuanya, menjadi keterlenaan sendiri baginya ketika merasa hampa, haus akan ilmu agama. Pendidikan agama yang minim, serta literasi digital yang rendah, ketiadaan pendampingan orang tua, membuatnya terbelenggu pada kelompok ISIS.
Dania yang malang tersebut, terperangkap dalam jurang ISIS. Ia beserta keluarga pergi ke Syuriah, tempat yang katanya penuh dengan hingar bingar kebahagiaan tentang negara Islam. Kenyataannya, euforia semacam itu menjadi hancur ketika, ia benar-benar ada Syuriah Dania adalah sosok perempuan yang mencari makna hidup sebagai muslimah, pertanyaan, kegelisahan dalam benaknya sebagai seorang muslimah, menjadi salah satu hal yang berkecamuk dalam dirinya sehingga berakhir pada penemuan kelompok teroris.
Kedua, Ika Puspita Sari. Seorang buruh migran perempuan yang bekerja di Hongkong, kemudian pindah ke Malaysia. Sebagai tulang punggung keluarga, pengalaman bekerja nyatanya menjadikan ia merasa cukup secara finansial. Sehingga ia merasakan kehausan yang cukup tinggi tentang pengetahuan agama.
Media sosial yang menjadi ruang berselancar dengan mudah, mengantarkan dia pada akun-akun keislaman ekstremis, dan sejenisnya. Sehingga, representasi dalam pencarian makna hidup sebagai muslimah terpengaruh kepada ajaran yang ia peroleh dari kelompok-kelompok radikal tersebut.
Ketiga, Ummu Absa. Seorang ideolog ISIS lokal yang getol sekali membantu para suami yang dipenjara akibat kasus teroris yang menjeratnya. Ummu absa lahir dari pengajian-pengajian konservatif yang diikuti. Sehingga berdampak terhadap cara pandang yang kemudian sikapnya dalam mendukung gerakan-gerakan terorisme.
Ketiga pengalaman tersebut, nyatanya menjadi hal yang sangat penting untuk kita catat. Peran perempuan dalam keterlibatannya menjadi pelaku aktif yang mendukung gerakan-gerakan ekstremisme, tidak lain merupakan upaya dirinya dalam mencari makna hidup sebagai muslimah. Meskipun demikian, latar belakang yang dimiliki ketiganya berbeda, baik secara ekonomi, hingga pengalaman hidup yang berbeda.
Pencarian makna hidup sebagai muslimah, selama ini direpresentasikan pada kondisi image, penampilan yang dijadikan sebuah tolok ukur kesalihahan seorang perempuan. kemudian, masuklah bias gender, budaya patriarkhi pada konteks ini.
Sejauh ini, anggapan para perempuan tentang muslimah sejati, salah satunya melalui penampilan segala wajah dan seluruh tubuh tertutup, hingga yang terlihat hanyalah mata. Penampilan semecam itu, dalam kacamata kita hari ini, justru identik dengan teroris, sebab belum kita temukan teroris perempuan yang tidak menggunakan atribut pakaian yang terbuka.
Meskipun demikian, para perempuan yang memiliki ruang haus akan ilmu agama, akan menganggap bahwa representasi penampilan semacam itu, adalah bukti bahwa ia muslimah sejati. Sehingga hal itu berdampak pada sikap taqlid untuk berpenampilan serupa. Kemudian segala jenis kegiatan akan diikuti melalui lingkarannya.
Perbedaan Drivers to Radicalism
Drivers to radicalism pada perempuan dan laki-laki berbeda. Pada perempuan, hal itu dipengaruhi oleh sebuah hubungan, baik dari pertemanan, relasi keluarga, pernikahan, dll. sedangkan pada laki-laki lebih kuat dipengaruhi oleh faktor politik, maskulinitas, dll. Budaya patriarkhi, nyatanya berpengaruh besar terhadap pola penyebaran ekstremisme terhadap perempuan.
Jadi kembali ke pertanyaan di atas, mengapa sampai kini masih ada perempuan Muslimah yang masih bisa dibodohi oleh aktivis khilafah? Mereka bodoh dan tolol juga, bukan?
Khadirah Siti Ruqayah, Aktivis HTI di MuslimahNews.