Mengenal Ideologi Khawarij dan Neo Khawarij

khawarij

Khilafah.id – Khawarij berasal dari kata kharaja dan kharij yang artinya keluar atau bagian luar (Syamrudin, 2011). Sekte ini dilatarbelakangi oleh pertikaian kekuasaan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Sepeninggal Usman, umat muslim mengangkat Ali menjadi khalifah. Namun, Mu’awiyah yang saat itu menjadi gubernur di Syam tidak sepakat terhadap pengangkatan itu. Ia mulai mencari cara untuk menarik simpati umat musim agar dapat menjatuhkan Ali. Peristiwa pembunuhan Usman dijadikan isu oleh Muawiyah, ia menuntut Ali agar segera menemukan pelaku pembunuhan Usman (Ikrom, 2015).

Ali mendengar tuntutan Mu’awiyah. Lalu ia merespons bahwa tidak mudah menguak peristiwa pembunuhan Usman dan menjatuhkan hukuman bagi pelaku-pelakunya. Sebab orang-orang yang terlibat di dalamnya sangat banyak. Tetapi Mu’awiyah tetap saja menuntut agar  siapapun yang terlibat harus dihukum mati. Ali tidak sependapat dengan Mu’awiyah. Menurutnya, hanya pelakunya saja yang pantas dihukum. Perselisihan ini membuat Muawiyah enggan memberikan bai’at kepada Ali. Alasannya, Ali tidak teguh menegakkan qishas.

Konflik Ali dan Mu’awiyah akhirnya berujung perang. Masing-masing loyalis keduanya bertemu di padang Shiffin dengan persenjataan lengkap. Peperangan tidak bisa terhindarkan. Saat Ali dan pasukannya mulai menampakkan tanda-tanda kemenangan, Mu’awiyah mulai menyusun strategi agar kekalahannya bisa ditunda. Amr bin Ash mengusulkan agar mengajak Ali dan pasukannya berunding untuk berdamai dan mengusulkan tahkim atau arbitrase.

Awalnya Ali menolak. Namun karena desakan dan untuk mengurangi pertumpahan darah Ali pada akhirnya menerima (Syandri, 2017). Usulan arbitrase tersebut, sebenarnya hanyalah siasat Mu’awiyah untuk mengelak dari kekalahan. Sejumlah loyalis Ali tidak setuju dengan keputusan itu. Akhirnya mereka pun keluar dari barisan loyalis Ali dan memberontak kepadanya. Menurut penilaian kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij ini, Ali tidak konsisten dan tegas dalam menegakkan kebenaran. Oleh karenanya, Ali dapat disebut sebagai kafir karena telah menentang ketentuan Al-Qur’an atas nama jihad (Sukring, 2016).

Pada perkembangan selanjutnya, Khawarij tidak hanya terdiri dari satu golongan. Perbedaan pandangan teologis menyebabkan kelompok ini terpecah ke dalam beberapa bagian. Menurut Tsuroyya (2013) ada delapan kelompok kecil di dalam Khawarij. Pertama, kelompok al-Muhakkimah al-‘Ula. Aliran yang muncul dan memisahkan diri dari barisan Ali untuk pertama kali. Terdiri dari 12.000 orang, di antaranya adalah ‘Abd bin Kuwwa’ dan ‘Ittab bin A’war. Kedua, kelompok al-Azariqah yang dipimpin oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq.

Ketiga, kelompok al-Najdah yang dipimpin oleh Najdah bin Amir Al-Hanafi. Keempat, kelompok Al-Ajaridah di bawah pimpinan ‘Abd Al-Karim Al-Ajrad. Kelompok ini muncul dari perpecahan al-Najdah dan memunculkan 10 aliran kecil lagi. Kelima, kelompok al-Tha’alibah yang dipimpin oleh Tha’alabah bin Mishkah. Keenam, kelompok al-Baihasiyah yang dipimpin Ibn Abi Baihas. Kedelapan, kelompok al-Ibadiyah dipimpin Abdullah bin Yahya al-Ibadi.

Di antara delapan kelompok di atas terdapat perbedaan-perbedaan doktrin. Namun, kesemuanya meyakini bahwa setiap orang muslim yang menolak membunuh muslim lainnya yang telah menyeleweng maka dianggap kafir dan harus ikut dibunuh sebagai konsekuensinya; siapapun yang memilih enggan bergabung dengan kelompok mereka maka harus diperangi; siapapun bisa menjadi Khalifah sekalipun bukan dari keturunan Arab maupun suku Quraish; pemilihan pemimpin dipilih secara bebas oleh semua masyarakat; setiap masyarakat harus menjauhi orang yang tidak sepemikiran dengannya; memastikan semua orang yang baik masuk neraka dan begitu sebaliknya; memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang samar dan menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk; dan tuhan tidak pernah ikut campur dalam perbuatan manusia, melainkan murni dari manusia itu sendiri (Rubini, 2018).

Di zaman yang sekarang masih banyak yang menyebut suatu kelompok tertentu berkarakteristik dan pemikiran mereka hampir sama dengan khawarij. Sebutan itu dikenal sebagai neo-khawarij atau khawarij masa kini. Sikap mereka yang keras, mudah mengkafirkan dan tidak berpikir panjang dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengindikasikan keompok ini sebagai penganut paham khawarij yang muncul di era sekarang.

Berdasarkan karakteristik ideologisnya, Heri (2020) menyebutkan sejumlah kelompok yang identik dengan neo-Khawarij. Di antaranya: Al-Muhajirin, Al-Qaeda, Wahabi, Salafi, Jamaah Al-Islamiyah, Hizbut Tahrir, DII/TII, LDII dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut memiliki karakteristik yang serupa dengan pandangan-pandangan yang serupa dengan Khawarij. Misalnya dalam hal pandangan politik. Sebagian besar mereka berpandangan bahwa sistem negara sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pemerintahan yang tidak menerapkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah dianggap Taghut dan setiap orang yang mengikutinya dihukumi sebagai kafir.

Untuk konteks Indonesia, kelompok neo-Khawarij berpandangan bahwa negara ini melaksanakan sistem Taghut karena menerapakan demokrasi. Kelompok ini juga enggan mengakui UUD dan Pancasila sebagai dasar negara. Sebab mereka bercita-cita mendirikan negara Islam. Selain politik, pandangan-pandangan lain dalam hukum Islam yang kurang relevan dengan tuntutan zaman (Aly, 2014).

Sikap yang ditunjukan oleh khawarij sangatlah membuat tidak nyaman semua kalangan umat muslim ataupun yang bukan muslim. Ada yang menyebutkan bahwa sebenarnya kelompok ini adalah orang-orang bengal yang tidak bisa menerima keragaman karena melihat kebenaran dengan kaca mata kuda. Terlebih ketika mereka ini punya agenda-agenda politik sehingga membuat kelompok ini semakin terlihat ambisius dan kejam.

Dewasa ini neo-khawarij atau khawarij kontemporer juga mulai bermunculan. Pola pemikiran dan karakternya hampir sama dengan khawarij lama. Pola pikir yang simplistik terhadap Islam yang selayaknya dapat menjawab tuntutan zaman, membuat mereka terlihat eksklusif dan konservatif. Belum lagi, seruan-seruan permusuhan yang sering kali bersumber dari kelompok-kelompok ini, menempatkan mereka sebagai pihak yang perlu diwaspadai atau bahkan terkucilkan. Seharusnya, fanatisme dalam beragama sudah tidak lagi relevan untuk konteks saat ini.

Naili Mafazah, Mahasiswa S1 Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Madrasah (2): Genealogi, Polititasi, dan Ideologisasi Radikalisme

Ming Jun 5 , 2022
Khilafah.id – Politisasi Madrasah sudah sejak lama ada. Dan jamak kita melihatnya. Mulai Madrasah harus tunduk pada kebijakan politik dan harus bersuara persis sama dengan apa yang diperintahkan pemerintah, hingga Madrasah dipolitisasi sedemikian rupa dengan paham radikalisme yang mulai berkembang dan menjadi kangker di seluruh dunia. Politisasi Madrasah Kenyataan ini […]
madrasah

You May Like