Khilafah.id – Berapa banyak spanduk, flyer, dan baliho yang bertebaran dengan bertuliskan “Hentikan Islamofobia!” di luaran sana? Tentu tidak terhitung jumlahnya. Tujuan utamanya mungkin meminta kepada seluruh pihak untuk menghentikan segala prasangka negatif terhadap agama Islam dan pemeluknya. Namun, dalam hemat saya, terlepas dari kacamata kebebasan berpendapat, usaha tersebut sama sekali tidak efektif.
Perlu digariskan di awal, istilah islamofobia setidaknya muncul dan populer di kalangan aktivis antirasis pada akhir abad 20 di Eropa sana. Istilah ini lantas menggema dan digunakan banyak orang, terutama bangsa Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad 21, menyertai peristiwa pengeboman menara kembar World Trade Center di New York oleh para penjahat agama, militan Al-Qaeda.
Berbagai peristiwa lain pascaserangan tersebut, seperti masifnya propaganda ISIS, menguatnya gagasan penerapan hukum Islam tekstual, meningkatnya intensitas teror di kalangan masyarakat, lontaran ancaman menakutkan saat demostrasi, dan sikap main hakim sendiri atas terduga dan pendukung penista agama, memperkuat kesan negatif terhadap Islam dan Muslim dan secara langsung memupuk islamofobia.
Umat Islam yang enggan agamanya dibenci dan ditakuti berbondong-bondong menolak istilah tersebut dan sebagian di antara mereka melakukannya dengan demostrasi, hal yang menurut hemat saya tidak memberikan pengaruh terhadap stigma masyarakat dunia akan agama Islam. Sebaliknya, mereka justru akan menilai lain dengan mengeneralisir Islam beserta para pengikutnya. Lagi, Islam dan sebagian besar pemeluknya terkena label buruk karena tindakan segelintir orang ini.
Meminta seluruh manusia untuk menghentikan islamofobia dengan flyer dan baliho “Hentikan Islamofobia!” ibarat mengajak seseorang bertamu dengan mengatakan rumahnya sangat nyaman tetapi anggota keluarga yang lain memelototinya yang tentu membuat si tamu ketakutan. Si pengajak sejatinya tahu akan hal tersebut tetapi ia tidak menghiraukannya dan tetap mengatakan bahwa rumahnya memberikan kenyamanan.
Sederhananya, meminta orang untuk menghentikan islamofobia dengan “Hentikan Islamofobia!” berarti mengabaikan kenyataan beberapa kesan negatif terhadap Islam dan Muslim yang ditimbulkan oleh secuil umat Islam sendiri seperti diutarakan di atas. Narasi “Hentikan Islamofobia”, dalam hemat saya, hanya akan memperparah stigma yang ada. Masyarakat akan berpikir “Bagaimana kami bisa menghentikan islamofobia sedangkan tindakan pemeluknya mencerminkan itu, dan itu membuat kami takut”.
Oleh karena itu, perlu cara elegan untuk menghentikan islamofobia yang tanpa disadari mencerminkan citra Islam yang sebenarnya. Hal paling utama ialah tidak mudah emosi dan berlebihan sehingga hilang keseimbangan dalam menghadapi segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Sebab, emosi yang disebabkan hal demikian tidak lantas membuat kita didaulat sebagai orang yang paling beriman dan membela agama.
Memposisikan diri di tempat yang membuat masa depan Islam dan Muslimin bermartabat dalam jangka panjang adalah cara terbaik yang harus dilakukan. Merekatkan persaudaraan dengan sesama pemeluk Islam dan mengikat persaudaraan dengan non-Muslim, bersikap baik dan saling menghargai terhadap sesama manusia, termasuk kepercayaannya masing-masing merupakan iktiar dalam mewujudkan hal tersebut.
Islam agama indah, para pemeluknya diharapkan seirama dengan keindahan ini. Islam agama damai, para pemeluknya diharuskan menebar perdamaian. Islam agama humanis, para pemeluknya diminta mencerminkan nilai itu.
Kita dapat menghentikan islamofobia dengan tidak memaksa orang lain untuk menghentikannya melainkan dengan akhlak baik sebagaimana diajarkan Rasulullah saw. Kisah masuk Islamnya Zaid bin Sa’nah cukup lah menjadi bukti bahwa akhlak tidak hanya dapat menyelamatkan diri sendiri tetapi juga orang lain, bahkan agama sekali pun.
Azis Arifin, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.