Khilafah.id – Kitab “Majmû’ Fatâwâ” adalah kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah mengenai akidah, tauhid, fikih, ushul, hadits, dan tafsir. Kitab yang sangat tebal, terdiri dari 37 jilid, masing-masing jilid memuat lebih dari 200 halaman. Dikumpulkan dan diklasifikasi oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim yang dibantu oleh putranya, yaitu Muhammad ibn Abdirrahman ibn Muhammad ibn Qasim.
Diterbitkan atas perintah Raja Fahd Abdul Aziz Alu Sa’ud, dicetak oleh Mujamma’ al-Malik Fahd li Thaba’ah al-Mushaf al-Syarif, Madinah Munawarah, di bawah pengawasan Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi.
Sebagaimana kumpulan fatwa pada umumnya, sebagian besar isi kitab “Majmû’ Fatâwâ” adalah tanya-jawab mengenai hukum-hukum fikih dan berbagai persoalan keagamaan lainnya, dan sebagian lainnya berisi surat-surat kepada sahabat-sahabat Ibnu Taimiyah dan juga kepada para penguasa. Namun tulisan ini tidak akan mengeksplorasi keseluruhan isi kitab, tetapi akan lebih fokus pada masalah jihad yang oleh Ibnu Taimiyah dianggap sebagai kewajiban sangat agung yang keutamaannya sudah dijelaskan di dalam al-Qur`an dan sunnah.
Di dalam kitab “Majmû’ Fatâwâ” Ibnu Taimiyah menyebut dua definisi jihad, yakni umum dan khusus. Dalam definisi umumnya jihad punya dua makna. Pertama, jihad adalah mengerahkan upaya, yaitu kemampuan mencapai kebenaran dan menghindari sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. “Hakikat jihad adalah upaya menggapai apa-apa yang dicintai Allah berupa keimanan dan amal saleh, serta menjauhi apa-apa yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.”[1]
Kedua, jihad adalah ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. “Jihad adalah penyempurna ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. Jika demikian, maka diketahui bahwa ‘amar ma’rûf dan nahy munkar serta penyempurnaannya dengan jihad merupakan kebaikan terbesar yang diperintahkan Nabi kepada kita.”[2]
Dalam definisi khususnya, menurut Ibnu Taimiyah, jihad adalah “memerangi kaum kafir”. Ia berkata, “Siapa pun dari umat Muslim yang memerangi kaum kafir dengan pedang, atau tombak, atau batu, atau tongkat, maka ia adalah mujahid (orang yang berjihad) di jalan Allah.”[3]
Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
Pertama, jihad, menurut Ibnu Taimiyah, adalah kalimat komprehensif yang mencakup segala macam upaya serta pengerahan segenap kemampuan (kekuatan) dan penggunaan berbagai sarana yang disyariatkan demi terwujudnya perubahan sebagai tujuan dakwah Allah yang diturunkan kepada manusia.[4]
Kedua, jihad, dalam pemaknaan umumnya, menurut Ibnu Taimiyah, adalah melawan hawa nafsu dan setan dalam mentaati Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Jihad juga mencakup perjuangan melawan kaum kafir dan orang-orang munafik dengan hujjah dan bayân, melawan ahli bid’ah dan para pelaku kemungkaran dengan “tangan, atau lisan, atau hati” sesuai dengan kemampuan.[5]
Ibn al-Qayyim berkata, “Saya mendengar guru saya (Ibnu Taimiyah) berkata, ‘Jihad melawan hawa nafsu adalah hukum asal jihad melawan kaum kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya [orang muslim] tidak akan mampu melawan kaum kafir dan orang-orang munafik kecuali bila ia berhasil melawan hawa nafsunya terlebih dahulu dan [setelah itu baru kemudian] keluar memerangi mereka.’”[6]
Cita-Cita dan Tujuan Jihad Ibnu Taimiyah
Cita-cita dan tujuan jihad menurut Ibnu Taimiyah adalah: pertama, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, tidak meminta kepada selain-Nya, tidak shalat untuk selain-Nya, tidak sujud kepada selain-Nya, tidak berpuasa untuk selain-Nya, tidak berumrah dan berhaji kecuali hanya di Baitullah, tidak menyembeli kurban kecuali hanya untuk-Nya, tidak bernadzar kecuali hanya untuk-Nya, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Nya, tidak takut kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertakwa kecuali hanya kepada-Nya.
Allah adalah Zat yang tidak ada yang kuasa mendatangkan kebaikan-kebaikan kecuali Dia, tidak ada yang kuasa menolak keburukan-keburukan kecuali Dia, tidak ada yang kuasa memberi hidayah kepada makhluk kecuali Dia, tidak ada yang kuasa menolong mereka kecuali Dia, tidak ada yang kuasa memberi mereka rizki kecuali Dia, tidak ada yang kuasa melindungi mereka kecuali Dia.[7]
Kedua, menegakkan agama Allah dan menjadikan kalimat-Nya sebagai yang tertinggi. Ibnu Taimiyah berkata, “Cita-cita jihad adalah menegakkan agama Allah, bukan untuk keuntungan pribadi seseorang. Untuk itu, apapun yang menimpa mujahid, baik pada jiwa maupun hartanya, pahalanya adalah urusan Allah. Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan surga.”[8] Ibnu Taimiyah juga berkata, “[Cita-cita jihad adalah] sampai tidak ada fitnah (kekacauan), sampai agama Allah tegak secara menyeluruh.”[9]
Di sini Ibnu Taimiyah menjadikan cita-cita jihad adalah tidak adanya fitnah dan tegaknya agama Allah secara menyeluruh. Fitnah dan tegaknya agama Allah adalah dua kutub yang saling bertentangan; adanya fitnah menafikan tegaknya agama Allah, dan tegaknya agama Allah menafikan fitnah. Fitnah, menurut Ibnu Taimiyah bisa dimaknai kesyirikan. Selama kesyirikan masih merajalela, agama Allah akan sulit ditegakkan.[10]
Hukum Jihad Menurut Ibnu Taimiyah
Adapun hukum jihad menurut Ibnu Taimiyah adalah fardhu kifâyah, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang bersifat khusus, maka hukumnya adalah fardhu ‘ayn. Ia berkata, “Sebagaimana [hukum] jihad adalah fardhu kifâyah, kecuali dalam keadaan tertentu sehingga menjadi fardhu ‘ayn.”[11] Ibnu Taimiyah mendasarkan pendapatnya tersebut pada dalil-dalil dan kaidah-kaidah berikut:
Pertama, Ibnu Taimiyah berpandangan, bahwa jihad, jika dilakukan oleh sebagian orang, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya, dan keutamaannya menjadi milik mereka yang melakukannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka,” [QS. al-Nisa`: 95].
Kedua, qiyas. Ibnu Taimiyah men-qiyas-kan hukum jihad dengan hukum ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. Seperti diketahui, hukum ‘amar ma’rûf dan nahy munkar adalah fardhu kifâyah. Ia berkata, “Demikian juga ‘amar ma’rûf dan nahy munkar, hukumnya tidak wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ayn), tetapi bagi sebagian orang (fardhu kifâyah), sebagaimana diajarkan al-Qur`an.”[12] Sama halnya dengan kerajinan-kerajinan tangan, tidak semua orang wajib mempelajarinya, meski pun di situ terdapat maslahat untuk semua orang.[13]
Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa hukum jihad menjadi fardhu ‘ayn dalam beberapa keadaan, di antaranya:
Ketika umat Muslim berhadapan dengan musuh atau mengepung sebuah benteng, mereka tidak bisa lari kecuali menaklukkannya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka jangan kalian membelakangi mereka (mundur),” [QS. al-Anfal: 15][14]
Ketika musuh hendak menyerang negeri Islam. Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun jika musuh [datang] menyerang, maka tidak ada satu pun perbedaan [pendapat] di dalamnya, bahwa menjauhkan bahaya dari agama, jiwa, dan kehormatan adalah wajib secara ijma’.”[15]
Ia juga berkata, “Jika musuh datang hendak menyerang umat Muslim, maka membela orang-orang yang hendak diserang itu adalah wajib, dan orang-orang yang tidak diserang wajib [berjihad] untuk membantu mereka.”[16]
Ketika imam (pemimpin muslim) mengajak untuk berjihad (berperang).[17]
Ibnu Taimiyah menyebutkan dua hadits; (1). Hadits Nabi yang berbunyi, “Jika [imam] mengajak kalian untuk berperang, maka berperanglah,” [HR. al-Bukhari].;[18] (2). Hadits Nabi yang berbunyi, “Orang muslim hendaknya patuh dan taat terkait apa-apa yang disukai dan tidak disukai kecuali jika ia diperintah melakukan maksiat. Jika ia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.”
Rujukan
[1] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 10), hal. 91 dan 210
[2] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 126
[3] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 316
[4] Muhammad Na’im Yasin, al-Jihâd: Mayâdinuhu wa Asâlibuhu, Dar al-Nafais, Cet. IV, 1993, hal. 6
[5] Abdul Aziz Nashir, al-Tarbiyah al-Jihâdîyyah fî Dhaw’ al-Kitâb wa al-Sunnah, hal. 8
[6] Ibn al-Qayyim, Rawdhah al-Muhibbîn, hal. 478
[7] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 35), hal. 368
[8] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ, Jilid 28, hal. 354; Jilid 15, hal. 180; Jilid 18, hal. 493 – 494
[9] Ibnu Taimiyah, Qâ’idah Muhibbîn, hal. 292
[10] Ibnu Taimiyah, Qâ’idah Muhibbîn, hal. 292
[11] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 80 dan 126
[12] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 126
[13] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 80
[14] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 187
[15] Ibnu Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ (Jilid 4), Editor: Syaikh Ahmad Kan’an, Dar al-Arqam, Cet. I, 1999, hal. 465 – 466
[16] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 358
[17] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 78
[18] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 78
Roland Gunawan, Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta.