Khilafah.id – Gagasan khilafah yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah lama menjadi isu kontroversial dalam diskursus keagamaan dan kebangsaan. Dengan dalih mendirikan pemerintahan Islam global, HTI sering kali menyampaikan narasi yang menggiring masyarakat untuk memandang sistem pemerintahan Indonesia sebagai bertentangan dengan syariat Islam. Namun, gagasan tersebut sejatinya mengandung berbagai kecacatan, baik secara historis maupun teologis, yang perlu dikritisi dengan jernih.
Secara historis, klaim HTI bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan tunggal yang diwajibkan Islam tidak memiliki landasan yang kokoh. Dalam sejarah Islam, sistem pemerintahan bersifat dinamis dan beragam, tergantung pada konteks zaman dan wilayah. Khulafaur Rasyidin, yang sering dijadikan model ideal, mempraktikkan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda, mulai dari musyawarah hingga penunjukan langsung.
Ketika pemerintahan Islam berkembang, struktur khilafah juga berubah, terutama pada masa Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Bahkan pada era Utsmaniyah, khilafah lebih merupakan simbol kekuasaan politik daripada institusi agama yang universal. Ironisnya, HTI justru mengabaikan fakta bahwa kekuasaan khilafah sering kali diwarnai konflik internal, perebutan kekuasaan, dan praktik otoritarianisme yang jauh dari nilai-nilai keadilan Islam.
Dalam konteks Indonesia, narasi khilafah HTI juga gagal memahami sejarah lokal. Indonesia lahir dari konsensus yang menghormati keberagaman, dengan Pancasila sebagai dasar negara yang menjamin kebebasan beragama. Gagasan khilafah transnasional yang ingin menghapus identitas kebangsaan justru bertentangan dengan sejarah perjuangan bangsa yang mengutamakan persatuan dalam keberagaman.
Secara teologis, HTI mendistorsi makna syariat untuk mendukung klaimnya. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, tidak pernah mewajibkan bentuk pemerintahan tertentu. Al-Qur’an dan hadis lebih banyak berbicara tentang prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, dan pengelolaan amanah daripada teknis pemerintahan. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi umat Islam untuk membangun sistem politik yang sesuai dengan konteks zamannya.
Misalnya, konsep musyawarah dalam Islam tidak harus diterjemahkan dalam bentuk khilafah. Demokrasi modern, dengan prinsip-prinsipnya yang mendukung partisipasi publik dan keadilan, sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, klaim HTI bahwa hanya khilafah yang sesuai dengan Islam justru membatasi keluasan ajaran Islam yang bersifat universal.
HTI juga kerap mengabaikan maqashid syariah, yaitu tujuan-tujuan syariat yang meliputi perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks Indonesia, Pancasila dan sistem demokrasinya telah memberikan ruang bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Memaksakan gagasan khilafah yang tidak relevan hanya akan menciptakan instabilitas dan merusak keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan bangsa.
Dalam menghadapi propaganda HTI, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat narasi kebangsaan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Program pendidikan kebangsaan yang mengintegrasikan pemahaman agama dan Pancasila perlu diperkuat, terutama di kalangan generasi muda yang sering menjadi target utama radikalisasi.
Selain itu, dialog lintas agama dan internal umat Islam harus terus didorong. Ini bertujuan untuk menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan kebangsaan, melainkan justru mendukung prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan persaudaraan yang dijamin oleh Pancasila.
Mengkritik gagasan curang khilafah HTI bukanlah upaya untuk menegasikan nilai-nilai Islam, melainkan untuk menjaga keselarasan antara ajaran agama dan semangat kebangsaan. Sejarah dan teologi Islam dengan tegas menunjukkan bahwa khilafah bukanlah satu-satunya bentuk pemerintahan yang diakui Islam.
Indonesia, dengan segala keberagamannya, adalah bukti bahwa nilai-nilai Islam dapat hidup berdampingan dengan semangat nasionalisme. Menguatkan Pancasila sebagai titik temu adalah tugas bersama, demi menjaga NKRI tetap damai dan harmonis. Mari kita jadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta, bukan alat untuk memecah belah bangsa.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah lama menjadi organisasi yang mempermainkan narasi keislaman untuk kepentingan politik transnasional. Dengan dalih memperjuangkan khilafah sebagai sistem pemerintahan yang dianggap sesuai syariat, mereka sebenarnya sedang mengancam sendi-sendi kebangsaan.
Narasi ini tidak hanya mengaburkan fakta sejarah, tetapi juga memanipulasi konsep teologis demi agenda yang merusak persatuan. Saatnya negara bersikap tegas terhadap manipulasi ini, karena membiarkannya berkembang berarti membahayakan keutuhan NKRI.
HTI secara sistematis menyebarkan paham bahwa Indonesia, dengan sistem demokrasinya, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka menyebarkan propaganda bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang sah menurut Islam, meskipun pandangan ini tidak memiliki landasan yang kuat dalam sejarah maupun teologi.
Padahal, Al-Qur’an tidak pernah menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Yang diajarkan adalah prinsip keadilan, musyawarah, dan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya. Dalam sejarah Islam, sistem pemerintahan beragam, mulai dari model musyawarah di era Khulafaur Rasyidin hingga monarki dinasti di zaman Abbasiyah dan Utsmaniyah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam memberikan fleksibilitas bagi umat untuk menyesuaikan sistem pemerintahan dengan konteks zamannya.
HTI tidak hanya memutarbalikkan fakta ini, tetapi juga menyebarkan doktrin yang mengadu domba umat Islam dengan pemerintah. Mereka mencoba menggoyahkan loyalitas rakyat kepada Pancasila, yang sejatinya telah mengakomodasi nilai-nilai Islam secara substansial.
HTI bukan hanya ancaman ideologis, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas nasional. Dengan menggunakan pendekatan retorika keagamaan, mereka menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Hal ini memecah belah umat, memicu kecurigaan antaragama, dan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Dalam tatanan politik global, gagasan khilafah HTI tidak relevan. Ketika dunia sedang bergerak menuju kerja sama antarbangsa yang saling menghormati kedaulatan negara, HTI justru mengusung ide transnasional yang bertentangan dengan prinsip kemerdekaan Indonesia. Dengan memaksakan satu model pemerintahan, mereka merendahkan perjuangan bangsa yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar persatuan.
Sikap tegas terhadap HTI harus diwujudkan dalam bentuk hukum yang adil dan efektif. Keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI pada 2017 adalah langkah awal yang tepat. Namun, pembubaran saja tidak cukup. Harus ada upaya hukum yang berkelanjutan untuk menangani individu-individu yang terus menyebarkan ideologi HTI secara terselubung.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan memberikan landasan hukum untuk menangani organisasi yang bertentangan dengan Pancasila. Namun, penerapan undang-undang ini harus lebih tegas, terutama terhadap mereka yang secara terbuka menyebarkan propaganda khilafah. Selain itu, perlu ada edukasi publik yang intensif untuk membangun kesadaran masyarakat tentang bahaya ideologi transnasional yang bertentangan dengan semangat kebangsaan.
Sebagai langkah preventif, pemerintah dan masyarakat sipil perlu menggencarkan program deradikalisasi dan penguatan narasi kebangsaan. Generasi muda, yang sering menjadi target propaganda HTI, harus diberi pemahaman yang lebih mendalam tentang Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa.
Pendidikan agama juga perlu diperkuat dengan pendekatan yang inklusif dan kontekstual. Hal ini akan membantu umat Islam memahami bahwa nilai-nilai Islam sejalan dengan semangat nasionalisme. Ulama dan tokoh agama harus mengambil peran aktif dalam mengedukasi masyarakat, menegaskan bahwa loyalitas terhadap negara bukanlah pengkhianatan terhadap agama, melainkan bagian dari implementasi ajaran Islam yang mengutamakan persatuan dan keadilan.
Manipulasi gagasan khilafah oleh HTI adalah ancaman yang harus dihadapi dengan serius. NKRI, dengan Pancasila sebagai dasar negara, adalah konsensus yang lahir dari perjuangan panjang bangsa Indonesia. Tidak ada tempat bagi ideologi yang berusaha merusak tatanan ini, apalagi dengan memanfaatkan agama sebagai alat politik.
Hukuman yang tegas terhadap HTI dan propagandis khilafah bukan sekadar tindakan hukum, tetapi juga bentuk perlindungan terhadap persatuan bangsa. Di saat yang sama, penguatan nilai-nilai kebangsaan harus terus dilakukan, agar setiap warga negara merasa memiliki dan mencintai Indonesia sebagai rumah bersama. NKRI adalah amanah yang harus kita jaga, dan Pancasila adalah solusi yang mempersatukan kita di tengah keberagaman.
Zaenal Fahlevi Marpaung, Mahasiswa Pascasarjana UMSU Medan.