Meninjau Ulang Kontra Wahabisme Kita

Wahabisme

Khilafah.id – Pertama, saya membayangkan Imam Bukhari bimbang. Di juz 4 Shahih Bukhari, beliau membuat topik « كتاب استتابة المرتدين والمعاندين وقتالهم » ‘Kitab tentang mengajak taubat dan memerangi orang-orang murtad dan pembangkang.’ Lalu di situ ada bab « باب قتل الخوارج والملحدين بعد إقامة الحجة عليهم » ‘Bab tentang memerangi khawarij dan kaum ateis setelah menyampaikan argumen kepada mereka.’

Di situ, antara lain, Imam Bukhari menuturkan hadis tentang buruknya kaum Khawarij dan pesan Nabi untuk memerangi atau membunuh mereka. ‘Sungguh membunuh mereka akan jadi saldo pahala bagi pelakunya di hari kiamat’ « فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة ». Tetapi, setelah itu, Imam Bukhari membuat bahasan « باب من ترك قتال الخوارج للتألف وأن لا ينفر الناس عنه » ‘Bab tentang orang yang tidak membunuh Khawarij untuk melunakkan mereka dan supaya orang tidak lari darinya.’

Isi dari bab ini adalah hadis tentang Dzul Khuwaisirah At-Tamimi, lelaki pemrotes dan penghardik Nabi, tetapi Nabi melarang Umar untuk membunuhnya. Kira-kira Imam Bukhari mau bilang begini, ‘Meski Nabi mencela orang itu setelah dia beranjak pergi, tetapi Nabi melarang Umar membunuhnya. Tujuannya agar dia dan pengikutnya kelak tidak betul-betul lari dari Nabi dan keluar dari Islam.’

Kebimbangan Imam Bukhari karena sikap Nabi memang ganda. Satu sisi Nabi menyuruh, dalam ucapan, membunuh kaum Khawarij. Di sisi lain, dalam praktik, Nabi melarang membunuh Dzul Khuwaisirah, dedengkot Khawarij. Sebagai pemimpin umat, Nabi memperhitungkan stabilitas sosial dan politik. Di Shahîh Muslim, respons Nabi terhadap Umar adalah jawaban taktis, « معاذ الله أن يتحدث الناس أني أقتل أصحابي » ‘Aku berlindung kepada Allah dari omongan orang-orang bahwa aku membunuh sahabatku sendiri.’

Kesimpulannya, menghadapi Khawarij memang repot. Mereka Islam, ada di tubuh umat Islam, tetapi perangainya keluar dari Islam. Abu Said al-Khudri, rawi hadis tentang kaum Haruriyah, nama lain Khawarij, juga menegaskan itu « يخرج في هذه الامة ولم يقل منها ٠٠٠» ‘Akan muncul di dalam umat ini, dan Nabi tidak mengatakan keluar darinya …dst’. Mereka ibarat duri dalam daging. Mereka dalam daging, tetapi jadi duri.

Kedua, sekarang kalau kita ikut Imam Shawi (Hâsyiyah al-Shâwî, juz 3/275) neo-Khawarij itu menjelma dalam Wahabisme. Muktamar Checnya, 2016, juga tidak memasukkan mereka sebagai Ahlussunnah Waljama’ah. Kalau kita ikuti ini, dan mengikuti kebimbangan Imam Bukhari, kita juga harus bimbang dalam menghadapi Wahabisme. Mereka muslim dan ada di dalam tubuh umat Islam.

Meskipun fatwa dan pendapat mereka kadang menggemaskan dan menjengkelkan, tidak pantas mereka kita juluki kadrun atau gelar-gelar lain yang merendahkan. Mereka syahadat, seperti syahadatnya kita. Kiblat kita sama. Rukun Islam kita sama. Kelakuan mereka dalam menyikapi perbedaan memang sering kali kurang ajar. Tetapi, respons kita yang eksesif akan menjatuhkan level kita setara dengan mereka. Kasus sajen tempo hari, lalu polemik omongan Khalid Basalamah soal wayang baru-baru ini, seringkali direspons secara berlebihan.

Mereka memang orang-orang yang mengajak umat Islam kembali ke Abad Pertengahan. Tetapi, kalau kita layani mereka, kita akan sibuk menengok masa lalu tanpa kesempatan memikiran prospek keemasan masa depan.

Ketiga, para pendakwah Wahabi itu adalah produk kebijakan yang salah dari Arab Saudi. Pada 1970an, ketika mereka dapat rezeki nomplok dari minyak, mereka mendanai perguruan tinggi yang sepenuhnya berorientasi agama. Mereka mendirikan Universitas Islam Madinah (1961) dan Universitas King Abdul Aziz (1967) yang dipersiapkan sebagai corong Wahabisme.

Mereka mengundang dan memberi beasiswa mahasiswa Muslim, termasuk dari Indonesia, untuk mempelajari Islam ala Wahabi. James Atkins, Duta Besar Amerika untuk Arab Saudi tahun 1970an, mengingatkan ‘You have to train them more about doctors, chemists, engineers, and fewer mullahs’ (Kalian semestinya lebih banyak mendidik orang untuk menjadi dokter, ahli kimia, insinyur, dan lebih sedikit pemuka agama).

Kerajaan bergeming dan mengingatkan Atkins untuk tidak turut campur. Beberapa dekade setelah itu mereka terkejut. Dua pertiga teroris yang bergabung ke ISIS adalah warga Arab Saudi. 115 dari 611 napiter yang ditahan di Guantanamo adalah warga Arab Saudi. Ada 5.000 warga Arab Saudi eks-jihad Afghanistan yang membentuk jaringan jihadis internasional. Mereka lalu sadar ini adalah dampak pengajaran agama yang overdosis.

Mereka lebih banyak mendidik orang untuk bertengkar urusan agama, ketimbang teknokrat dan insinyur yang dibutuhkan pembangunan. Muhammad bin Salman memutar kemudi. Dia ingin Arab Saudi lebih modern dan terbuka, dengan Islam yang inklusif dan bersanding dengan kemajuan. Dia bikin proyek-proyek mercusuar, untuk membongkar kesan Islam sama dengan gurun Abad Pertengahan.

Kita berandai-andai. Andaikata dulu Arab Saudi memberi beasiswa mahasiswa Indonesia untuk belajar teknik perminyakan atau IT atau statistik atau administrasi atau ekonomi studi pembangunan, kita tidak membawa pulang Khalid Basalamah, Firanda Andirja, Yazid Jawwas, dll dalam gayanya yang sekarang. Mereka adalah teknokrat dan insinyur yang membangun Indonesia dengan karya-karya nyata pembangunan, bukan sekadar ribut perkara bid’ah seputar qunut, tahlil, muludan, sajen, wayang, dan tema-tema khilafiah receh.

Urusan agama biar dibicarakan NU dan Muhammadiyah. Tetapi, nasi sudah jadi bubur. Kader NU sibuk menkounter mereka. Kader Muhammadiyah malah, sebagian, terseret jadi Wahabi. Lulusan pesantren tahunya Aswaja sama dengan amaliah diniyah. Padahal, aswaja adalah manhaj wasathiyah bukan hanya dalam perkara diniyah, tetapi ijtimaiyah (sosial), siyasiyah (politik), dan iqtishadiyah (ekonomi).

Bukan arus utama, bagi lulusan pesantren, menjadikan aswaja sebagai bingkai atau pisau analisasi untuk melihat isu oligarki, ketimpangan sosial, dan problem-problem pembangunan seperti sengketa tambang Wadas. Gus Dur, yang jadi maskot kader NU, lebih ditonjolkan pandangan-pandangannya dalam isu toleransi dan kemajemukan, bukan kapasitasnya sebagai kritikus sosial. Ini konsekuensi logis dari pandangan bahwa ancaman bagi NKRI datang dari fundamentalisme agama, mengabaikan destruksi setimpal yang datang dari kerakusan ideologi fundamentalisme pasar.

Keempat, saya mengajak kita semua keluar dari medan magnet Wahabisme. Jangan habiskan waktu untuk perang dalil dengan mereka, atau lebih buruk lagi, saling rundung dengan mereka. Mereka ingin kita tetap hidup di alam Abad Pertengahan, bertengkar urusan furuiyah aqidah dan syariah. Di tanah lahirnya sendiri Wahabisme sedang dikoreksi.

Wahabisme politik, yang dituangkan dalam eksperimen negara khilafah, tumbang dan gagal. Faksi-faksi jihadis bentrok. Friksi dan perpecahan di antara sesama salafi luar biasa tajam dan keras. Meski dakwah salafi masuk dan diterima sebagian Muslim urban, mereka juga sibuk gelut di antara mereka sendiri. Jadi, tidak usah khawatir, mereka tidak akan lebih besar dari NU dan Muhammadiyah.

Alhasil, Muhammadiyah sudah punya kampus-kampus modern yang mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk pembangunan. Mereka mungkin perlu memperkuat doktrin dasar tentang wasathiyah Islam bagi semua kadernya. Pesantren-pesantren NU sudah mengadopsi ilmu-ilmu dunia ke dalam kurikulum mereka. Tidak perlu semua pesantren diorientasikan untuk memproduksi ulama sekelas Gus Baha.

Memang harus ada pesantren, dengan kekhasannya, yang dipersiapkan mencetak ulama. Pesantren lainnya cukup mengajarkan fondasi Islam yang benar, lalu mencetak teknokrat-teknokrat profesional. Urusan agama biar dibicarakan oleh kiai-kiai-NU dan Muhammadiyah. Mereka tidak perlu banyak, yang penting kaliber ulama, bukan hanya yang mematutkan diri menjadi anggota majelis ulama.

Pesan dari Firman Allah sangat mendukung sekali: « فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين », yang tafaqquh fid din adalal ‘thaifah’, tidak semunya. Lainnya berjihad mengisi pembangunan dengan ilmu dan amal. Kalau berurusan dengan agama, tanyalah kepada ulama: « فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون ». Kebanyakan ahli agama atau yang merasa ahli agama hanya mencetak keributan perkara-perkara furu’ agama.

Terakhir ini pesan persaudaraan. Untuk Pak Khalid Basalamah dan teman-teman lainnya: ‘Pokoknya asal orang Islam masih salat, menghadap kiblat, dan menjalankan syariat, jangan sakiti mereka dengan tuduhan bid’ah dan sesat.’ Untuk teman-teman NU dan lainnya: ‘Pokoknya asal masih salat, salatnya menghadap kiblat, mereka adalah saudara seagama.’ Mereka berhak selamat dari olok-olok lisan kita. Saling rundung bisa jadi bibit perang saudara.

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Ayang Utriza Yakin: Islam Moderat Harus Tampil ke Garda Terdepan

Sab Feb 19 , 2022
Khilafah.id – Islam moderat adalah Islam yang lebih meneguhkan pada sisi inklusif, peradaban, perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, Islam agama yang memiliki karakter moderasi tentu melahirkan suatu kehidupan masyarakat yang lebih menjunjung tinggi keramahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, tantangan kita hari ini Islam perlu hadir mencegah […]
Islam Moderat

You May Like