Khilafah.id – Sejarah yang benar, adalah akar dari nasionalisme. Sebaliknya, sejarah yang palsu, merupakan awal dari kehancuran bangsa. Hal itu sangat disadari oleh ormas keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU). Beberapa bulan lalu, NU bertindak melawan pembelokan sejarah terkait pendirian NU.
Pembelokan sejarah itu dilakukan melalui pemalsuan fakta bahwa ada kelompok lain yang berperan dalam pendirian NU. Pemalsuan fakta sejarah itu muncul dalam Buku Pelajaran Ahlussunnah Waljamaah Ke-NU-an Jilid I untuk Kelas 2 yang diterbitkan oleh RMI PCNU Kabupaten Tegal. Buku ini juga beredar di lingkungan satuan-satuan Pendidikan Ma’arif NU, kala itu.
Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa salah satu pendiri NU adalah kakek dari Habib Luthfi, Habib Hasyim Bin Yahya Pekalongan. Bahkan, buku itu mengungkapkan bahwa pendirian NU tak terlepas dari kakek Habib Luthfi.
Buku ini seakan ingin mengungkapkan bahwa peran dakwah Islam di Indonesia bukan hanya dilakukan para Walisongo yang kemudian dilanjutkan para ulama NU se-Nusantara, namun ada juga peran kelompok lain, yakni para Habib dari Yaman.
Padahal, Tim Kerja Museum NU/Resolusi Jihad telah mengungkapkan bahwa Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) tidak menyebutkan nama Habib Hasyim bin Yahya sebagai salah satu pendiri NU. Gagasan pembentukan NU sendiri dimulai dari istikharah KH Syaikhona Cholil Bangkalan, yang kemudian disampaikan KH As’ad Syamsul Arifin pada kurun 1924-1926.
Hasil istikharah itu akhirnya diwujudkan KH Hasyim Asy’ari dengan memerintahkan KH Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya untuk mengundang para kiai se-Jawa dan Madura serta 3-4 kiai dari luar Jawa untuk bertemu di Kertopaten, Gg 3, Surabaya, pada 31 Januari 1926. Pertemuan itulah yang melahirkan NU.
Tentu, kita tidak boleh memiliki rasa antipati maupun kebencian pada kelompok Habib maupun keturunan Yaman. Kebencian pada kelompok manapun, harus kita lawan karena bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Yang kita tolak di sini adalah pemalsuan sejarah untuk membesarkan peranan kelompok tertentu. Karena pemalsuan sejarah semacam itu sama saja dengan mengkerdilkan pengorbanan para pahlawan, terutama kaum ulama.
Para ulama, khususnya KH Hasyim Asyari telah berjasa memperhebat rasa nasionalisme melalui fatwa resolusi jihad pada Oktober 1945. Fatwa itu menyatakan bahwa merupakan suatu kewajiban bagi mereka yang sudah akil balig untuk ikut berjuang membela tanah air melawan penjajah.
Membawa konsephubbul wathon minal iman, kala itu para ulama dan santri bahu-membahu melawan agresi kolonialisme di Surabaya. Walhasil, Pertempuran Surabaya 10 November 1945 menjadi momen yang sangat bersejarah dalam Perang Kemerdekaan, hingga akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Kini, pengorbanan yang besar itu seakan mau direduksi melalui pemalsuan sejarah. Sudah tepat langkah NU, yang dengan sigap melawan pemalsuan sejarah itu. Sikap itu seharusnya menjadi prinsip semua pihak, untuk melawan pemalsuan sejarah demi menjaga nilai-nilai perjuangan para pahlawan.
Menjaga nilai-nilai tersebut, merupakan manifestasi rasa cinta pada tanah air. Dan cinta tanah air merupakan bagian dari iman, hubbul wathon minal iman.
Hiski Darmayana, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.