Khilafah.id – Sekalipun negara dengan tegas menolak kehadiran khilafah di NKRI, propaganda khilafah, nyatanya masih saja hadir di tengah-tengah kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Yang menyita perhatian publik kita baru-baru ini, aksi konvoi motor di Cawang, Jakarta Timur (29/5) yang diinisiasi oleh Khilafatul Muslimin menunjukkan atribut-atribut yang mengajak bangsa Indonesia untuk menegakkan khilafah.
“Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah” dan “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah” merupakan di antara tulisan poster yang dikampanyekan dalam konvoi tersebut. Kampanye tersebut, menjadi penanda penting bahwa NKRI belum aman dari narasi khilafah yang berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan.
Dalam konteks tersebut, kita harus mengingat kembali betapa propaganda khilafah telah menjadi pemicu terjadinya banyak peristiwa yang mengancam keamanan dan kestabilan negara. Di tahun 2019 misalnya, Rabbial Muslim Nasution (24) melakukan aksi terorisme lone wolf dengan meledakkan bom bunuh diri di kantor Polrestabes Medan karena meyakini banyak pemimpin tidak menjalankan prinsip-prinsip Islam.
Di tahun 2021, terjadi juga bom bunuh diri oleh pasangan suami istri anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), mereka mengendarai motor dengan nomor polisi DD5984MD di Gereja Katredal Makassar. JAD merupakan organisasi teroris yang ingin mengusung Khilafah Islamiyyah.
Menjernihkan Khilafah Islam
Kemunculan beragam bentuk organisasi yang ingin mengusung khilafah Islam di Indonesia tersebut, sesungguhnya menjadi bukti kegagalan mereka dalam memahami konsep khilafah dalam Islam. M. Sa’id al Asymawi, seorang cendikiawan Mesir, menyebut, khilafah bukanlah bagian dari rukun iman, juga bukan bagian dari syariat Islam. Khilafah adalah bagian dari sejarah Islam. Karenanya, penegakan khilafah bukan kewajiban.
Karena itu, khilafah tak lebih sebagai media untuk menjaga tegaknya hukum-hukum agama dan kemaslahatan manusia. Sebagaimana Pancasila, khilafah pada sejarah Islam, merupakan sarana untuk menegakkan maqashid syari’ah. Dimana hak-hak asasi setiap warga negara dapat dipenuhi dan dijunjung tinggi dalam mekanisme penyelenggaraan negara.
Maka, apapun nama dan sistem pemerintahan yang terbangun dalam suatu negara, selama nilai-nilai universal ajaran Islam tetap lestari dan kenyamanan kehidupan terjamin, tidak ada legitimasi dalil agama untuk memaksa sistem khilafah menggantikannya.
Apalagi, kalau dengung khilafah hanya merupakan propaganda untuk meraih kekuasaan atau melengserkan penguasa. Hal demikian hanya upaya-upaya yang memakai agama sebagai topeng untuk memenuhi dahaga kekuasaan semata. Ini terlihat jelas dari gerakan-gerakan kaum radikal yang mengabsahkan terorisme untuk merengkuh kenikmatan duniawi berupa kekuasaan.
Kehadiran ISIS yang turut menginisiasi khilafah Islam, merupakan bukti konkrit betapa nalar sesat khilafah Islam telah dimanfaatkan sedemikian untuk melegalkan kekerasan dan pembunuhan sebagai sarana merebut kuasa. Merenggut hak-hak untuk hidup dengan aman dan tentram yang dimiliki oleh setiap warga negara. Sangat berbeda dengan konsep khilafah di masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin.
Perbedaan mendasar dari khilafah dalam sejarah Islam dengan apa yang mengemuka sekarang ialah, jika dulu khilafah dijadikan sebagai ‘sarana’ untuk memenuhi hak-hak maqashid syari’ah setiap warga negara, sedangkan sekarang khilafah Islam dijadikan sebagai ‘tujuan’.
Di mana segala macam cara ditempuh untuk bisa membangun rezim khilafah Islam, sekalipun harus menggunakan kekerasan. Bahkan, sekalipun konsep khilafah Islam yang diusung itu juga tidak memiliki struktur tata pemerintahan dan kenegaraan yang jelas, gagasan itu juga masih tetap saja diusung para pendukungnya.
Membendung Khilafah
Sekalipun konsep khilafah Islam yang banyak diusung sekarang merupakan hasil dari salah kaprah dalam memahami “khilafah” dalam sejarah Islam, tapi kehadirannya sungguh dapat memecah harmoni kebinekaan.
Maka itu, perlu upaya serius dalam membendung persebaran ideologi khilafah Islam di Indonesia. Hanya saja, perkembangan teknologi yang kian canggih, tentu menjadi tantangan utama dalam memangkas habis persebaran ideologi khilafah yang seringkali bermuara pada aksi terorisme.
PJ Phillips (2011) mengatakan kelompok radikal menjerat pengikutnya dengan doktrin atau meracuni pemikiran seseorang, seperti melalui tayangan video aksi yang menindas dan membantai kelompok radikal yang mengaku sebagai umat muslim melalui media sosial, seperti Youtube, Facebook dan Telegram, serta Twitter dan Whatsapp. Sasarannya ialah anak muda dengan kelas ekonomi menengah bawah, bukan yang bukan kelas rendah.
Kelas menengah bawah atau kelas miskin inilah yang dianggap rentan terindoktrinasi khilafah melalui perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti smartphone dan komputer yang terhubung internet. Awalnya, mereka hanya memiliki rasa empati terhadap narasi yang disebar, lambat laun, mereka menyetujui ide khilafah. Lebih lanjut, itu juga membuat mereka menjadi seorang radikal dan termotivasi menjadi untuk melakukan aksi terorisme.
Maka itu, dalam mensterilkan NKRI dari bahaya khilafah dan terorisme, aparat negara harus lebih tegas dalam menindak para penyebar ideologi yang dapat memecah-belah bangsa. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di jagat maya. Tidak hanya menindak mereka yang terbukti bersalah. Mereka yang terindikasi terpapar ideologi radikal dan khilafah, juga harus ditindak dengan melakukan pendekatan deradikalisasi. Dan, yang tidak kalah penting, aparat negara juga harus serius dalam menjejak akar persebaran ideologi tersebut.
Hanya saja, upaya tersebut akan sia-sia tanpa kerja sama masyarakat sipil. Dalam konteks deradikalisasi mereka yang terindikasi terpapar khilafahisme misalnya, mereka akan defensif dengan upaya deradikalisasi yang ditempuh dengan tangan besi kekuasaan. Karena dalam keyakinan mereka, negara gagal dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Sebaliknya, dengan pendekatan sosiologis dari masyarakat sipil dan orang-orang terdekat, orang yang sebelumnya radikal dapat mudah menerima penjelasan betapa khilafah dan terorisme itu ancaman nyata bagi mereka yang dapat memecah-belah dan merenggut hak-hak sesama warga negara.
Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd., Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tim penulis buku “Revolusi Pemikiran Kaum Muda”. sekarang mengajar di Pondok Pesantren Shiratul Fuqoha’, Kudus.