Khilafah.id – Kita berada di ujung bulan Ramadhan. Detik-detik Hari Raya Idul Fitri sudah dimulai. Setelah sebulan melakukan ibadah puasa, dengan amal-amal baik yang pahalanya dilipatgandakan, umat Islam mendapat anugerah untuk kembali fithri, kembali suci, dari segala dosa dan kotoran-kotoran maksiat. Hadis Nabi, bahwa siapa pun yang berpuasa dan beribadah malam semata-mata karena keimanan akan terampuni dosanya, mengindikasikan bahwa Idul Fitri adalah momentum kemenangan.
Kemenangan dari apa? Dari apa pun yang salah. Akhir Ramadhan mesti menjadi titik tolak dari kembali kita ke fitrah, baik secara keberislaman maupun kebernegaraan. Di tataran keberislaman, kita mesti kembali pada Islam yang ideal, yang di tengah atau moderat (wasath), yang tidak berlebihan (al-ghuluww) apalagi melampaui batas (tatharruf). Dengan kata lain, keberislaman kita harus jauh dari radikalisme, yang menjadikan Islam untuk kepentingan politik ideologis semata.
Sementara di tataran kebernegaraan, kita mesti kembali pada prinsip kemerdekaan yang ideal, yang tidak memantik kerusakan dan mencederai komitmen kebangsaan. Dengan kata lain, kebernegaraan kita harus jauh dari terorisme, yang menjadikan spirit berbangsa untuk menghancurkan bangsa itu sendiri. Para teroris mencita-citakan tegaknya sebuah bangsa berdasarkan konsep yang mereka anggap islami, sembari mencoba hancurkan negara yang dianggap non-Islami seperti NKRI.
Pada hari yang fitri nanti, kita mesti kosong dari jiwa radikal dan jiwa teror yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip keberislaman dan kebernegaraan yang ideal, hakiki. Dengan demikian, artinya kita benar-benar menang melawan nafsu amarah yang menjadikan Islam dan negara sebagai pemuas nafsu politik. Isme radikal-teror adalah sampah sejarah yang tidak dibenarkan Islam, maka Idul Fitri wajib menjadi dorongan agar kita suci dari radikalisme dan terorisme.
Suci dari Radikalisme
Pemisah antara moderat dengan radikal adalah nafsu. Karena nafsu, Islam dianggap membenarkan aksi-aksi radikal-teror. Beragama menggunakan nafsu adalah prototipe Khawarij dan Murji’ah, dan para radikalis dan teroris hari ini adalah neo-Khawarij dan neo-Murjiah itu tadi. Mereka berlebihan dalam beragama, hingga menjadikan Islam sebagai agama yang dibenci dan melahirkan fobia. Islam yang dinodai oleh najisnya radikalisme-terorisme membuatnya dibenci dan memantik islamofobia.
Di NKRI sendiri, radikalisme semakin hari bertambah masif. Kelompok radikal menghinggapi berbagai elemen, mulai dari penceramah, ASN, hingga tokoh masyarakat. Tempat radikalisasi pun semakin meluas; tak hanya di tempat-tempat tersembunyi, melainkan di masjid-masjid mal, majelis taklim, bahkan di media sosial. Terorisme pun demikian, tidak juga mendapat penyelesaian yang tuntas. Artinya, sebagian dari kita masih berislam dengan radikalisme-terorisme yang kotor dan najis.
Dalam setahun terakhir, berapa banyak aksi teror terjadi? Berapa banyak Muslim dibunuh di seluruh dunia dengan dalih tegaknya khilafah yang dianggap islami? Berapa kali Islam dicitrakan negatif oleh ulah Muslim itu sendiri? Itu semua karena banyak umat Islam yang belum menyucikan diri dari radikalisme dan masih kalah melawan nafsu terorisme. Tahun-tahun kita masih dipenuhi hal-hal yang Islam tidak mengajarka bahkan menentangnya, yaitu kekerasan atas nama agama.
Idul Fitri di NKRI
Maka, Idul Fitri kali ini harus menjadi titik tolak dari penyegaran keberislaman dan kebernegaraan kita menuju yang ideal. Idul Fitri mesti jadi momentum tidak hanya untuk saling bermaafan, melainkan ikrar untuk tidak lagi menyalahgunakan Islam untuk kepentingan pribadi dan nafsu belaka. Kita selaiknya kembali suci dan meneguhkan kembali spirit ke-NKRI-an yang semakin hari, paling tidak setahun terakhir, terkikis oleh hasrat radikalisme dan terorisme.
Idul Fitri di NKRI ini harus searah dengan spirit kebangsaan, tidak hanya keberislaman belaka. Apalagi jika sampai mengikuti narasi bahwa Idul Fitri harus menjadi momentum kepada Islam murni, sementara murni yang dimaksud ialah suka membid’ahkan, menyesatkan, mengafirkan, dan segala hal yang memantik permusuhan antarbangsa. Jika itu terjadi, maka Idul Fitri kita percuma, karena artinya kita belum menang melawan radikalisme dan terorisme.
Hari kemenangan harus menjadi momentum kemenangan yang hakiki. Di hari Idul Fitri, hendaknya kita melakukan refleksi diri; sudahkan cara keberislaman dan kebernegaraan kita selama ini berjalan sebagaimana seharusnya atau justru masih terjerembab noda radikalisme? Menjelang berakhirnya Ramadhan ini, kita mesti menelaah diri sendiri. Radikalisme dan terorisme telah mencederai Islam, maka kita harus bersuci dari keduanya demi Islam dan NKRI itu sendiri.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.