Khilafah.id – Khilafah dan demokrasi, dua kata itu tidaklah asing bagi kita. Banyak dikalangan bawah maupun atas, orang awam hingga ulama membahas sistem negara yang benar dan relevan dengan zaman.
Pendukung khilafah berpendapat bahwa khilafah adalah sistem negara yang disyariatkan. Sedangkan pendukung demokrasi berpendapat bahwa sistem khilafah tidak relevan dengan zaman.
Jadi, sistem manakah yang benar dan relevan? Seorang filsuf muslim terkenal bernama Ibnu Rusydi memberikan gagasan terhadap hal ini. Ibnu Rusydi adalah filsuf muslim yang membawa banyak perubahan di Barat pada masa keterpurukan Barat. Jika di Timur kita mengenal sosok al-Ghazali sebagai cahaya Islam, maka Ibnu Rusydi adalah sang pembawa obor cahaya Islam di Barat. Sosok Ibnu Rusydi ini sangat populer pada masanya.
Dia haus akan ilmu sedari kecil, bahkan Ibnu al-Abbar mencatatkan dalam bukunya, at-Takmilah, sebagaimana berikut:
“Ia bertekun dalam menggeluti ilmu pengetahuan semenjak kecilnya sampai umur tua. Sehingga pernah diceritakan jika ia tidak pernah absen dari kegiatan berpikir dan membaca semenjak dia berakal kecuali dalam dua hari, yaitu pada malam saat ayahnya meninggal dunia juga malam pertama pernikahannya”.
Maka tidaklah mengherankan jika dia menguasai ilmu-ilmu agama dan umum. Kepiawaian Ibnu Rusydi membuat dia mendapatkan jabatan-jabatan penting, salah satunya adalah penasihat politik. Sehingga pendapat-pendapatnya tentang dunia politik menjadi acuan banyak orang.
Pemikiran Politik Ibnu Rusydi
Ibnu Rusyd juga menawarkan konsep negara ideal yang menurutnya baik untuk diterapkan. Menurut Richard Walzer (1963: 40), pemikiran politik pada masa awal memang terfokus pada diskursus tentang negara ideal. Hanya saja, terkadang dalam diskursus ini tidak melihat kepada realitas dan masalah-masalah yang ada dalam negara, juga tidak membahas bagaimana seharusnya menjadikan negara itu dapat bertahan. Biasanya, para pemikir politik hanya memberikan penilaian tentang bentuk negara yang ideal menurut teori mereka sendiri, tidak terkecuali Plato dalam Republic-nya.
Ibnu Rusydi menggunakan konsep kenegaraan bernama dengan “Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam” (Republik dan Hukum). Konsep ini melambangkan perpaduan antara ilmu dan amal. Dalam hal politik ini, Ibnu Rusyd sangat mengedepankan kebebasan atau dalam bahasa kenegaraan bisa kita sebut sebagai kemerdekaan. Maksudnya, Ibnu Rusydi menginginkan adanya kemerdekaan berpikir, kemerdekaan dalam berbuat dan lain-lain (Fuad Mahbub, 2012: 84).
Kemerdekaan yang ia maksud bukan kemerdekaan yang tidak punya aturan, melainkan sebuah kemerdekaan atau kebebasan selaras dengan agama. Kemerdekaan atau kebebasan yang seperti inilah merupakan cermin dari demokrasi. Menurut Ibnu Rusyd peran agama dalam suatu negara sangatlah penting dalam menciptakan sebuah negara yang ideal.
Konsep Demokrasi Menurut Ibnu Rusydi
Demokrasi dipandang Ibnu Rusydi sebagai bentuk negara yang paling sesuai, juga memungkinkan untuk diterapkan oleh umat Islam. Mengingat kenyataan di dunia Islam yang tidak bisa menemukan seorang figur dengan kesempurnaan atau keutamaan sebagaimana Rasulullah untuk menjalankan roda pemerintahan (aristokrasi).
Ibnu Rusydi menjelaskan: “Dalam negara demokrasi, setiap warganya memiliki kebebasan secara mutlak, bebas bekerja sesuai yang disukainya, serta bebas beraktivitas dalam persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan sesuai yang diinginkannya (Shohibul, 2017: 179).
Hal itu dipertegas oleh Erich Fromm (1995: 206) yang mengatakan prinsip demokrasi adalah gagasan bahwa tidak ada seorang penguasa atau kelompok elit manapun, tetapi masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan nasib mereka sendiri dan membuat keputusan sendiri berkenaan dengan masalah-masalah umum.
Sebagai realisasi dari ide demokrasi yang diusung, Ibnu Rusydi menawarkan konsep tentang kedaulatan rakyat (al-siyadah). Sebuah konsep yang dijadikan oleh Franz Magnis Suseno sebagai dasar etis dari demokrasi. Dalam hal ini Ibnu Rusydi mengatakan: “Tidak ada kedaulatan dalam demokrasi kecuali berada di tangan warga negara atau rakyat, sesuai dengan dasar-dasar hukum fitriah yang menghargai kebebasan manusia” (Fauzan, 2015: 364).
Konsep kedaulatan tersebut mengungkapkan tiga nilai yang menjadi prinsip dasar, yaitu: Kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan atau kesetaraan (al-musawah), dan keberagaman (pluralisme).
Pertama, Ibnu Rusydi memaknai kebebasan dengan “Tidak adanya suatu pemaksaan ataupun rintangan”. Dalam praktiknya, perilaku seseorang seringkali dibatasi dan dikekang oleh keberadaaan hukum yang memberlakukan sanksi, sehingga hukum juga kebebasan pada umumnya dianggap bertentangan. Pandangan semacam ini ditemukan dalam pemikiran John Locke bahwa, “Tujuan hukum bukan untuk menghapus atau mengekang, tetapi untuk melindungi dan memperluas kebebasan” (Fauzan, 2015: 365-356).
Kedua, prinsip persamaan merupakan prinsip fundamental negara. Persamaan yang dimaksud mengarah pada ranah hukum, secara aktual menjadi tujuan politik yang menandai masyarakat demokratis (Shohibul, 2017: 182).
Ketiga, keberagaman. Prinsip ini merujuk pada persoalan masyarakat plural, yang penduduknya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh suku, etnis, ras, dan agama terkadang beberapa faktor ini menyatu sehingga cenderung menimbulkan konflik.
Ibnu Rusydi melihat dalam negara demokrasi, tumbuh dan berkembang kelompok-kelompok yang berbeda sebagaimana dalam bentuk negara lainnya. Sehingga menjadi tugas dan kewajiban negara adalah menjamin keberadaan serta hak-hak setiap kelompok masyarakat tersebut (Shohibul, 2017: 367).
Dapat disimpulkan konsep kedaulatan rakyat mengandung arti bahwa kehendak rakyat dalam bentuk kehendak umum menjadi dasar kekuasaan negara. Sedangkan pemerintah adalah wakil rakyat untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Daftar Rujukan
Ulum, A. R. Shohibul. 2017. Ibnu Rusydi; Api Islam dari Andalusia. Yogyakarta: Sociality.
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusydi (Averroes): Filosuf Islam Terbesar di Barat. Jakarta: Bulan Bintang.
Richard Walzer, “Aspects of Islamic Political Thought: al-Farabi and Ibnu Khaldun”, Oriens, vol. 16 Desember 1963.
Siraj, Fuad Mahbub. 2012. Ibnu Rusyd Cahaya Islam di Barat. Jakarta: Dian Rakyat.
Fromm, Erich. 1995. Thre Sane Society, Terj. Thomas Bambang Murtianto, Masyarakat yang Sehat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fauzan, “Jurnal Pemikiran Politik Ibnu Rusydi”, IAIN Raden Intan Lampung, vol. 9, no. 2, Desember 2015.
Muhammad Miftahuddin, Mahasiswa Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.