Khilafah.id – Suatu hari Gus Dur pernah berpidato. Salah satu isinya adalah humor berisikan tentang tipe-tipe negara. “Lha, Indonesia ini maa baina wa baina, ya begini ya ndak begitu. Tapi separuh-separuh…. Bukan sekuler bukan teokratis. Artinya Indonesia ini negara yang bukan-bukan”.
Nur Khalik Ridwan (2018) pernah melacak akar pemikiran Gus Dur tersebut dalam buku berjudul “Negara Bukan-Bukan”. Dalam penelusurannya, Nur Khalik Ridwan mengkorelasikan antara pandangan Pancasila Gus Dur dalam aspek kenegaraan. Pada intinya Pancasila melebihi pandangan ideologi lainnya. Pancasila adalah jawaban mengapa Indonesia adalah negara bukan-bukan.
Secara sosial-politik, negara bukan-bukan yang dimaksud dalam humor di atas menunjukkan kejelian pengamatan politik Gus Dur. Gus Dur telah banyak membaca referensi politik di Amerika hingga jauh ke utara Soviet. Jika dikorelasikan pada tahun waktu itu, maka memang ada dua ideologi besar yang sedang berkembang, yaitu sosialisme yang diwakili oleh Soviet dan kapitalisme yang diwakili oleh Amerika dan beberapa negara Eropa.
Perseteruan Perang Dingin telah memperlebar jurang pemisah antara dua ideologi ekstrem tersebut. Kemenangan blok Barat menandakan era kapitalisme akan berkembang pesat. Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia pasti akan terkena dampak dari itu semua. Misalnya adalah Pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967 dan penetrasi PT Freepot asal Amerika ke Indonesia.
Meski demikian, menurut Gus Dur upaya tersebut belum cukup untuk menggolongkan Indonesia menjadi negara kapitalis. Indonesia masih tetap menjadi negara yang bukan-bukan. Ya, ini disebabkan karena yang diambil dari kapitalisme itu hanya separuh-separuh, alias tidak semuanya. Namun kapitalisme juga tidak bisa ditolak seutuhnya, karena dunia global pada dasarnya sedang menuju ke arah sana. Jika negara tidak menyesuaikan, maka negara akan terisolir dari negara lainnya.
Gus Dur tahu tentang konsekuensi itu. Maka bukan tidak menerima kapitalisme tapi yang dikritik waktu itu adalah cara pengelolaan modal yang dilakukan oleh Orde Baru. Metode yang dilakukan oleh negara terlalu patron-clien sehingga meminggirkan kepentingan kebanyakan rakyat. Akibatnya, ekonomi tidak merata dan kesenjangan terjadi di mana-mana. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Begitu juga jika Indonesia menganut faham sosialisme. Di sini yang akan semakin kuat adalah institusi negara itu sendiri. Pengalaman dari Soviet dan Korea Utara bisa dijadikan contoh bagaimana sosialisme telah menjebak negara tersebut ke dalam bentuk otoriter.
Bagi Gus Dur, model negara seperti itu tidak baik karena dianggap terlalu adikuasa dalam mengelola lembaga negara. Padahal untuk membangun negara yang pernah dijajah dan besar seperti Indonesia itu tidak cukup hanya dilakukan oleh negara, melainkan tetap membutuhkan peran swasta atau masyarakat itu sendiri.
Begitu juga bentuk negaranya, Indonesia bisa dikatakan unik karena sistem yang dibangun adalah bukan negara teokratis meski mayoritas muslim, juga bukan sekuler. Jika mengambil perbandingan yang sama seperti negara di Timur Tengah yang mayoritas Muslim, Indonesia bisa saja menjadi negara teokratis dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Dan upaya ini memang ada yang ingin memperjuangkannya namun sampai saat ini dianggap gagal. Begitu juga untuk menjadikan Indonesia negara Sekuler seperti di Turki sebenarnya bisa, namun upaya itu tidak direalisasikan.
Pemahaman Gus Dur tentang Indonesia negara bukan-bukan juga direalisasikan dalam kebijakan politiknya sebagai presiden. Pada saat menjadi presiden, Gus Dur mengeluarkan kebijakan desentralisasi. Lagi-lagi Gus Dur mem-by–pass faham teritorial suatu negara bangsa. Gus Dur memberi alternatif untuk daerah yang ingin membangun daerahnya sendiri namun tetap dipantau oleh pusat.
Desentraliasi adalah antitesis dari suatu negara yang menerapkan sistem federal dan/atau sistem kesatuan. Sistem federal seperti negara Amerika yang masing-masing negara bagiannya memiliki otonominya sendiri bebas mengatur segala sumber daya dan potensinya, sedangkan sistem kesatuan seperti Soviet yang tersistem secara terpusat.
Pada saat Gus menjadi presiden, kedua sistem ini dikombinasikan menjadi desentralisasi. Negara hanya bisa mengawasi daerah-daerah tanpa melakukan intervensi yang mendalam, begitu juga daerah bisa mengembangkan potensi daerahnya namun tetap dengan haluan negara.
Indonesia menjadi negara yang bukan-bukan merupakan sebuah anugerah yang tidak terikat dengan blok Barat maupun timur, dengan ideologi kapitalis maupun sosialis. Semua ini berkat warisan Pancasila yang telah melampaui ideologi besar dunia lainnya. Keberadaannya tidak hanya membatasi Indonesia menjadi negara sekuler atau teokratis, tapi juga membatasi hak kepemilikan negara atas sumber daya yang dimilikinya.
Muhammad Mujibuddin, Pegiat kajian keislaman dan keindonesiaan.