Khilafah.id – Polemik fatwa salam lintas agama yang dihukumi haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII, terus bergulir. Hal ini disinyalir akan menganggu kerukunan umat beragama yang selama ini menjadi salah satu cara dari masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman.
Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Asrorun Niam Sholeh mengatakan, bahwa pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan. Alasannya karena pengucapan salam dalam Islam merupakan doa yang bersifat ubudiah (bersifat peribadatan).
Penjelasan tersebut kemudian terus bergulir pada kelompok masyarakat, utamanya kelompok-kelompok agama. Bagi para aktivis perdamaian, fatwa MUI ini belum bisa diterima. Sebab pengucapan salam lintas agama adalah upaya untuk menghargai banyaknya penganut agama yang hadir pada suatu acara tertentu, atau penghormatan kepada masing-masing agama.
Hal ini juga direspon oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) KH Yahya Cholil Staquf. Menurut Gus Yahya, tidak ada pencampuradukan ibadah dalam pengucapan salam lintas agama.
“Ini yang men-trigger, jadi dianggap haram pakai salam macam-macam itu karena mencampuradukkan ibadah, kenapa? Karena ada klaim bahwa kalau assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh itu adalah ibadah, maka diklaim yang lain-lain juga ibadah, padahal tidak ada ibadah itu,” kata Gus Yahya.
Artinya, berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat membantah bahwa hasil fatwa MUI terkait keharaman dalam pengucapan lintas agama, tidak bertentangan dengan fikih. Sebab sejauh ini, pengucapan salam bukanlah suatu ibadah, sehingga klaim mencampuradukkan ibadah yang satu dengan lainnya adalah suatu yang keliru.
Sementara itu, pada bagian diskusi yang lain, para aktivis khilafah justru memanfaatkan fatwa MUI ini dengan berbagai narasi propaganda. Pendakwah seperti Ustaz Irfan Abu Nafeed dan antek-antek aktivis khilafah lainnya, menyepakati fatwa tersebut dengan menyudutkan kelompok-kelompok yang selama ini mengkampanyekan toleransi.
Menurut Irfan Abu Nafeed, menggunakan dalih toleransi untuk mengucapkan salam lintas agama bertentangan dengan prinsip lakum diinukum wa liya diin ‘bagimu agamamu, dan bagiku agamaku’ karena menyangkut keyakinan agama masing-masing.
“Salam lintas agama jelas bertentangan dengan prinsip lakum diinukum wa liya diin dan hakikatnya melanggar batas-batas dalam beragama itu sendiri. Sudah kelewat jauh ya, bahkan lebih tepatnya menggambarkan unsur sinkretisme, penyatuan agama-agama. Ini tidak dibenarkan di dalam konsepsi prinsip-prinsip Islam,” ungkapnya dilansir dari Muslimahnews.net.
Memaknai Perbedaan dengan Sikap Toleran
Polemik yang terus bergulir ini, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa setiap kelompok memiliki sudut pandang berbeda terkait pengucapan salam. Namun, perlu ditekankan bahwa aktivis khilafah adalah kelompok yang membuat pembahasan ini sangat besar dengan klaim bahwa pengucapan salam lintas agama menjauhkan diri dari syariat.
Sambil mencari simpati umat Muslim lainnya, para aktivis khilafah memanfaatkan polemik ini dengan alasan ada upaya untuk menghilangkan sifat sakral dalam salam. Padahal, kalau kita memaknai bahwa salam sebagai upaya mendoakan keselamatan orang lain, dan mendoakan kebaikan, orang lain juga akan mendoakan kebaikan yang sama untuk datang kepada kita.
Menyikapi fatwa ini, kita hanya perlu sikap toleran dengan perbedaan pendapat yang ada. Artinya, jika kita menganggap bahwa fatwa MUI ini tidak benar, maka tidak perlu diikuti. Begitu pun sebaliknya. Namun, yang dilakukan oleh aktivis khilafah justru berbeda.
Mereka justru menjelek-jelekkan kelompok yang selama ini mengkampanyekan toleransi, ataupun kelompok agama yang biasa menggunakan salam lintas agama, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah yang selama ini menjadikan salam lintas agama sebagai salam pembuka kepada masyarakat pada setiap momen. Tentu, ini adalah upaya memecah-belah bangsa.
Perlu kita ketahui bahwa, upaya yang dilakukan oleh para aktivis khilafah tidak lebih untuk mendapat simpati dari masyarakat Muslim. Mereka akan memanfaatkan polemik fatwa salam lintas agama ini, sebagai bahan agar masyarakat mendukung khilafah. Padahal salam lintas agama bisa kita maknai sebagai kekayaan sosial masyarakat Indonesia dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Muallifah, Aktivis perempuan.