Khilafah.id – Kata “khalifah” di dalam Al-Qur’an bermakna “pengganti”, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30. Tugas utama manusia dalam ayat tersebut yaitu menjadi pengganti atau wakil Allah di muka bumi guna memakmurkannya. Tugasnya merupakan tugas tertinggi yaitu untuk mengatur kehidupan di bumi, tak terkecuali persoalan mengatur Negara.
Sebagian kelompok, atau para penyeru khilafah, berargumen bahwa Islam telah memberikan panduan bagi umatnya dalam membentuk sistem Negara, yaitu dengan sistem khilafah islamiyah. Pandangan demikian kerapkali dicatut dari ayat-ayat Al-Qur’an yang secara redaksional menyebutkan kata khilafah dan derivasinya.
Kamarudin Khan dengan sangat tegas menyatakan bahwa memang di dalam Al-Qur’an didapati terma-trrma khilafah. Akan tetapi tak ada satupun yang memberikan maksud model Negara di dalam Islam. Istilah khilafah di dalam Al-Qur’an tidak ada yang berkaitan dengan urusan politik.
Selain itu, Husein Haikal juga menegaskan, bahwa prinsip kehidupan sosial di dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan sesuatu yang berhubungan langsung dengan pemerintahan. Al-Qur’an hanya menyediakan nilai etik-moral dalam persoalan Negara.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang di dalamnya didapati kata “khalifah” adalah QS. Shad: 26 yang artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Muhammad Imarah dalan tafsirnya, kata “khalifah” dalam ayat di atas tidak sama sekali berkaitan dengan sistem politik kenegaraan. Kata tersebut merupakan kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Daud, yaitu kenabian (nubuwwah), bukan tugas perpolitikan (al-wazifah al-siyasiyah).
Dalam Al-Qur’an juga didapati kata-kata yang serumpun dengan kata “khalifah”, seperti istakhlafa, yastakhlifu dan khalaif. Namun sekali lagi menurut Muhammad Imarah, semua kata “khalifah” dan semua derivasinya bermaksud menunjukan makna tanggung jawab yang diberikan oleh Allah kepada semua individu manusia untuk memakmurkan bumi, bukan jabatan politik tertentu yang diberikan kepada manusia tertentu dalam sistem tertentu.
Menurutnya pula, kata “khalifah” di dalam Al-Qur’an sering sekali dipolitisasi oleh sebagian kelompok Islam guna memuluskan keinginan kekuasaan politiknya. Padahal, jelas-jelas Al-Qur’an tidak pernah memberikan panduan soal model pemerintahan secara langsung. Al-Qur’an yang merupakan rujukan utama umat Islam tak sekalipun berbicara soal model Negara tertentu.
Agama Islam memang adalah agama yang sempurna, yang tidak mungkin melewatkan persoalan bernegara di dalamnya. Akan tetapi tidak berarti Islam harus menyebutkan model Negara secara simbolik redaksional semata. Islam telah memberikan prinsip-prinsip dasar politik (al-mabadi al-siyasiyah) yang dapat digunakan dalam mengatur persoalan kenegaraan. Sebagaimana juga menurut para pengkaji politik Islam, Al-Qur’an telah memberikan prinsip-prinsip dasar, yaitu keadilan, musyawarah, amanah, dan sebagainya, guna mengatur persoalan bernegara.
Melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak pernah memberikan petunjuk model Negara tertentu. Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar dalam bernegara bagi umat Islam. Hal itu karena persoalan Negara adalah wilayah ijtihad, yang akan selalu kontekstual di setiap tempat dan waktu. Dan akhirnya, klaim sebagian kelompok soal kewajiban mendirikan khilafah islamiyah tidak memiliki dasar teologi yang kuat dalam nash Al-Qur’an dan dalam ajaran Islam.