Khilafah.id – Melihat Islam di tanah air dari luar, lebih-lebih jika di tempat itu Islam bukan agama mayoritas, bahkan sekadar small minority, seperti pengalaman penulis dalam dua tahun terakhir, seharusnya kita bangga dengan Indonesia. Mengapa? Pertama-tama tentu karena populasi muslim yang belum bisa dilampaui oleh negara mana pun, termasuk oleh negara-negara Islam yang menempati posisi sebagai muasal Islam seperti Arab Saudi dan sekitarnya.
Kebesaran muslim di Indonesia dari sisi angka merupakan proses yang panjang. Para ahli sejarah Islam berdebat ihwal muasal dan permulaan kedatangan Islam ke bumi Nusantara. Kendati terdapat diskursus pada bagian tersebut yang kemudian menelurkan beragam teori, ada satu hal yang disepakati oleh semua ahli, yakni cara penyebaran Islam ke tanah air sehingga berbuah manis dalam wujud kebesaran jumlah.
Alih-alih penaklukan (conquest) atau penetrasi paksa (penetration violence) yang berakibat terjadinya konflik berkepanjangan, yang bahkan berdarah-darah dan aksi balas dendam dari orang-orang taklukan, Islam datang ke sini dengan cara yang damai (penetration pasifique). Penetrasi secara damai, di samping relatif tidak menimbulkan ketegangan dan gejolak, keberterimaan Islam sebagai ’’agama baru’’ lebih mudah terjadi, dan demikian populasi terus bertambah, di samping didukung pula oleh faktor fertilitas.
Karakter Wasathiyah
Penelusuran terhadap historitas Islam di Indonesia, kendati hanya sebentar dan baru di level permukaan, bisa dijadikan bukti bahwa karakter Islam di Indonesia adalah moderat atau wasathiyah, seturut dengan karakter Islam sendiri. Islam, tegas Yusuf Qardhawi dalam Islam Jalan Tengah (2017), mengajak ke jalan tengah dan melarang berbuat melampaui batas atau berlebihan dalam beragama (tatharruf). Pernyataan Yusuf Qardhawi bersambung dengan pandangan Muhammad Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasathiyyah (2015), ’’Moderation is an aspect, in its Qur’anic projections, of the self-identity and worldview of the Muslim community, or ummah…’’
Karakter moderat atau wasathiyah penting terus dipelihara sebagai kesadaran kolektif muslim di Indonesia karena nanti akan menjadi ikatan keadaban (bond civility) dalam menghadapi keragaman di tubuh muslim sendiri maupun keragaman dari pihak lain, serta tantangan kekinian yang krusial. Sebab, kalau ikatan keadaban ini tergerus, muslim di sini sulit mengapitalisasi dirinya menjadi kekuatan dunia pada saat negeri-negeri muslim yang berada di posisi tengah (centre) terjatuh pada kubangan konflik berkepanjangan, baik karena perbedaan keyakinan maupun karena dipicu oleh perbedaan kepentingan ekonomi-politik.
Ada satu konsep yang sering digunakan untuk mengurai sengkarut relasi internal muslim, termasuk di Indonesia, yaitu unity in diversity (kesatuan dalam keragaman).
Pada awalnya Islam berasal dari sumber yang sama dengan doktrin yang sama pula, terutama pada aspek yang bersifat fundamental. Abdullah Saeed, salah seorang akademisi muslim terkemuka di Australia, dalam Islam in Australia mengemukakan, satu hal yang mempertemukan muslim di berbagai belahan dunia adalah common values, nilai-nilai bersama yang bersifat fundamental dan mengikat.
Islam (di) Indonesia
Tetapi, karena dalam beragama selalu ada proses konstruksi yang selalu mengait dengan konteks tempat dan waktu tertentu, perbedaan paham, tradisi, dan kepranataan tidak bisa dielakkan. Maka, pada ranah ini wajar jika ekspresi Islam di Indonesia memiliki kekhasan yang membedakan dengan ekspresi Islam, misalnya, dengan Arab. Dari proses ini, pada gilirannya secara sosio-historis seharusnya terwujud suatu realitas, alih-alih ’’Islam di Indonesia’’, tetapi ’’Islam Indonesia’’.
Dua frasa, ’’Islam di Indonesia’’ dan ’’Islam Indonesia’’, memiliki makna berbeda. Frasa pertama mengindikasikan Indonesia hanya tempat bagi Islam, sementara frasa kedua, ’’Islam Indonesia’’, mengindikasikan adanya saling kemelekatan antara Islam dan Indonesia. Sehingga tidak perlu terjadi pertentangan antara Islam terutama dengan pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalannya, masih ada saja segelintir kalangan Islam, baik secara individual maupun berjejaring, yang merasa belum at home dengan Indonesia yang diperlihatkan dengan mengusung agenda, baik sporadis maupun sistematis, ideologi dan bentuk negara yang didaku lebih absah secara teologis.
Khilafah seperti pernah diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa gelintir kelompok lainnya didaku paling Islami. Tidak sebatas di tataran wacana, bahkan diperkuat dengan aksi-aksi yang cenderung lekat dengan kekerasan. Fenomena infiltrasi paham dan radikalisme perlu terus diwaspadai, mengingat sudah meluas hingga ruang virtual yang sulit dideteksi.
Seiring menguatnya digitalisasi, ketertarikan dan keterlibatan (engagement) terhadap paham dan gerakan bisa dilakukan secara individual dan lebih senyap. Belakangan kita sering dikejutkan oleh aksi radikal yang dilakukan secara individual (lone wolf). Setelah ditelusuri, aksi tersebut dilakukan setelah menjelajah laman di dunia maya yang bermuatan radikalisme. Akibat serangkaian aksi ini, citra Islam mulai bergeser dari yang semula moderat ke radikal.
Infiltrasi paham radikal, belum lagi persoalan laten yang acap kali menjadi fenomena manifes jika ada pemicunya, yakni perbedaan paham keagamaan (ikhtilaf) antarkelompok keagamaan pada muslim di Indonesia yang mengarah pada perpecahan (iftiraq) yang dipicu antara lain oleh kontestasi dalam politik elektoral, tak pelak dapat menggerus modal sosial dan menyulitkan muslim di Indonesia melakukan konsolidasi untuk memperkuat posisi strategis sebagai mayoritas.
Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si., Sosiolog Agama dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang.