Khilafah.id – Riak politik menuju panggung 2024 mulai memanas. Tidak kurang, peta koalisi sudah mulai kelihatan, meskipun sewaktu-waktu bisa berubah. Perubahan peta koalisi politik dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya ketidakcocokan ideologis maupun kepentingan politik. Namun, memang seperti itulah politik, selalu berada di antara kemenentuan dan ketidakmenentuan (Boni Hargens, 2022).
Terlepas dari itu, ada yang harus kita ingat, yakni merawat warisan demokrasi. Tugas merawat warisan demokrasi tidak dilekatkan hanya pada partai politik maupun pada nama-nama yang masuk bursa capres dan cawapres. Melainkan tugas kita bersama sebagai warga negara Indonesia. Lantas pertanyaanya kemudian ialah, apa yang menjadi problem demokrasi di Indonesia hari ini? Bagaimana upaya merawat warisan demokrasi?
Problem Demokrasi
Lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan tahun 1998 mengubah wajah politik demokrasi Indonesia dari otoriterian menuju demokrasi. Ini terlihat dari meningkatnya partisipasi publik, suburnya pembentukan partai politik, adanya penegakkan hukum (rule of law) dan terjaminnya perlindungan hukum maupun aspirasi menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, demokrasi tetap punya problem yang harus kita selesaikan.
Mengikuti pemikiran Vedi R. Hadiz (2005), Pasca Soeharto mengundurkan diri, demokrasi di Indonesia tetap memelihara aktor lama yang dibesarkan dibawah payung Orde Baru melalui reorganisasi kekuasaan (reorganization power). Politik elektoral (Pemilu, Pilkada maupun Pileg) dan desentralisasi kekuasaan memberikan kesempatan politik pada aktor-aktor ini dalam kancah demokrasi pasca reformasi.
Sehingga ini membentuk rezim reformasi yang katanya demokratis sebagai ‘rumah baru’ bagi aktor-aktor korup memainkan peran dan ikut mengekor dibelakang proses demokratisasi. Di titik inilah, demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan berbagai pertarungan memperebutkan kekuasaan dalam rangka perburuhan rente (rent seeking) sekaligus berusaha mendominasi dalam seluruh lanskap politik demokrasi. Tidak hanya itu, Vedi juga menunjukan bagaimana jaringan-jaringan patronase memiliki agenda yang bertolak belakang dengan reformasi kelembagaan (Vedi R. Hadiz, 2022).
Karena itu, akibatnya mudah ditebak yakni, praktik korupsi yang semakin mengakar kuat dan partai politik terseret kedalam politik kartel. Demokrasi semakin diperburuk oleh beberapa kebijakan pemerintah, misalnya, UU Omnibus Law, Revisi UU KPK dan terakhir RKUHP yang sekarang menjadi perbincangan. Kebijakan-kebijakan ini dan beberapa kebijakan lain yang menuai protes publik pada akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum yakni, terpinggirnya kepentingan rakyat.
Problem demokrasi inilah yang dihadapi oleh kalangan reformis yang menginginkan agenda perubahan menyeluruh terhadap institusi publik maupun terhadap watak politik elektoral. Tetapi apakah aktor reformis benar-benar tampil mengimbangi kekuatan oligark? Menurut pembacaan saya, aktor reformis tidak hanya gagal mengimbangi kekuatan para oligark, melainkan aktor reformis paling mungkin juga tersedot kedalam agenda jaringan patronase yang berupaya melemahkan kekuatan mereka.
Pada tingkat inilah, menurut saya, warisan demokrasi yang didalamnya mengandung partisipasi, pemenuhan hak masyarakt sipil memperoleh akses dan jaminan sosial kesejahteraan maupun berbagai kebijakan publik, selalu diletakkan pada kepentingan subjek lain diluar dari kepentingan rakyat. Terkait argument ini orang bisa saja menolaknya, tetapi demonstrasi 11 April kemarin justru menunjukan bagaimana publik akhirnya sadar bahwa kebijakan publik tidak selalu menguntungkan kepentingan rakyat.
Perlu dicatat, ada banyak problem demokrasi di Indonesia yang sebenarnya jika dikuliti satu per satu sebenarnya punya watak koruptif dan peminggiran hak rakyat. Namun, argument ini bisa dibantah dengan melihat bagaimana demokrasi hari ini masih lebih baik dibandingkan praktik demokrasi di masa Soeharto. Ini barangkali yang menjadi keunggulan itu, tetapi demokrasi harus dikritisi dan dikuliti untuk dapat melihat praktik di belakang layar yang sebenarnya terjadi.
Jalan Keluar
Problem demokrasi yang dijelaskan diatas tentu membutuhkan jalan keluar yang pas. Dalam beberapa tulisan, saya selalu mengajak kita untuk melihat peran civil society sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pematangan demokrasi. Karena itu, menurut saya, civil society dalam kapasitasnya itu, punya sumbangsih merawat warisan demokrasi sekaligus menyelesaikan problem demokrasi.
Memang ini sulit, tetapi bukan berarti civil society tidak punya kesempatan terlibat langsung dalam mendorong agenda demokrasi. Menurut saya, civil society punya imajinasi politik tentang masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik. Masalahnya, imajinasi mereka kurang mendapat sokongan dari negara, karena disumbat oleh pertarungan kepentingan yang lebih besar.
Namun, saya tetap percaya dan meyakini bahwa, problem demokrasi di Indonesia harus melibatkan peran civil society. Selain itu, ekspresi politik mereka juga memungkinkan mereka merawat warisan demokrasi.
Arsi Kurniawan, Milenial pemerhati politik.