Khilafah.id – Berdasarkan data yang dikutip secara online dari tulisan Joana Cook dan Gina Vale yang berjudul From Daesh to Diaspora: Tracing the Women and Minors of Islamic State, International Centre for the Study of Radicalisation, menunjukkan signifikansi angka foreign people yang melakukan migrasi ke wilayah Irak dan Suriah (ISIS) dari 80 negara di dunia antara tahun 2014 hingga 2018, mencapai 41,490 orang, di mana 4,761 atau sebanyak 13% di antaranya adalah perempuan.
Kini, pasca kekalahan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) oleh gempuran pasukan koalisi Amerika Serikat atas basis markas terakhir mereka di Kota Baghouz, al-Fawqani, Dayr az-Zawr, digempur SDF (Syria Democratic Force) pada Maret 2019, para Foreign Terrorist Fighter (FTF) yang tergabung ke dalam ISIS menyerah dan tertangkap masuk kedalam sel tahanan di Suriah Utara.
Dilansir dari indonesia.go.id pada 23 Februari 2020, tercatat ada sekitar 70.000 pengungsi, terdiri dari 20.000 perempuan dewasa, sekitar 5000 pria, dan selebihnya anak-anak yang berada di pengungsian dan sel tahanan di Suriah Utara yang menampung para eks petempur ISIS. Mereka adalah simpatisan pendukung ISIS yang datang dari 110 negara. Sebagian dari mereka berada di pengungsian Kamp Al-Hol, sebuah pengungsian dengan jumlah pengungsi yang terus meningkat setiap tahunnya, dari 11.000 orang hingga sekarang lebih dari 70.000 orang.
Husein Abri Dongoran dalam tulisannya yang berjudul Nestapa di Negeri Syam terbitan Majalah Tempo Edisi 17-23 pada Juni 2019, menyampaikan setidaknya ada sekitar 200 wanita dan anak-anak asal Indonesia mengungsi di kamp Al-Hol, di timur laut Suriah. Hingga hari ini, mereka para perempuan dan anak-anak berharap-harap cemas menunggu keputusan dari negara asal mereka apakah mereka akan diizinkan untuk kembali, dengan syarat, atau tidak. Namun jelas, Presiden Joko Widodo dengan tegas mengemukakan sikapnya: menolak kepulangan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS pada Februari 2020.
Fakta ini tegas menyatakan bahwa nyata adanya kontribusi perempuan dalam keterlibatannya di dalam ISIS hingga hari ini. Perempuan terpapar dari Indonesiapun ikut masuk terjerumus dalam tipu daya dan propaganda ISIS. Lalu pertanyaannya sekarang, apa sebetulnya yang memotivasi para perempuan terpapar ini siap sedia menjadi simpatisan ISIS bahkan siap menjadi bagian dari kombatan ISIS?
Hal ini menarik untuk ditelusuri, mengingat banyak pakar kajian perempuan dan terorisme terus menerus mengkaji dan mencari dampak atas keterlibatan perempuan terpapar ini. Dari banyaknya studi yang saya lakukan, baik penelusuran secara daring (media sosial, portal berita dunia, website, blogs, dan sumber lainnya) maupun diskusi secara luring dengan para pakar perempuan dan terorisme, ada indikasi bahwa push dan pull factors yang mengakibatkan perempuan terpapar untuk bergabung dengan kelompok radikal terorisme ISIS tampaknya sangat mirip dengan apa yang mempengaruhi para rekan pria mereka.
Secara umum, Mereka para perempuan yang terpapar, pada umumnya memiliki push factor seperti ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dan kekecewaan terhadap Pemerintah yang tidak menggunakan syariat Islam dalam menjalankan pemerintahannya (versi mereka), kesenjangan sosial yang dirasakan, tidak adanya peluang karir, dorongan faktor politik, sosial, dan ekonomi yang memperkuat mereka yakin akan perpindahannya ke negara yang lebih menjanjikan.
Adapun strong pull factor lainnya adalah ingin tampil ber niqab (kerudung), menjadi bagian dari ISIS sisterhood, memiliki pasangan se-ideologi, dan menjadi bagian dari para utopis disana mendirikan Daulah Islamiyah dibawah Islamic Law dan Jurisprudence (sekali lagi, versi mereka).
Namun faktor-faktor ini hanya dalam perspektif saya saja, dan tidak dapat digeneralisasi menjadi kebenaran mutlak. Pasalnya, banyak para pemikir dan peneliti dunia menunjukkan tidak ada satupun pola khusus atau tren motivasi seragam yang dilakukan oleh para perempuan terpapar ini untuk dijadikan sebagai sebuah tipologi afiliasi, melainkan motivasi yang sangat bervariasi untuk bergabung dengan kelompok radikal terorisme.
Setiap perempuan terpapar dari berbagai negara, memiliki motivasi, pengalaman, dan latar belakangnya masing-masing dari tahap perekrutan hingga menjadi kombatan.
Memang, ada dari mereka memiliki motivasi diiming-imingi dan dimanipulasi menjadi IS wives atau Jihadi brides sehingga membuat mereka yakin atau bisa saja terpaksa melakukan perjalanan ke Daesh atas urusan asmara (romance-related travel). Perempuan bernama Leonora, seorang anak perempuan muda Jerman terpapar ideologi khilafah ISIS dan pergi ke Suriah pada Tahun 2015.
Diketahui dari kesaksian ayahnya bernama Maik Messing saat diwawancarai dalam DW Documentary berjudul My Daughter and the Caliphate pada 6 September 2019, Ia pergi untuk bergabung atas motivasinya ingin menjadi bagian dari sisterhood dan hidup dilingkungan ISIS. Ia kemudian menikah (sebagai istri ke-3) dengan teroris yang berasal dari Jerman bernama Martin Lemke yang bertugas sebagai mata-mata ISIS. Ada pula yang memiliki latar belakang motivasi ingin mengubah nasib keluarga lebih sejahtera di bawah kepemimpinan ISIS.
Nurshadrina Khaira Dhania, salah seorang remaja Indonesia yang saat itu baru berusia 16 tahun bertekad hidup dalam naungan ISIS aktif membujuk 25 anggota keluarganya untuk pergi ke Suriah “bless land” melalui Istanbul Turki pada 2015 lalu. Dirinya percaya akan propaganda utopis ISIS yang menjanjikan jaminan gratis atas seluruh kebutuhan duniawi (listrik, air, rumah, pekerjaan dan membayar hutang) dan bisa belajar terkait Islam di bawah Khilafah (versi mereka).
“Seru banget, bagus semuanya kayak kekhalifahan kayak zaman nabi gitu. Mulai dari kesejahteraan dan keadilan, semua di bawah naungan Islam dan Sunnah, semuanya akan dijamin kehidupan di dunia dan akhirat juga dapat,” ungkap Nur dalam acara Reintegrasi Sosial eks-Aktivis NII, Gafara dan Deportan/ Returni ISIS yang digelar Indonesia Muslim Crisis Center IMCC pada Februari 2018.
Kepalsuan janji utopia ISIS menjadikan dia bertekad kembali ke Indonesia melalui Irak. Kini, Nurshadrina Khaira Dhania telah kembali ke Indonesia dan telah kooperatif mengikuti program deradikalisasi yang diberikan oleh BNPT kepadanya dan keluarga. Kisah lain dialami oleh Leefa, Perempuan Indonesia yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah bersama keluarganya pada Tahun 2015 atas motivasinya melihat tidak ada masa depan untuk dirinya di Indonesia (yang dianggap penuh karut-marut politik dan ekonomi).
Selain itu, strong push factor nya atas keputusasaanya divonis oleh dokter harus menjalani operasi medis dan pengobatan serius untuk penyakit di lehernya. Dia sangat termotivasi ingin menjadi muslimah sejati dan dapat pengobatan gratis oleh ISIS di Suriah. “Ketika di Indonesia, kami membaca, menonton di internet, bahwa Daulah Islamiyah (ISIS) adalah tempat terbaik untuk hidup. Kami bisa hidup sebagai muslim sejati di bawah pemerintahan Daesh (ISIS),” tuturnya kepada wartawan AFP di Suriah, Ayhem Al Mohammad, Rabu (14/6/2017).
Menarik bukan, mengetahui bukti otentik kesuksesan propaganda ISIS melalui internet dan media sosial serta berbagai motivasi para perempuan ini bertekad kuat melakukan perjalanan ke Suriah atas dalih propaganda utopis ISIS dan berbekal hanya dari Media sosial seperti Facebook, Tumblr, kanal Diary of Muhajirah, serta video propaganda ISIS dari Suriah.
Banyak perempuan yang kini mengungsi di Kamp Al Hol merasa “being duped” atau ditipu oleh kerabat laki-lakinya dan tidak jarang mengutarakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain. motivasi yang beragam ini membuat para negara dunia merasa rumit dalam melakukan security assessments atas individu-individu tersebut guna keperluan identifikasi motivasi bergabungnya mereka kedalam kelompok radikal terorisme ISIS.
Mengingat pentingnya bagi para analis dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan kompleksitas motivasi para perempuan ini sebelum melakukan perjalanan ke Daesh/Suriah, tentang apakah mereka hanya sebatas ingin mencicipi kehidupan utopia disana atau berpotensi melakukan ancaman keamanan.
Ini yang nantinya akan menjadi latar belakang dalam menentukan upaya-upaya yang dinilai kasus per kasus. Baik diberikan proses rehabilitasi bagi para perempuan ini maupun upaya hukum lainnya yang bisa diberlakukan jika memang, para perempuan ini bisa ditindak tegas secara hukum.
Contohnya, peran pemerintah Indonesia dalam melibatkan eks simpatisan dan FTF ISIS ini seperti Nurshadrina Khaira Dhania dan Leefa menjadi state-sponsored on counter terrorism yang berbicara dalam berbagai kesempatan dikhalayak umum, hal ini menurut Sofia Patel dalam jurnal Understanding Women and Islamic State Terrorism: Where are We Now? terbitan tahun 2020 oleh Australian Strategic Policy Institute mendemonstrasikan adanya tendensi negara menunjukkan esensialisasi politik perempuan untuk tujuan keamanan.
Sebagai bahan pertimbangan, pemerintah Indonesia perlu melakukan diskursus lanjutan terkait nasib para perempuan dan anak-anak yang masih berada di Kamp Al Hol. Seperti halnya dialog terkait kewarganegaraan yang menjadi grey area (misal, anak-anak yang lahir di ISIS bagaimana menjustifikasi kewarganegaraannya). Melalui pendekatan humanis serta mempertimbangkan keamanan nasional, diharapkan upaya ini dapat menghasilkan kebijakan yang mampu meredusir proyeksi perekrutan teroris di masa depan.
Siska A., M.Han, Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme.