Khilafah.id – Kalau kita mengikuti narasi khilafah di media sosial, maka salah satu tokoh yang sering mereka sebut adalah Sultan Muhammad Al-Fatih. Sebenarnya siapakah Al-Fatih itu? Kenapa para pengusung khilafah menjadikannya spirit perjuangan mereka menegakkan khilafah? Sebagai penegasan, Al-Fatih adalah pemimpin yang hebat. Itulah kuncinya.
Muhammad Al-Fatih merupakan seorang tokoh Islam yang saya idolakan. Ia adalah seorang pemimpin yang hebat dan pantang menyerah. Al-Fatih lahir pada tanggal 27 Rajab 835 H atau 30 Maret 1432 dikota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah pada saat itu. Dia merupakan putra dari Sultan Murad II.
Al-Fatih lahir ketika sang ayah, Sultan Murad II, sedang membaca Al-Qur’an dan bertepatan pada surah Al-Fath. ayat-ayat yang menjanjikan kemenangan umat Islam atas orang kafir. Anak itu diberi nama Mehmed, sebuah kata yang merupakan “Turkinisasi” kata “Muhammad” sebagai penunjukan penghormatan kepada Rasulullah Saw.
Dari sebuah film yang pernah saya tonton, ketika Sultan Muhammad Al-Fatih lahir, terjadi beberapa peristiwa. Di antaranya yaitu banyak kuda yang melahirkan kembar, hasil bercocok tanam dapat dipanen empat kali dalam satu tahun.
Cabang-cabang pohon banyak yang melengkung hingga ke tanah karena tumbuh buah yang sangat banyak, dan komet pun terlihat di daerah Konstantinopel. Lalu hal tersebut diramalkan oleh seseorang bahwa tembok Konstantinopel akan runtuh.
Al-Fatih merupakan putra ketiga Sultan Murad, dan ia bukanlah seorang putra kesayangan sang sultan. Sehingga seperti tidak ada kemungkinan untuknya menjadi seorang raja. Roger Crowley menuliskan di dalam sebuah novelnya, bahwa, pada abad ke-15, negara Utsmani hampir runtuh karena terjadi peristiwa saling bunuh antarsaudara demi mendapatkan kekuasaan.
Untuk mencegah terjadinya hal seperti ini akhirnya Sultan Murad memerintahkan putra-putra mereka untuk memimpin sebuah provisi. Begitu juga dengan Al-Fatih. Ia dikirimkan ke ibu kota propvinsi Amsya di Anatolia saat masih berusia dua tahun untuk persiapan pendidikan dasarnya.
Awal Era Al-Fatih
Setelah kedua kakaknya meninggal ketika diperintahkan ayahnya memimpin sebuah provinsi, akhirnya Al-Fatih pun menjadi satu-satunya pewaris kerajaan dan akan menjadi masa depan Negara Utsmani dengan umurnya yang masih sangat muda yaitu sebelas tahun.
Pada awalnya Al-Fatih sangat keras kepala, bertindak seenaknya sendiri, bahkan nyaris tidak bisa dididik. Ia sering sekali membangkang guru-gurunya dan tidak mau mempelajari Al-Qur’an. Akhirnya, sang ayah, Sultan Murad, memanggil seorang mullah terkenal bernama Ahmet Gurani, untuk mendidik anaknya, dan sang ayah juga berpesan kepada mullah untuk memukulnya jika membangkang.
Sang mullah pergi untuk menemui Al-Fatih dan berkata: “Ayahanda tuanku mengirim saya untuk mengajari Anda. Dan jika anda tidak patuh saya diperintah untuk memukul Anda.” Mendengar perkataan sang mullah, ia pun tertawa dan menyepelekannya. Akhirnya sang mullah memukul sang putra mahkota dan akhirnya ia tunduk dan patuh kepada sang mullah.
Menjadi Pewaris
Dalam sebuah sumber yang pernah saya baca. Setelah ayahnya wafat, Al-Fatih pun menggantikan ayahnya menjadi seorang pemimpin di Negara Utsmani. Dalam kepemimpinannya ia berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453, sebuah kota yang sejak dulu memang ingin ditaklukan oleh umat Muslim dari zaman Nabi dan akhirnya dapat ditaklukkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih dan pasukannya.
Yang saya maksud dari kesemuanya bukanlah seorang pemimpin yang diramalkan oleh seorang peramal, tetapi seorang pemimpin yang pernah diprediksi oleh Rasulullah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
“Akan ada seorang pemimpin yang menaklukkan kota Konstantinopel. Ia memiliki nama yang sama denganku. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].
Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel Sultan Muhammad mendapat gelar Al-Fatih yang artinya menaklukkan, yakni sang penakluk. Sayang sekali, kata penakluk hari ini dipakai untuk menggerogoti pemerintah, mendelegitimasi mereka, dan untuk menyuarakan agenda absurd yang ahistoris.
Khilafah yang disuarakan hari ini bukan dalam maksud ingin memajukan Islam, melainkan memorak-perandakannya. Karenanya, menyamakannya dengan perjuangan Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel jelas keliru, tidak pada tempatnya. Tujuan politisnya lebih kentara, daripada niat memperjuangkan Islamnya.
Wahyu Aveiro, Pemerhati Islam Transnasional.